Rabu, 11 November 2009

INOVASI KESEHATAN BUMI BATARA GURU

Menuju 10 Besar Tingkat Kelulusan


Pendidikan gratis di Bumi Batara Guru ini telah memasuki tahun ketiga. Tepatnya pada tahun 2006, Bupati Luwu Timur, H. Andi hatta dan wakil bupati Saldy Mansyur telah mencanangkan pendidikan gratis di Luwu Timur mulai dari tingkat SD sampai SMA. Menariknya lagi, pendidikan gratis ini tidak membeda-bedakan antara sekolah negeri dan sekolah swasta, pokoknya semua gratis. Sumber dana yang digunakan untuk membiayai pendidikan gratis ini bersumber dari APBD Kabupaten Luwu Timur. Itulah sebabnya pada setiap tahun anggaran mulai dari tahun 2006 hingga 2008 ini, alokasi anggaran untuk sektor pendidikan di Luwu Timur mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan pada tahun 2008, dari total APBD Luwu Timur T.A. 2008 sebesar Rp. 619.680.213.744, anggaran untuk bidang pendidikan mencapai Rp. 161.394.392.752 atau 26,4%. Ini belum termasuk dana BOS, dana Block Grant dan Dana Dekonsentrasi yang juga digunakan untuk pembiayaan bidang pendidikan.


Sayangnya tingginya alokasi anggaran pendidikan di Luwu Timur ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas. Tahun ajaran 2006/2007, Luwu Timur justru menempati nomor buncit kedua tingkat kelulusan SMP se-Sul-Sel, dan buncit ketiga tingkat kelulusan SMA. Artinya dari 23 kabupaten kota, Luwu Timur menduduki peringkat 22 untuk SMP dan 21 untuk SMA. Siswa SMP tak lulus UN mencapai 922 orang dan ketidaklulusan siswa SMA mencapai 321 siswa atau 18,38 persen. Keterpurukan itu sempat membuat Bupati Lutim frustasi.

Untuk mengantisipasi agar hal tersebut tidak terulang lagi di tahun ajaran mendatang, maka Dinas Pendidikan, Budaya, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Dikbudparmudora) mengambil langkah-langkah khusus. Upaya Dinas Pendidikan, Budaya, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Dikbudparmudora) untuk masuk 10 besar tingkat kelulusan siswa mulai dilakukan pada awal tahun 2008.

Upaya Dinas Pendidikan, Budaya, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Dikbudparmudora) untuk masuk 10 besar tingkat kelulusan siswa dilakukan melalui beberapa cara :

1. Kerjasama dengan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Sulawesi Selatan untuk mengoptimalkan sumber daya tingkat sekolah dasar dan menengah di Kabupaten Luwu Timur melalui peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan yang meliputi :
a.Peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan
b.Pemberdayaan dan peningkatan kinerja sekolah
c.Pengukuran dan evaluasi pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah
d.Pengkajian dan pengembangan kinerja pembelajaran, materi pembelajaran, manajemen pembelajaran, serta perancangan model-model pembelajaran
e.Pengembangan dan pengelolaan sistem informasi mutu pendidikan

2. Kerjasama dengan Universitas Negeri Makassar dan YPS PT. Inco dalam bentuk peningkatan dan pemberdayaan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan dalam berbagai jenjang yang relevan dengan kebutuhan program pembangunan wilayah.

Tujuan dilaksanakannya beragam kegiatan tersebut adalah untuk :

1. meningkatkan kemampuan guru matapelajaran yang di-UN-kan pada jenjang SMP dan SMA di Kabupaten Luwu Timur, dalam memberikan pembelajaran intensif kepada siswa dalam menghadapi UN
2. meningkatkan kemampuan guru pembimbing SMP dan SMA di Kabupaten Luwu Timur, untuk membantu siswa mengatasi problem psikologis dalam menghadapi UN/SPMB dan dalam memilih program studi lanjut yang tepat meningkatkan kesiapan mental Siswa kelas IX (SMP) dan kelas XII (SMA) yang ada di Kabupaten Luwu Timur, dalam menghadapi situasi dan soal-soal UN

Kegiatan ini dilakukan pada sasaran utama, sebagai berikut:

1. Guru mata pelajaran yang di-UN-kan di SMP se-Kabupaten Luwu Timur.
2. Guru mata pelajaran yang di-UN-kan di SMA se-Kabupaten Luwu Timur
3. Guru pembimbing (konselor sekolah) SMP dan SMA se-Kabupaten Luwu Timur
4. Siswa kelas IX SMP se-Kabupaten Luwu Timur
5. Siswa kelas XII SMA se-Kabupaten Luwu Timur

Kerjasama dengan UNM, dan YPS PT. Inco dibuat dalam tahapan:

1. Tes Diagnosis/ Try Out

Tes diagnosis dilakukan sebelum pelaksanaan teacher training dalam rangka peningkatan kapasitas guru mata pelajaran yang diujiannasionalkan. Hasil tes diagnosis selanjutnya digunakan sebagai bahan pembahasan dalam pelatihan. Pelaksanaan tes diagnosis diberikan kepada siswa SMP kelas IX dan siswa SMA kelas XII se-Kabupaten Luwu Timur. Jumlah sekolah yang mengikuti tes diagnosis sebanyak 37 sekolah untuk jenjang SMP dan 21 sekolah untuk jenjang SMA. Pelaksanaan tes diagnosis dilaksanakan pada empat rayon yaitu: Rayon 1: Mangkutana, Rayon 2: Wotu, Rayon 3: Malili dan Rayon 4: Towuti. Tabel 1 dan 2 memperlihatkan jumlah peserta untuk masing-masing mata pelajaran berdasarkan rayon.

Soal-soal untuk tes diagnosis setiap matapelajaran yang di-UN-kan dikembangkan oleh tim dari UNM. Soal tersebut dikembangkan berdasarkan lingkup Standar Kompotensi Kelulusan (SKL) masing-masing mata pelajaran pada jenjang SMP dan SMA, dan dengan memperhatikan jenis dan tingkat kesulitan soal-soal UN tahun sebelumnya. Lembar jawaban dibuat sedemikian rupa untuk membiasakan siswa menjawab pada lembar jawaban komputer.

Hasil pelaksanaan tes diagnosis dianalisis berdasarkan butir soal untuk setiap mata pelajaran yang di-UN-kan. Untuk setiap butir soal yang ditanyakan, informasi yang dimunculkan adalah berapa persen siswa yang mampu menjawab benar soal tersebut. Berdasarkan hasil tersebut, diharapkan dapat memberikan informasi kepada guru mata pelajaran yang akan dilatih dalam kegiatan tahap berikutnya untuk bisa memetakan kemampuan siswa-siswanya.

2.Penguatan kapasitas guru mata pelajaran

Penguatan kapasitas guru mata pelajaran dimaksudkan untuk membekali guru mata pelajaran yang di-UN-kan dengan keterampilan memberikan bimbingan dan peningkatan penguasaan materi dari mata pelajaran yang diujian nasionalkan. Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut:

a.Peserta guru dipisahkan menurut jenjang pendidikan (SMP dan SMA) dan jenis mata pelajaran yang di-UN-kan. Pelatihan dilakukan dalam pertemuan kelompok kecil menurut jenis mata pelajaran yang di-UN-kan. Untuk jenjang SMP, terdiri atas 6 kelas, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Ketiga mata pelajaran terakhir, nantinya tergabung dalam mata pelajaran IPA pada ujian nasional. Untuk jenjang SMA, terdiri atas 10 kelas, yaitu untuk jurusan IPA: Matematika IPA, Fisika, Kimia, Biologi; untuk jurusan IPS: Matematika IPS, Sosiologi, Ekonomi/Akuntansi, dan Geografi, ditambah dua mata pelajaran umum yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.

b.Pelatihan diarahkan pada dua materi pokok, yaitu penguasan konten mata pelajaran dan teknik praktis bimbingan belajar penyelesaian soal UN. Fokus pembahasan terutama pada bagian-bagian materi mata pelajaran yang berdasarkan hasil tes diagnosis siswa yang menunjukan hasil yang rendah.

c.Setiap kelompok mata pelajaran pada setiap jenjang didamping dua orang dosen UNM yang memiliki latar pendidikan sesuai dengan mata pelajaran kelompok tersebut.

d.Waktu pelatihan setiap kelompok akan memakan waktu 6 hari kerja @ 6 jam.

Total jumlah guru yang terdaftar mengikuti pelatihan adalah 172 orang untuk jenjang SMP, dan 118 orang untuk jenjang SMA.

3. Klinik Guru Mata pelajaran di UN-kan.

Dalam klinik atau temu konsultasi dengan instruktur, guru mata pelajaran memaparkan kemajuan serta permasalahan yang dialami dalam proses belajar mengajar. Klinik guru ini dibagi menjadi 2 wilayah, wilayah I meliputi Malili, Wasupanda, Nuha, Towuti dan sebagian Kecamatan Angkona. Wilayah II meliputi Kecamatan Burau, Wotu, Tomoni, Tomoni Timur, Mangkutana, Kalaena dans ebagian kecamatan Angkona.


HASIL

Apa hasil dari seluruh kerja keras daerah? Hasilnya dapat diacungkan jempol; tahun ajaran 2007/2008, Luwu Timur menduduki urutan ke-5 tingkat kelulusan se-Sul Sel untuk tingkat SMA, dan urutan ke-9 untuk tingkat SMP.

PROGRAM PEMBERDAYAAN & PENGENTASAN KEMISKINAN

RUSUNAWA SUMASANG & KOTA TERPADU MANDIRI (KTM) MAHALONA


1. RUSUNAWA SUMASANG

Kepedulian pemerintah daerah akan kesehatan terlihat dari skala prioritas yang menempati urutan kedua setelah pendidikan. Salah satu masalah serius yang berdampak pada kesehatan warga dapat terlihat pada jejeran rumah-rumah kumuh dan liar yang berada di bantaran danau Matano – danau terdalam di Asia. Rumah-rumah kumuh yang tidak memiliki sanitasi tersebut juga berdampak pada pencemaran air danau.

Guna mencegah semakin banyaknya pemukiman liar dan kumuh di sekitar danau Matano maka pemerintah daerah melalui bantuan APBN, dukungan PT. Inco, dan dana APBD membangun Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) dengan tujuan merelokasi masyarakat yang bermukim di atas danau Matano. Rusunawa yang tengah dibangun di desa Sumasang – Soroako, Kec. Nuha, Luwu Timur yang berjarak 60 km dari ibu kota kabupaten ini adalah salah satu dari enam daerah yang dipilih pemerintah pusat untuk pembangunan rusunawa selain Tarakan, Menado, Bau-Bau, Batam, dan Semarang.

Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) dicanangkan pemerintah pusat melalui program Seribu Tower. Peletakan batu pertama Rusunawa dilaksanakan Januari 2008 lalu dan dilaksanakan dalam rangkaian peringatan Hari Jadi Luwu ke-740 dan Perlawanan Rakyat Luwu ke-62. Pembangunan Rusunawa itu berfungsi ganda. Pertama untuk memberi keringanan kepada masyarakat miskin, sedang fungsi yang kedua untuk menjaga kelestarian Danau Matano

Pembangunan rusunawa ini dibangun setelah pemerintah pusat menyetujui rusunawa di bangun di atas Bumi Batara Gowa. Luwu Timur terpilih sebagai satu-satunya daerah di provinsi Sul-sel (kecuali Makassar) setelah kriteria penetapan daerah termasuk lahan, masyarakat penghuni rusunawa, kesiapan infrastuktur jalan, dan beragam persyaratan lainnya yang ditetapkan mampu dipenuhi. Peran Pemda adalah menyediakan lahan dan sarana pendukung lainnya termasuk infrastruktur jalan aspal melalui APBD. Total dana APBN dan APBD yang dikucurkan adalah 35,1 M.

Lahan yang disediakan untuk pembangunan rusunawa pada dasarnya adalah lahan sewa PT. Inco yang sudah tidak produktif lagi bagi perusahaan sehingga melalui negosiasi antara pemerintah daerah dan PT. Inco maka perusahaan penambang nikel yang menjadi penyumbang pajak terbesar di Lutim itu bersedia untuk melepas haknya. Bahkan perusahan bersedia untuk membuka lahan yang awalnya masih berupa hutan pegunungan karena pemerintah pusat hanya mengucurkan dana sebesar 31 M untuk pembangunan fisik rusunawa. Selain itu untuk landcape (penataan taman) sepenuhnya ditanggung oleh PT. Inco. Bagaimanapun keberadaan Danau Matano juga menjadi tanggung jawab PT. Inco terkait dengan PLTA Larona, Balambano, dan Karebbe yang saat ini dalam tahap pembangunan.

Sebelum pembangunan Rusunawa ini dilakukan, terlebih dahulu diadakan sosialisasi untuk menjaring minat warga akan rusunawa ini karena sasaran rusunawa ini adalah para penduduk yang bermukim di bantaran danau Matano yang memiliki ekonomi menengah ke bawah. Setelah respon warga atas keinginan pemerintah daerah terlihat positif maka di mulailah pembangunan rusunawa ini. Rusunawa ini dibangun di atas tanah dengan luas kurang lebih 2 hektar, bertingkat lima dengan empat lantai, memiliki tiga tower, dan tingkat hunian 288 unit bertype 24.

Dengan tetap mengusung konsep sewa, maka masyarakat yang menghuni rusanawa ini tetap dikenakan sewa dengan hitungan per bulan namun dengan biaya sewa yang relatif terjangkau antara Rp. 180rb – 250rb/ bulan dan uang sewa tersebut selanjutnya akan dikelola oleh Badan Pengelola yang anggotanya terdiri dari penghuni rusunawa itu sendiri untuk biaya maintenance gedung.

Saat ini Camat Nuha dibantu oleh 2 kepala desa (Desa Nikel dan Desa Soroako) dan tokoh masyarakat telah melakukan pendataan penduduk yang bermukim di bantaran danau Matano. Ke depan, pemukiman liar akan dikosongkan sebagaimana yang diprogramkan pemda terkait rencana penataan kota dan pembangunan dermaga Soroako.


2. KOTA TERPADU MANDIRI (KTM) MAHALONA

Kepedulian pemerintah daerah terhadap kemiskinan warga tidak hanya pada warga Luwu Timur itu sendiri, melainkan lebih dari itu. Ketika penduduk dari Jawa yang mengalami bencana menengadahkan tangan memohon bantuan, dengan sigap daerah ini membuka tangan selebar-lebarnya. Daerah seluas 12 ribu hektar dengan segera dipersiapkan bagi kawasan transmigran asal Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan penduduk lokal itu sendiri. Dengan kerjasama yang harmonis antara pusat dan daerah terciptalah sebuah kota dalam desa; KOTA TERPADU MANDIRI (KTM) MAHALONA.

KTM Mahalona dengan latar belakang hutan dan pegunungan terletak tidak jauh dari Danau Towuti. Sebelah utara berbatasan dengan Sungai Indoangi, sebelah Timur dengan Dsn. Buangin, sebelah Barat dengan dsn.Mahalona, dan sebelah Selatan dengan Sungai Lampesue. Ditunjuknya Mahalona sebagai kawasan transmigran oleh pemerintah pusat di dasari pada pertimbangan bahwa kawasan tersebut memiliki lahan yang ”clean & clear”, layak lingkungan, dan layak huni dengan sumber air yang melimpah karena berada di antara 2 sungai dan 1 danau.

Saat ini KTM Mahalona menempati areal seluas 7.132 hektar dengan 330 KK. Sebagai areal transmigran, penduduk KTM Mahalona ini terdiri dari beragam daerah; Jawa barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan penduduk lokal itu sendiri. Masuknya transmigran ini terdiri dari 2 gelombang; gelombang I sebanyak 250 KK masuk pada bulan November 2007, dan gelombang II sebanyak 80 KK masuk pada bulan November 2008. Gelombang I ditempatkan di Blok A, B, dan C, sedangkan gelombang II di blok D.

Dari 330 jumlah transmigran, 70 KK berasal dari Jawa Barat, 70 KK dari Jawa Tengah, 25 KK dari DI Yogyakarta, dan 160 KK adalah penduduk lokal. Berimbangnya jumlah antara penduduk transmigran luar dengan transmigran lokal dikarenakan banyak penduduk yang memiliki lahan di kawasan KTM sehingga mereka diberikan opsi apakah mereka akan dijadikan bagian dari penduduk transmigran ataukah mereka diberikan lahan lain sebagai pengganti lahan mereka.

Fasilitas-fasilitas umum yang terdapat di kawasan tersebut adalah pasar yang dilaksanakan setiap hari Selasa, balai desa, pustu, sekolah, mushallah, dan jalan desa yang sudah dikerikil. sedangkan akses menuju ke KTM Mahalona ada dua pilihan; kendaraan umum atau ojek. Jika memilih jalur kendaraan umum tarif yang dikenakan sebesar Rp. 15.000/ orang dan barang Rp. 10.000/orang. Namun jika anda lebih suka naik ojek smabil melihat-lihat keindahan alam Mahalona, maka siap-siaplah untuk merogoh kocek hingga Rp. 75.000/orang hingga ke kecamatan Towuti.

Setiap keluarga transmigran menempati lahan seluas 2 hektar dengan bangunan seragam bertype 36, memiliki 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 kamar mandi, dan sumur yang terletak di belakang rumah. Lahan seluas 2 hektar tersebut diberikan untuk pemanfaatan lahan pekarangan seluas 0,1 hektar (20 x 50 meter), lahan usaha I seluas 0,9 hektar (90 x 100 meter), dan lahan usaha II seluas 1 hektar (100x100 meter). Lahan 2 hektar tidak diberikan sekaligus melainkan bertahap. Awalnya transmigran diberikan lahan pekarangan termasuk rumah dengan tujuan transmigran memanfaatkan lahan pekarangan tersebut dengan tanaman jangka pendek. Setelah lahan pekarangan sudah produktif maka lahan usaha I akan diberikan untuk diolah. Demikian pula lahan usaha II akan menjadi milik transmigran apabila lahan usaha I telah menunjukkan hasil.

Selama menunggu tanaman jangka pendek di lahan pekarangan membuahkan hasil, transmigran diberikan jaminan hidup (jadup) selama setahun yang terdiri dari beras, ikan asin, minyak tanah, minyak kelapa, gula pasir, gula merah, teh, kopi, kacang hijau, kecap, garam, sabun cuci, sabun mandi, pasta gigi, dan beragam kebutuhan hidup lainnya. Jadup gelombang I diberikan setiap tanggal 9 di awal bulan dan jadup gelombang II setiap tanggal 22. Diharapkan dalam jangka waktu lima tahun ke depan, para transmigran telah mampu berdiri sendiri, dan jika itu terjadi maka sertifikat lahan 2 hektar akan menjadi milik mereka.

Dana APBN yang terserap di kawasan KTM ini pada tahun 2007 sebesar 17 M, 2008 7 M, dan 2009 nanti sebesar 30 M. Sedangkan dana APBD meliputi pembukaan lahan dan jalan, pembangunan sarana kesehatan, pendidikan, mushallah, balai desa, dan sarana pendukung lainnya.

Dibukanya kawasan KTM Mahalona sebagai kawasan transmigran sekaligus membuka jalur ke Sulawesi tengah dan Sulawesi Tenggara**** (m_milawaty@yahoo.com)

KTM MAHALONA DI MASA DEPAN

REHABILITASI HUTAN MANGROVE


Upaya membangun Benteng Tsunami


Persoalan memenangkan daerah dalam kategori lingkungan hidup boleh dikatakan sangat tidak mudah. Banyak perdebatan di dalamnya menyangkut siapa yang berhak membawa pulang award untuk kategori ini. Hal ini wajar mengingat banyaknya isu strategies yang dipersyaratkan menyebabkan tingginya tingkat persaingan. Lingkungan hidup sungai dan darat di 23 kabupaten kota saling bersaing ketat. Begitu ketatnya sehingga tim FIPO memerlukan kunjungan ulang di beberapa daerah nominasi. Akhirnya setelah beberapa lama berdebat dan mempertimbangkan tiga kriteria penilaian, award lingkungan hidup berhak dibawa pulang oleh Kabupaten Sinjai.

Kemenangan Kabupaten Sinjai cukup beralasan. Pertama, survey publik menempatkan daerah penghasil susu sapi ini di urutan pertama. Nilai survey publik Sinjai yang sebesar 295 poin memiliki selisih cukup jauh dengan nilai survey publik kabupaten lainnya. Ini menandakan bahwa program lingkungan hidup khususnya yang terkait dengan pelestarian hutan mangrove Tongke-Tongke bukan hanya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar lokasi hutan mangrove, melainkan juga masyarakat lainnya.

Masalah lingkungan hidup memang menjadi salah satu titik fokus pemerintah daerah Sinjai. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bupati Sinjai, H. Rudiyanto Asapa, SH, MH, “Pada bidang lingkungan, inovasi kami jelas. Jauh sebelum adanya Sulsel Go Green maupun GN RHL, kami telah mengumandangkan dan meluncurkan program Gerhita (Gerakan Hijau Kota), mendukung dan membangkitkan swadaya masyarakat dalam mengelola lingkungan termasuk di Hutan Bakau Tongke-Tongke, menyiapkan sebuah Taman Hutan Raya dan lain-lain”.

Alasan kedua, Tongke Tongke adalah simbol sukses rehabilitasi hutan bakau berbasis masyarakat. Hutan mangrove Tongke-Tongke bukanlah hutan baru, melainkan telah tumbuh berpuluh-puluh tahun yang lalu melalui partisipasi masyarakat. Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran masyrakat warga untuk melestarikan hutan mangrove. Pemerintah daerah dengan dukungan masyarakatnya mampu menciptakan potensi alam menjadi jauh lebih baik dan lebih bermanfaat. Masyarakat setempat mendapat dana segar dari pemerintah daerah untuk memelihara hutan mangrove. Pada tahun 1984 melalui kelompok swadaya masyarakat - Kelompok Pelestarian Sumber Daya Alam Aku Cinta Indonesia (KPSDA-ACI) Desa Tongke-Tongke yang didirikan warga setempat khusus untuk menangani penanaman dan pelestarian hutan bakau di sepanjang pesisir desa - penanaman mangrove digalakkan.

Alasan ketiga, kondisi lingkungan dan iklim mendukung usaha pemerintah dan daerah dalam melestarikan mangrove. Badan Metreologi dan Geofisika (BMG) menyatakan bahwa kawasan Tongke-Tongke memiliki intensitas curah hujan yang tinggi antara bulan April-september, dengan temperatur berkisar antara 20-30 0C, merupakan kondisi yang baik dalam menunjang pertumbuhan. Desa Tongke-Tongke dilalui oleh dua buah sungai yaitu sungai Baringeng dan sungai Tui, yang membawa sedimen dari gunung Bawakaraeng hingga ke pesisir pantai, sehingga tanah yang berada pada kawasan tersebut merupakan campuran antara pasir dan lumpur sungai. Paloloang (2001) menyatakan bahwa pantai yang tenang dan berlumpur, serta saltasi (pelumpuran) yang terjadi akibat dari sedimentasi sungai yang ada diatasnya sangat sesuai untuk pertumbuhan mangrove. Saat ini hutan mangrove Tongke-Tongke membujur lebih dari satu kilometer dari bibir pantai. Pohon mangrove ditengarai mampu memecah gumpalan ombak tsunami sehingga hanya menjadi riak-riak kecil ketika mencapai daratan. Makin tinggi gelombang ombak, makin besar pula energi yang akan menghantam kawasan pantai. Terumbu karang akan meredam hantaman gelombang terhadap pantai dan selanjutnya akan dilapisi oleh tegakan hutan mangrove. Bentangan hutan mangrove sejauh 1200 meter mampu mengurangi gelombang tsunami sekitar dua kilometer. Memang, mangrove tak berarti bisa mencegah tsunami seratus persen. Tetapi sebagai benteng alami, ia bisa mengurangi tingkat keparahan akibat tsunami dengan amat menakjubkan.

Dengan mengoptimalkan potensi alam, pemerintah dan masyarakat, hutan Mangrove Tongke-Tongke disulap menjadi desa yang sungguh menakjubkan; keindahan pantai, kicauan burung, kelelawar yang beterbangan, atau perilaku kepiting di bawah rerimbunan pohon bakau atau mangrove.

Dari sudut fungsi ekologis dan ekonomi, mangrove tak ternilai harganya. Nelayan bisa menghemat biaya operasional karena aktivitas mencari ikan tidak perlu dilakukan hingga jauh ke tengah laut. Berbagai biota pesisir dan laut (ikan, udang, kerang, dan lain-lain) menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai daerah pemijahan/bertelur (spawning ground). Mangrove juga menjadi kawasan tempat berlindung (nursery ground) untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai biota. Mereka menangguk banyak keuntungan dari “kemurahan hati” mangrove. Dedaunan, ranting, dan bagian lainnya yang menjadi sampah dan jatuh ke air tidak sia-sia, bahkan menjadi unsur hara yang amat menentukan produktivitas perikanan sebagai feeding ground. Sampah ini, juga jasad renik yang muncul karenanya, menjadi makanan bagi hewan-hewan yang hidup di perairan ekosistem mangrove ini. Di sela-sela akar bakau, akan mudah dijumpai kepiting bakau, benur, nener, udang, biri, tiram, ikan sunu, ikan baronang, ikan bandeng, ikan mujair, ikan cakalang, ikan terbang, ikan teri dan lain-lainnya. Sementara di puncaknya biasanya bertengger koloni kalelawar yang jumlahnya mencapai ratusan ekor. Kepiting dan kelelawar yang bersimbiosis mutualisme dengan hutan bakau bahkan memberikan keuntungan ekonomis kepada warga Tongke-Tongke. Ini karena kedua hewan itu merupakan komoditas yang banyak diminati restoran lokal dan manca negara.

Alasan keempat, wilayah ini terkenal di kalangan peneliti internasional sebagai salah satu pusat pengembangan hutan bakau di Indonesia. Tak heran, kawasan hutan bakau Tongke-Tongke menjadi salah satu kawasan studi banding untuk pengembangan tanaman bakau bagi lembaga pengembangan kawasan bakau di dunia.

Alasan kelima, Pemkab Sinjai menjadikan hutan mangrove sebagai objek wisata. Salah satu kegiatan yang ditawarkan kepada wisatawan adalah pemancingan kepiting, udang, dan berbagai jenis ikan yang dibudidayakan. Tahun 2007 dan 2008 pemerintah daerah membangun pintu gerbang, jembatan dan vila sederhana di dalam hutan bakau.
Pelajaran yang dapat diambil dari Tongke-Tongke adalah ternyata upaya-upaya konservasi dapat sejalan dengan saling menunjang dengan ekonomi. Peningkatan kesejahteraan dapat menjadi motivasi tersendiri bagi masyarakat sekitar hutan untuk semakin menyadari pentingnya menjaga kelestarian hutan bakau karena adanya manfaat langsung yang telah dirasakan, ekonomis maupun ekologis. (m_milawaty@yahoo.com)*

Selasa, 10 November 2009

MENGANGKAT ISU PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN GENDER DI SULAWESI SELATAN

Ketika orang berbicara tentang gender, maka konotasinya pada wanita. Hal ini disinyalir oleh Joan Wallace Scott dalam bukunya Gender and the Politics of History, (1988, P. 31) bahwa dalam arti yang sederhana “gender” synonym untuk “wanita”. Mencermati tulisan Joan Wallach Scott mengatakan bahwa istilah gender sebagai pengganti kata wanita, sebenarnya mengandung pengertian hubungan sosial antara laki-laki dan wanita. Artinya informasi tentang wanita dengan sendirinya berarti juga informasi tentang laki-laki.


Saat ini Gender bias (ketidakadilan jender) di Indonesia masih dirasakan oleh mayoritas kaum perempuan. Ketidakadilan jender dalam kehidupan mengambil bentuk-bentuknya yang spesifik, yaitu marjinalisasi, subordinasi, stereotip, dan violence (kekerasan) terhadap kaum perempuan.

Keberadaan perempuan dalam struktur ekonomi selalu dikesampingkan (dimarjinalisasikan), sehingga perempuan kehilangan sumber-sumber pendapatannya. Begitu pula secara struktural perempuan disubordinasi oleh kaum laki-laki, sehingga perempuan harus selalu tunduk dan patuh terhadap struktur kekuasaan laki-laki.
Kondisi di atas pada gilirannya dapat menjadikan distorsi bahkan pengendapan terhadap potensi yang dimiliki oleh kaum perempuan. Pada akhirnya perempuan memiliki stereotif sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, tidak kreatif, dan hanya cocok untuk pekerjaan-pekerjaan domestik. Dengan demikian sering terjadi bentuk-bentuk kekerasan (violence) yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

Bagaimana peran perempuan itu sendiri di Sulawesi Selatan? Berdasar data yang dipublikasikan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan (Kemeneg PP) dan BPS, indeks pembangunan gender (IPG) Sulawesi Selatan terus menurun dalam tiga tahun (2004-2006). Mulai dari peringkat 25 pada 2004 terus merosot ke peringkat 27 pada 2006. Selain itu, IPG Sulsel termasuk yang terendah bila dibandingkan dengan IPG provinsi lain di Pulau Sulawesi.

Di antara enam propinsi di Pulau Sulawesi (Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Sulbar, dan Gorontalo), Sulsel justru menduduki posisi kedua terendah di tahun 2006. Data di atas menunjukkan betapa tertinggalnya IPG Sulawesi Selatan dibandingkan propinsi tetangganya. Bahkan Sulawesi Barat yang lima tahun lalu masih merupakan bagian dari Sulawesi Selatan kini bertengger di urutan kedua tertinggi di jajaran wilayah Sulawesi.

Hal yang sama terjadi pada indeks pemberdayaan gender (IDG). Meskipun skor-nya terus meningkat hingga mencapai 51,8 persen atau terjadi peningkatan sebesar 2,6 persen selama tiga tahun terakhir, namun dalam periode 2004-2006 IDG Sulsel terus mengalami penurunan peringkat hingga urutan 27 pada 2006. Dibandingkan dengan propinsi lain di Sulawesi, Sulsel terus berada di posisi paling buncit selama kurun waktu 2004-2006.

Data faktual tersebut selayaknya menjadi perhatian semua pihak, baik pihak pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, dan lembaga non-pemerintah nasional dan internasional. Padahal, Sulawesi Selatan merupakan propinsi yang memiliki fundamen paling kuat baik secara historis, politis, dan ekonomis. Secara ekonomis pun Sulsel adalah pintu gerbang perdagangan untuk kawasan Timur Indonesia. Ini berarti masih ada yang kurang dalam pemerintahan Sulawesi Selatan selama ini.

Minimnya pembangunan dan pemberdayaan Gender di Sulawesi Selatan akhirnya mendorong FIPO untuk mengangkat isu gender ini ke dalam monitoring dan evaluasi di tahun 2009 ini. Hal ini bukan tanpa alasan. Diharapkan dengan dimasukkannya masalah gender ke dalam penilaian FIPO, mata daerah dapat terbuka lebih lebar untuk terus melakukan pembangunan dan pemberdayaan gender di daerah masing-masing.

Pada tahun 2008 yang lalu, FIPO menggagas sembilan indikator pembangunan daerah yang meliputi pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, layanan pendidikan, layanan kesehatan, layanan administrasi dan kependudukan, partisipasi publik dan kesinambungan politik, akuntabilitas publik, dan lingkungan hidup. Untuk kesembilan indikator tersebut, FIPO menganugerahkan 12 trophi yang terdiri dari sembilan trophi perak dan tiga trophi emas.

Pada tahun 2009 ini, kesembilan indikator di atas masih tetap digunakan. Demikian pula dengan isu strategis setiap indikator. Bedanya, pada tahun ini ada 13 trophi yang akan diperebutkan. Trophi ketigabelas adalah penghargaan untuk daerah yang berhasil dalam kesetaraan dan pemberdayaan gender (gender equity and empowerment).
Kesetaraan (Equity) dimaknai sebagai dampak (outcome) dari kesamaan (equality). Yaitu kesamaan berupa life outcome antara laki-laki dan perempuan. Melalui pengakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam hal kebutuhan dan kepentingan dan membutuhkan redistribusi kekuasaan dan sumberdaya (Reeves dan Baden, 2000:12).

Sebuah kondisi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tercapai bila terdapat pengakuan bahwa terdapat perbedaan kebutuhan, pilihan, kepentingan dan perlakuan yang berbeda. Sehingga kondisi kesetaraan lebih luas daripada sekedar kesamaan kesempatan. Sebagai langkah operasional untuk mencapai kondisi tersebut, maka setiap kebijakan dan program/intervensi pembangunan harus dikaji terlebih dahulu dampaknya terhadap hubungan gender. Yakni, harus memberikan kesetaraan gender.

Pemberdayaan (empowerment) merupakan sebuah proses perubahan (transformasi). FIPO merujuk konseptualisasi dari Kabeer, bahwa situasi keberdayaan akan terjadi bila individu memiliki kemampuan untuk memilih seluruh kemungkinan alternatif pilihan (1999:437). Maka pemberdayaan perempuan merupakan serangkaian kebijakan dan intervensi untuk mendorong agar perempuan memiliki kemampuan untuk memilih berbagai alternatif pilihan sesuai kebutuhan, pilihan, dan kepentingannya. Tentunya dalam situasi yang setara dengan laki-laki.

Dalam kaitannya dengan penelitian FIPO di 23 kabupaten/kota, kesetaraan dan pemberdayaan gender dalam parameter Kemajuan Ekonomi akan melihat bagaimana pertumbuhan, pemberdayaan, pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang sensitif gender. Sedangkan pada Pelayanan Publik, kesetaraan dan pemberdayaan akan dilihat pada responsivitas, kesetaraan dan partisipasi dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi.

Untuk Kinerja Politik Lokal, FIPO akan melihat bagaimana partisipasi perempuan (termasuk dalam politik), pengambilan keputusan, dan akuntabilitas spesifik perempuan. Dan pada paremeter Lingkungan Hidup, kesetaraan dan pemberdayaan akan dari sejauh mana peran pemerintah daerah untuk melibatkan perempuan dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam.

Keseluruhan peran perempuan di atas tentunya dilakukan bukan semata-mata atas inisiatif orang per orang, melainkan atas inisiatif pemerintah daerah dan hal itu didukung penuh oleh anggaran (anggaran berpihak gender).

Semoga perjalanan FIPO di akhir tahun 2009 ini akan menemukan inovasi kesetaraan dan pemberdayaan gender. Bagaimanapun keberhasilan suatu daerah tidak akan pernah lepas dari peran perempuan*****(m_milawaty@yahoo.com)

Profil Peraih Trophy Pemerataan Ekonomi Pada Otonomi Award 2009

MELEJIT BERKAT SAWAH TADAH HUJAN


Trophy Otonomi Award dari The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) untuk kategori Daerah dengan Profil Menonjol pada Pemerataan Ekonomi direbut Kabupaten Pangkep. Apa saja terobosannya sehingga Pangkep layak memperoleh penghargaan tersebut? Berikut laporan Milawaty dari FIPO.


Tidak mudah untuk meraih penghargaan ini. Kabupaten Pangkep pun tak serta-merta dengan enteng meraih anugerah utama tersebut. Kabupaten yang hanya berjarak 60 km dari ibu kota provinsi Sulawesi Selatan itu harus berpeluh-peluh melakukan terobosan dan inovasi pemerataan ekonomi. Dalam perjalanan menuju prestasi tertinggi itu, Pangkep dengan programnya “Puluhan Milyar untuk Sawah Tadah Hujan” harus bersaing keras dengan empat kabupaten lainnya yang juga masuk dalam nominasi ini, yaitu Sinjai dengan “Avalist”-nya, Maros dengan program unggulan “Smart Card”, Selayar dengan “Koperasi Masuk Desa”, dan Palopo dengan “Pinjaman Penguatan Modal Usaha”.

Banyak yang perlu ditinjau untuk memutuskan kemenangan daerah, seperti inovasi, hasil survey survey publik, serta hasil existing data seperti penjabaran APBD, profil pendidikan, profil kesehatan, data ekonomi, data lingkungan hidup, dan beragam data lainnya terkait kebijakan pemerintah kabupaten kota dalam merumuskan program-programnya.

Untuk nilai inovasi, diantara 22 kabupaten kota lainnya, Pangkep meraih nilai inovasi tertinggi sebesar 540 point. Pada survey publik, Kabupaten Pangkep berada di urutan kedua setelah Kabupaten Sidrap dengan nilai survey 158 point, selisih 6 point dengan Sidrap. Survey publik ini melibatkan 10 elemen dalam masyarakat yang mencakup organisasi kemasyarakatan, LSM, organisasi profesi, tokoh masyarakat, pedagang / pengusaha / investor, petani / nelayan, DPRD / parpol, kelompok perempuan, masyarakat umum, dan siswa / mahasiswa. Untuk eksisting, Pangkep hanya berada di urutan ke empat setelah Kota Palopo, Pare-Pare, dan Makassar. Dari ketiga penilaian tersebut, ternyata Kabupaten Pangkep yang meraih nilai tertinggi disusul oleh Sinjai, Maros, Selayar, dan Palopo (selengkapnya lihat grafis).

Dengan program “Puluhan Milyar untuk Sawah Tadah Hujan” kiranya tidak berlebihan bila Kabupaten Pangkep membawa pulang trophy Otonomi Award. Dengan program ini pula, kabupaten ini berhasil menggondol trophy emas untuk kategori Daerah dengan Profil Menonjol pada Pengembangan Ekonomi.

Pangkep merupakan daerah pertanian dan memiliki potensi yang besar sebagai daerah surplus. Untuk itu salah satu faktor utama dalam peningkatan sektor pertanian adalah pengadaan air mengingat selama ini sebagian petani memfungsikan sawahnya hanya sebagai sawah tadah hujan. Hal ini disebabkan kesulitan petani untuk mendapatkan sumber air. Setiap tahun pada musim gaduh petani sangat kesulitan untuk mendapatkan air irigasi. Bahkan banyak petani yang sudah 10 tahun sawahnya tidak diairi pada musim kemarau sehingga mereka lebih memilih untuk membiarkan sawahnya tanpa aktifitas. Sebagai daerah agraris, kabupaten ini tak mau berlama-lama membiarkan kondisi tersebut. Untuk mengatasinya maka mulai pada tahun 2006 pemerintah kabupaten Pangkep mengambil langkah-langkah besar untuk mengoptimalkan pemanfaatan air, seperti pembuatan bendung, rehabilitasi irigasi desa, pembangunan pintu air, pembuatan sumur bor, pembuatan embung, pembangunan irigasi perpipaan, serta rehabilitasi gudang dan lantai jemur. Selain itu pemerintah daerah juga melakukan pengadaan sarana prasarana teknologi tepat guna seperti handtraktor, pompa air, power thresher, hand sprayer, appo, drayer, dan lain-lain.

Keseriusan pemerintah kabupaten Pangkep terlihat dari jumlah anggaran yang dikucurkan. Jumlah anggaran untuk pembuatan infrastruktur dan pengadaan sarana prasarana teknologi tepat guna setiap tahunnya menunjukkan peningkatan. Hal ini terlihat untuk tahun 2006 anggaran yang diturunkan sebesar Rp. 7,25 milyar, untuk tahun 2007 sebesar Rp. 10.05 M, dan pada tahun 2008 sebesar Rp. 19,1 M.

Dengan kerja keras Pemerintah Daerah Pangkep selama empat tahun terakhir ini, banyak petani yang sudah 10 tahun sawahnya tidak diairi pada musim kemarau, kini mulai menggarap sawah. Dengan adanya sumber-sumber air yang dimaksimalkan oleh pemda, panen yang tadinya hanya sekali setahun kini bisa dilakukan dua kali setahun sehingga mampu memberikan kesejahteraan kepada para petani dan keluarganya.

Daerah-Daerah Peraih Nominee Kategori Lingkungan Hidup

UPAYA DAERAH BERSAHABAT DENGAN ALAM

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak dari setiap warga negara. Oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk ikut berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Berbagai upaya yang dilakukan antara lain, mencegah dan menanggulangi pencemaran dan pengerusakan lingkungan sebagaimana yang ditetapkan di dalam UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi lingkungan hidup di Sulawesi Selatan, khususnya dalam hal kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup sangat memprihatinkan. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan lingkungan hidup menjadi parameter khusus dalam Otonomi Award 2009.

Penjabaran pemeliharaan lingkungan hidup di 23 kabupaten kota cukup bervariatif. Hal ini ditandai dengan persaingan pemeliharaan di wilayah daratan, pegunungan, dan sungai. Seperti pemeliharaan hutan bakau, pembuatan sumur resapan, penataan kebersihan kota, pembuatan PLTMH, PLTS, PLT Bayu/Angin, penyulingan air laut menjadi air tawar, sistem pengelolaan persampahan, dan pembuatan bio gas.

Dari sekian banyak inovasi daerah, terpilih lima daerah yang berdasarkan program inovasi, survey publik, dan eksisting data mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Kelima daerah tersebut adalah Kabupaten Sinjai, Soppeng, Luwu Utara, Parepare, dan Enrekang.

Wilayah Soppeng yang konturnya dikelilingi oleh pegunungan mengusung program sumur resapan. Kondisi inilah yang akhirnya mendorong pemerintah untuk memikirkan alternatif sumber air jika musim kemarau datang dengan membangun sumur resapan di setiap kecamatan yang juga berguna untuk perlindungan sumber daya air.

Sumur Resapan (infiltration well) adalah sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan/aliran permukaan agar dapat meresap ke dalam tanah. Prinsip dasar konservasi air ini adalah mencegah atau meminimalkan air yang hilang sebagai aliran permukaan dan menyimpannya semaksimal mungkin ke dalam tubuh bumi. Atas dasar prinsip ini maka curah hujan yang berlebihan pada musim hujan tidak dibiarkan mengalir percuma ke laut tetapi ditampung dalam suatu wadah yang memungkinkan air kembali meresap ke dalam tanah (groundwater recharge).

Sumur resapan yang dibangun kabupaten Soppeng tersebar di delapan kecamatan yang ada di Soppeng. Terutama daerah yang sumber airnya kurang dan berada dipegunungan. Lewat talang yang disiapkan di rumah warga, air hujan tersebut disimpan sementara dalam bak penampungan air. Bak tersebut disambungkan pipa ke sumur yang disiapkan khusus di sekitar bak penampung.

Berbeda halnya dengan Soppeng, Kabupaten Luwu Utara yang identik dengan slogan “Anti KKN” ini justru berkutat dengan hutan bakaunya. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Luwu 2005-2014, ditetapkan bahwa konservasi bakau diarahkan di Kecamatan Malangke Barat, Malangke, Sukamaju, dan Bone-Bone.

Salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang sukses dengan gagasan Desa Mandiri Energi adalah Kabupaten Enrekang. Dengan program Kelistrikan Pedesaan, kabupaten yang dikenal dengan Dangke-nya ini berupaya memadukan teknologi dengan potensi sungai yang tersebar di berbagai wilayahnya melalui PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Hasilnya sangat memuaskan. Dari 5.158 KK yang tadinya belum tersentuh jaringan listrik, hingga awal tahun 2008 ini tinggal 1.016 KK.

Kelistrikan pedesaan di Kabupaten Enrekang bukan hanya melalui PLTMH, melainkan juga bio gas. Penggunaan bio gas pedesaan juga terus digalakkan. Awalnya, teknologi ini hanya dilaksanakan di kecamatan Maiwa, Anggeraja dan Curio. Saat teknologinya sudah meluas hingga ke kecamatan Cendana, Enrekang dan Baraka. Sebanyak 34 instalasi dengan 3 unit generator biogas berkapasitas 500 waat sudah dimiliki. Bio gas ini digunakan sebagai pengganti minyak tanah dan pembangkit tenaga listrik, dengan memanfaatkan limbah ternak sapi sebagai bahan utama pembuatannya.

Sementara itu, Kota Parepare masih fokus pada program yang terkait dengan Adipura. Langkah awal yang dilakukan adalah membentuk kelembagaan Tim Pelaksana Adipura dengan tupoksi masing-masing agar semua stakeholder yang terlibat dapat bekerja dengan lebih efektif. Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Walikota Parepare No 59 Tahun 2008. Dinas Kesehatan bertanggung jawab atas pengelolaan limbah medis dan limbah lainnya di rumah sakit dan puskesmas, Dinas Kebersihan dan Pertanaman bertanggung jawab atas kebersihan dan ruang terbuka hijau (RTH), Dinas Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan bertanggung jawab atas hutan kota *******

RASIO ANGGARAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP TOTAL BELANJA APBD MASIH MINIM

Masalah lingkungan hidup merupakan salah satu isu krusial yang terus berkelanjutan. Betapa tidak baik pemerintah pusat hingga pemerintah daerah belum mengutamakan isu kelestarian alam. Belum semua pemda menjadikan lingkungan hidup sebagai isu utama pembuatan kebijakan di daerah. Padahal bentuk perusakan lingkungan - seperti pencemaran udara, pencemaran air, dan menurunnya kualitas lingkungan akibat bencana alam, yakni banjir, longsor, kebakaran hutan, krisis air bersih - bisa berdampak buruk pada kesehatan secara global.


Merujuk UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, pengelolaan dan pelestarian (pengendalian) lingkungan hidup sebenarnya merupakan urusan wajib yang menjadi wewenang daerah, baik provinsi maupun kabupaten-kota (pasal 13-14). Ditegaskan pula, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah wajib melestarikan lingkungan hidup (pasal 22 huruf k).

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan upaya daerah mengejar target pendapatan asli daerah (PAD). Daerah seakan berlomba mengeksploitasi potensi sumber daya alam yang dimiliki. Belakangan, setelah berbagai bencana seakan juga ikut berlomba menghantam negeri, mulailah kesadaran untuk menjaga lingkungan kembali menguat.
Upaya-upaya pelestarian lingkungan yang ditemukan FIPO di 23 kabupaten/kota pada umumnya masih sama. Hal ini disebabkan adanya program dari pusat seperti halnya GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) yang selama beberapa tahun ini masih terus digencarkan. Program GNRHL ini dapat ditemukan di beberapa kabupaten/kota.

Pada hakekatnya, bentuk kepedulian pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat dilihat dari berbagai faktor. Pertama, jumlah anggaran yang dikucurkan untuk pengelolaan lingkungan hidup. Anggaran lingkungan hidup biasanya dialokasikan untuk pengelolaan sampah, konservasi lahan kritis, pembuatan energi alternatif, pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), atau pembangunan infrastruktur yang mendukung lingkungan hidup seperti gorong-gorong dan saluran drainase.

Dari data yang dihimpun oleh FIPO, dana lingkungan hidup di 23 kabupaten/kota pada tahun 2008 memiliki rentang selisih yang cukup jauh antara dana terbesar hingga yang terendah. Dari grafis terlihat bahwa Kota Makassar yang memberikan alokasi dana terbesar sebanyak Rp. 39,5 milyar yang tersebar di enam instansi pemerintah dan 14 kecamatan. Jumlah anggaran yang dikeluarkan Kota Makassar banyak diperuntukkan bagi sarana-sarana fisik, terutama pengendalian dan pengelolaan persampahan yang menghabiskan anggaran sebesar Rp. 11,5 Milyar.

Anggaran terendah diperlihatkan oleh Kabupaten Maros sebesar Rp. 1,29 milyar di mana anggaran tersebut hanya berasal dari dua instansi, yaitu Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertambangan dan Energi. Padahal menilik dari potensi pertambangan yang dimiliki kabupaten ini, seharusnya dana lingkungan hidup lebih besar lagi agar keseimbangan antara apa yang didapatkan daerah dari alam sesuai dengan apa yang dikembalikan pemerintah daerah ke alam itu sendiri.

Penanganan lingkungan hidup jelas tidak dapat dimaksimalkan jika anggaran untuk itu terbatas. Bukan hanya kabupaten/kota dalam lingkup Sulawesi Selatan yang mengalami kesulitan dalam mendanai lingkungan hidup, melainkan hampir semua pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

Karena nomenklatur di daerah yang tidak sama, anggaran lingkungan hidup tersebar di berbagai institusi. Tidak saja dikelola institusi yang secara khusus menangani lingkungan hidup seperti dinas lingkungan hidup, tapi, institusi lain juga melakukan konservasi terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam, misalnya dinas perkebunan dan kehutanan, dinas kebersihan dan pertamanan, dinas pekerjaan umum, dan beberapa dinas lainnya.

Penyebaran anggaran lingkungan hidup di setiap instansi masih memperlihatkan perbedaan yang cukup mencolok. Di satu sisi terdapat daerah yang menyediakan anggaran lingkungan hidup di delapan instansi, namun di sisi lain ada pula daerah yang hanya dua instansi yang memilikinya.

Faktor kedua, ratio anggaran lingkungan hidup terhadap total belanja daerah. Alokasi anggaran merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah daerah (pemda) terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Anggaran pengelolaan lingkungan merupakan bagian belanja langsung daerah.

Pada tahun 2008, kucuran anggaran sektor lingkungan hidup masih sangat kecil, hanya berkisar antara 0,3 persen hingga 4,4 persen dari total belanja daerah. Itu jika anggaran lingkungan hidup dibandingkan dengan anggaran pendidikan atau kesehatan. Anggaran yang dikeluarkanpun masih terbatas pada upaya pelestarian lingkungan hidup. Belum tampak adanya integrasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup terutama insiatif pemda untuk mengintegrasikan seluruh kepentingan dalam pembangunan dengan pelestarian lingkungan.

Dari grafik yang ditampilkan, terlihat rasio terbesar diberikan Kota Palopo dan Luwu Timur sebesar 4,4 persen, sementara yang terendah Kabupaten Maros sebesar 0,3 persen. Dengan demikian secara keseluruhan rasio rata-rata anggaran lingkungan hidup Sulawesi Selatan terhadap total belanja APBD sebesar 2,6 persen.

Menilik dari anggaran di atas, nampaknya Sulawesi Selatan masih jauh lebih baik dibandingkan daerah Jawa Timur, misalnya, yang komitmen anggaran lingkungan hidupnya justru hanya berkisar 0,03 persen dari total belanja langsung APBD 2008. Demikian pula komitmen anggaran dari pusat yang hanya menganggarkan 0,4% dari APBN.

Melihat masih rendahnya ratio anggaran lingkungan hidup, maka dibutuhkan strategi agar kondisi lingkungan dapat dikelola semaksimal mungkin guna meningkatkan PAD namun tanpa merusak alam. Untuk itu strategi yang kini diterapkan untuk menyikapi penurunan kualitas alam Indonesia adalah: pertama, dengan melibatkan sebanyak-banyaknya pihak untuk ikut mengatasi masalah lingkungan hidup. Artinya, dari pihak pemerintah, bukan hanya unit kerja yang berhubungan dengan lingkungan hidup yang memiliki kewajiban melainkan telah menjadi tanggung jawab seluruh unit kerja, bahkan seluruh masyarakat daerah itu. Kedua, untuk menjaga kelestarian lingkungan, harus ada penegakan hukum lingkungan. Ketiga, menumbuhkan kesadaran yang tinggi pada masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan. (m_milawaty@yahoo.com)

INOVASI KESEHATAN SULAWESI SELATAN BELUM MATI

Indikator kesehatan merupakan bagian dari parameter layanan publik. Indikator tersebut menjadi salah satu dari sekian bidang yang dimonitoring dan dievaluasi oleh FIPO. Dalam penelitian, ada lima isu strategis untuk menilai kesehatan, yaitu (i) aksebilitas, yaitu apakah pemerintah kabupaten/kota berhasil memunculkan serangkaian inisiatif dan terobosan inovatif untuk membuat ketersediaan layanan yang semakin mudah, murah, merata, dan terjangkau, (ii) Ketercukupan SDM, sarana, prasarana, yaitu kebijakan dan strategi pemerintah kabupaten/ kota dalam mengatasi problem ketersediaan tenaga medis & paramedis, sarana & prasarana kesehatan, jaminan, kesehatan masyarakat, serta peningkatan kualitas pelayanan, (iii) sistem perlindungan kesehatan, yaitu jaminan kesehatan masyarakat terutama kalangan bawah masih terbebani mahalnya biaya kesehatan, (iv) komitmen anggaran kesehatan, dan (v) partisipasi penyelenggaraan layanan kesehatan (temuan per isu strategis lihat grafis).



Dalam isu strategis yang pertama, akan dilihat bagaimana upaya pemerintah daerah dalam memberikan layanan kesehatan yang murah, mudah, merata, dan terjangkau. Masyarakat tidak hanya mendapatkan layanan kesehatan yang dekat dengan tempat tinggal mereka, tapi juga terdapat keadilan (tidak pandang bulu) dalam pemberian layanan kesehatan. Pada isu strategis ini, hampir seluruh kabupaten/kota dalam lingkup Sulawesi Selatan telah menerapkan kesehatan gratis. Hal ini wajar mengingat salah satu program prioritas Gubernur Sulsel adalah kesehatan gratis. Dengan adanya pemberlakuan pengobatan gratis di Pemberi Pelayanan Kesehatan, puskesmas dan rumah sakit tidak lagi dibebani pemasukan dalam pendapatan asli daerah (PAD). Sebenarnya, bagi beberapa daerah masalah kesehatan gratis bukan lagi hal yang baru karena jauh-jauh hari sebelum program ini dikumandangkan, beberapa daerah justru telah menerapkannya. Dari temuan, daerah paling awal yang menerapkan kesehatan gratis ini dimulai pada tahun 2005. Kesehatan gratis berlaku di puskesmas dan di rumah sakit daerah baik untuk rawat jalan maupun untuk rawat inap.

Khusus untuk rawat inap, pasien di tempatkan di kelas III. Beberapa daerah berinisiatif untuk memberikan nilai lebih atas standar pelayanan gratis ini, seperti dari hasil temuan terdapat salah satu daerah yang memanjakan pasien rumah sakitnya. Meskipun pasien di tempatkan di kelas III, namun fasilitas yang diberikan layaknya fasilitas pasien di atas kelas III, seperti penempatan televisi di dalam ruangan, kamar tidur dimaksimalkan hanya berjumlah masing-masing lima buah di dalam kamar (meski sebenarnya jumlah tempat tidur bisa lebih dari itu), penyediaan dua buah kamar mandi di dalam setiap kamar, dan pakaian pasien di cuci setiap hari.

Adapula daerah yang tidak menerapkan kesehatan gratis ini, melainkan melakukan program subsidi silang antara keluarga miskin dan non miskin. Program subsidi silang tersebut menetapkan premi dalam jumlah tertentu dan premi tersebut sudah mencakup satu keluarga berapapun jumlah kepala yang terdapat dalam keluarga tersebut. Khusus keluarga miskin, biaya/premi kepesertaannya ditanggung oleh pemerintah kabupaten daerah yang bersangkutan dan dari bantuan lain yang sah. Dengan program ini, masyarakat dapat memilih Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) di mana saja, seperti di RSUD dengan fasilitas rawat inap kelas II, puskesmas, pustu, dokter Keluarga, bidan Delima, dan apotik.

Untuk kemudahan jangkauan pemberi pelayanan kesehatan, kabupaten/kota telah membangun puskesmas, pustu, polindes, puskesmas keliling, bahkan posyandu. Kondisi pelayanan publik di sektor kesehatan boleh dikatakan masih memerlukan perbaikan. Penyediaan pelayanan kesehatan sampai saat ini belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Dengan otonomi daerah sudah sepatutnya pemerintah pusat dan daerah lebih memperhatikan kualitas pelayanan kesehatannya. Untuk puskesmas, hampir seluruh kabupaten/kota membangun lebih dari satu puskesmas di setiap kecamatan. Terlihat trend peningkatan jumlah puskesmas dari tahun 2006-2007, di mana pada tahun 2006 jumlah puskesmas di setiap kecamatan sebanyak dua sampai lima puskesmas, dan pada tahun 2007 rata-rata kecamatan memiliki minimal empat puskesmas.

Perubahan status puskesmas pun mengalami kemajuan yang tadinya hanya berstatus puskesmas rawat jalan kini berubah menjadi puskesmas rawat inap sehingga beban rumah sakit dalam melayani pasien rujukan dapat berkurang. Untuk pustu, terlihat bahwa dalam kurun waktu dua tahun (2007-2008), satu pustu melayani dua sampai enam desa. Tidak setiap desa memiliki polindes, atau dengan kata lain, setiap polindes mewadahi 2-19 desa di sekitarnya. Jumlah posyandu rata-rata berjumlah 1-6 di setiap desa (2007-2008). Posyandu merupakan wahana kesehatan bersumberdaya masyarakat yang memberikan layanan lima kegiatan utama (KIA, KB, gizi, immunisasi dan P2 diare). Banyaknya jumlah posyandu di setiap desa menunjukkan peran serta masyarakat di bidang kesehatan sangat besar. Sayangnya jumlah posyandu di beberapa kabupaten menunjukkan tanda-tanda mati suri. Posyandu yang mati suri tersebut rata-rata hanya memiliki 2 posyandu di setiap desa. Ada pula daerah yang beberapa posyandunya tidak lagi difungsikan sehingga praktis tidak ada kegiatan yang dapat dilaksanakan di posyandu tersebut. Mati surinya posyandu di daerah boleh jadi disebabkan banyaknya daerah yang beranggapan bahwa posyandu bukanlah sektor strategis. Akibatnya, pemda tidak menjadikan posyandu sebagai program prioritas dalam bidang kesehatan sekaligus mengalokasikan anggaran yang cukup.

Dari segi kemudahan jangkauan juga memperlihatkan bahwa akses pemerintah daerah untuk mendekatkan pelayanan kesehatannya turut melibatkan masyarakat. Hal ini terlihat dari ambulans desa yang didalamnya bukan hanya motor dan mobil ambulance milik puskesmas melainkan alat transportasi masyarakat yang diberdayakan, seperti gerobak, andong, kuda, dan becak. Bahkan di daerah-daerah kepulauan, perahu ambulance dan perahu masyarakat dijadikan sebagai sarana transportasi menuju ke Pemberi Pelayanan Kesehatan terdekat.

Pemanfaatan teknologi informasi untuk mempermudah, mempercepat, dan mengefektifkan layanan juga sudah mulai terlihat di beberapa kabupaten/kota dengan diberlakukannya Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) sehingga data base pasien, lama perawatan, jenis obat yang diberikan, harga obat, lama inap pasien, dan beragam pelayanan rumah sakit lainnya dapat segera diketahui. Ada pula daerah yang berinisiatif membuat SMS Layanan Publik 24 jam untuk mengetahui nama dokter, nama pasien, dan atau ruang perawatan pasien dengan mengetik ke nomor tertentu sehingga memudahkan keluarga pasien yang mungkin berada di luar kabupaten yang bersangkutan.

Untuk indikator kedua, yakni ketercukupan SDM, sarana dan prasarana, terlihat peningkatan jumlah SDM baik medis maupun paramedis. Penambahan jumlah medis dalam kurun waktu 2 tahun di tiap daerah cukup bervariatif, bahkan beberapa daerah melakukan penambahan tenaga medis cukup besar. Demikian pula dengan jumlah tenaga medis.

Selain menjadikan puskesmas sebagai ujung tombak layanan, pemda mulai mendekatkan layanan dokter spesialis kepada masyarakat. Umumnya, ada dua cara yang ditempuh daerah. Yaitu, menempatkan dokter spesialis di puskesmas atau menentukan puskesmas menjadi puskesmas khusus (spesifikasi). Dokter spesialis yang banyak ditempatkan di puskesmas adalah dokter spesialis kandungan, penyakit anak, penyakit dalam, dan sebagainya. Ini belum termasuk dokter spesialis lainnya yang saat ini tengah menjalani pendidikan atas biaya pemerintah daerah. Kebijakan menjadikan puskesmas sebagai puskesmas spesifikasi biasanya didasari oleh kondisi geografis daerah. Puskesmas spesifikasi yang ditemukan di daerah di Sulawesi Selatan adalah puskesmas plus dan puskesmas dengan Pelayanan Terpadu (One Stop Service) HIV/AIDS. Cara yang ditempuh daerah untuk mendatangkan dokter spesialis pun cukup beragam, mulai dari pemberian tunjangan Rp. 5 juta rupiah hingga mobil dan rumah dinas, bahkan salah satu kabupaten termuda bersedia memberikan tunjangan hingga Rp. 10 juta rupiah per bulan di tambah mobil dan rumah dinas.

Kelengkapan infrastruktur pelayanan kesehatan di kota tak selalu lebih maju dari kabupaten. Kabupaten yang terkesan konservatif dan tertinggal justru lebih produktif dalam inovasi pelayanan kesehatan. Hal ini terlihat pasca otonomi daerah, bangunan fisik puskesmas dan rumah sakit tidak lagi mengacu pada standar fisik Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK). Hasil monitoring dan evaluasi (monev) menunjukkan bahwa beberapa daerah justru berusaha mendobrak image fisik rumah sakit dan puskesmas yang menimbulkan kesan kaku dan sedikit ‘menakutkan’ bagi masyarakat kelas bawah. Image ini dipangkas habis mulai dari memunculkan puskesmas bergaya minimalis dengan permainan aneka warna hingga rumah sakit berkonsep mall. Tujuannya tidak lain untuk menyamankan pasien sehingga dari segi psikologis pasien merasa tidak tertekan oleh ‘bau’ rumah sakit. Bukan hanya dari fisik rumah sakit dan puskesmas, pemaksimalan pelayanan pun digiatkan, mulai dari penyediaan customer service di pintu masuk rumah sakit, pengadaan CCTV di seluruh ruangan kecuali ruangan pasien, pembangunan guest house bagi keluarga pasien, bahkan pada pemberian makanan bagi keluarga pasien. Hasilnya pun cukup membanggakan; masyarakat tidak segan-segan lagi berobat di puskesmas dan rumah sakit.

Banyaknya kemajuan yang dicapai daerah layak membuat kabupaten berbangga. Sementara itu, kota yang selama ini di cap lebih maju harus belajar dari fakta tersebut. Artinya, kota dengan segala gemerlap statusnya tidak perlu segan-segan berguru kepada kabupaten. Selain itu, kenyataan tersebut menunjukkan kreativitas sumber daya pengelola kesehatan di kabupaten. Mereka ternyata relatif lebih berhasil menyiasati berbagai persoalan kesehatan masyarakat dan kendala teknis lainnya, terutama keterbatasan anggaran. Sedangkan melimpahnya anggaran di kota tidak menjadi jaminan bagi kemampuan mengelola persoalan kesehatan masyarakat.

Kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan di 23 kabupaten/kota tetap mengacu pada visi Indonesia Sehat 2010. Kemitraan antara bidan dan dukun menjadi salah satu temuan FIPO berkaitan dengan visi di atas. Dari monev terlihat bahwa kemitraan ini membawa dampak yang sangat positif terhadap peningkatan persalinan yang dilakukan oleh tenaga medis. Kemitraan antara bidan dan dukun di beberapa daerah dilakukan melalukan MoU antara keduanya sehingga jelas peran dan fungsi masing-masing. Bahkan di salah satu daerah kabupaten, kemitraan ini di’resmikan’ melalui pakaian seragam, dukun ‘berkantor’, bahkan mereka pun memiliki jadwal shift 24 jam. Terobosan ini mengindikasikan bahwa meski proses persalinan telah dilakukan oleh bidan namun peran dukun dalam membantu bidan sangat besar. Dengan adanya kemitraan ini tingkat persalinan oleh tenaga medis di tahun 2007 bahkan meningkat hingga 50% dari tahun sebelumnya.

Salah satu dampak diberlakukannya kebijakan desentralisasi kesehatan adalah terjadinya variasi kemampuan daerah dalam penyediaan dana bidang kesehatan. Hal ini terjadi karena sumber dana sektor kesehatan di kabupaten/kota tidak lagi memakai model dana sektoral yang sudah dirancang dan disediakan oleh pusat, melainkan bersumber kepada APBD sehingga secara tidak langsung menjadi sangat tergantung kepada kemampuan masing-masing daerah. Di sisi lain pemerintah daerah harus menjamin akses pelayanan kesehatan bagi seluruh warganya, termasuk di dalamnya adalah melindungi masyarakat miskin dengan cara membangun system pembiayaan yang paling sesuai dengan kondisi daerahnya.

Komitmen anggaran kesehatan pemerintah kabupaten/kota dalam APBD menunjukkan bahwa alokasi anggaran belanja langsung dibandingkan belanja tidak langsung jauh lebih besar. Ini memperlihatkan kepedulian pemerintah daerah dalam pembangunan pelayanan kesehatan masyarakat nyata terlihat. Meski demikian, beberapa kabupaten/kota masih mengalokasikan belanja tidak langsungnya lebih besar dibandingkan belanja langsung dan hal tersebut terdapat baik di dinas kesehatan maupun di rumah sakit umum daerah. Ini yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah setempat mengingat program-program yang berkaitan dengan kesehatan merupakan salah satu hal vital dalam perbaikan pelayanan publik.

Indikator terakhir, yaitu partisipasi penyelenggaraan kesehatan terlihat bahwa belum banyak inovasi pemerintah kabupaten dalam indikator ini. Hal ini terlihat sepanjang penelitian, kebijakan pemerintah kabupaten masih sebatas janji pelayanan antara penyedia dan pengguna layanan kesehatan. Janji pelayanan ini dibuat berdasarkan survey pengaduan masyarakat atas kinerja puskesmas dan rumah sakit. Satu hal yang membanggakan adalah telah munculnya kesadaran salah satu pemerintah kota dalam peningkatan kualitas pelayanan dengan diterapkannya sistem ISO 9001:2000 di puskesmas. Ini menunjukkan bahwa peningkatan pelayanan tidak berhenti begitu saja seiring diberlakukannya kesehatan gratis.*******

JAMKESDA : PRO RAKYAT MISKIN

Kabupaten Sinjai adalah salah satu kabupaten yang bangga dan bisa mengangkat kepala pada penganugerahan Otonomi Award 2009 yang berlangsung di Hotel Horizon Makassar pada tanggal 29 Mei 2009 lalu. Betapa tidak, di antara 23 kabupaten kota yang bersaing memperebutkan sembilan trophy perak dan tiga trophy emas, kabupaten inilah yang meraup trophy terbanyak di antara sekian banyak kabupaten lain. Keistimewaan apa yang dimiliki kabupaten yang berjarak 220 kilometer dari kota Makassar ke arah pantai timur Sulsel ini? Berikut ulasan MILAWATY dari The Fajar Institute of Pro-Otonomi (FIPO).


Banyak sudah terobosan yang telah dilakukan selama kabupaten ini dinakhodai Bpk. A. Rudiyanto Asapa, SH. Terobosan di bidang kesehatan pun dengan berani dilakukannya. Mekanisme pendanaan kesehatan untuk rakyat berbeda dengan kabupaten lainnya. Potensi daerah Kabupaten Sinjai memang dipacu melalui tiga pilar pembangunan; agama, pendidikan, dan kesehatan. Olehnya itu, dalam bidang kesehatan, kabupaten yang terkenal dengan Susin-nya ini bertekad untuk menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas, mudah, murah dan bahkan gratis.

Sebagai upaya untuk mewujudkan kesehatan masyarakat yang berkualitas yang mengarah pada perwujudan tingkat derajat kesehatan yang baik serta pelayanan kesehatan yang memadai, maka pada tahun 2004 Pemkab Sinjai menelorkan Perda no. 3 menyangkut Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Selama lima tahun berjalan, program Jamkesda telah memberikan dampak yang nyata bagi kesehatan dan sudah menjadi primadona bagi masyarakat termasuk keluarga/ masyarakat kurang mampu dalam memanfaatkan pemberian jaminan kesehatan. Pada akhir April tahun 2008, angka kepesertaan Jamkesda sudah mencapai 85 % dari seluruh masyarakat Sinjai.

Apa keistimewaan Jamkesda dibanding pemberian layanan kesehatan gratis yang selama ini dilakukan oleh daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan? Keistimewaannya adalah pemberlakuan Jamkesda (Jamkesda) mendapat respon sangat positif dari masyarakat, prakteknya menjadi contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan sebagian konsep dan model Jaminan Kesehatan Daerah diterapkan secara nasional pada tahun 2009. Selain itu, masyarakat lebih cenderung menggunakan kartu Jamkesda-nya dibanding kartu jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Pasalnya, melalui Jamkesda semuanya sudah ditanggung, sementara Jamkesmas terbatas.

Keberhasilan Jamkesda di kabupaten yang memiliki kontur 3 dimensi; dataran tinggi di lereng gunung Bawakaraeng, dataran rendah dan pantai di bagian timur ini terlihat dari tingginya nilai inovasi yang menempati urutan pertama diantara 22 kabupaten kota lainnya. Inovasi Jamkesda meraih nilai 451 poin, selisih jauh di atas Kota Parepare yang berada di urutan kedua. Inovasi itu sendiri berasal dari perolehan nilai dari FIPO ditambah dengan penilaian masyarakat sasaran di mana program tersebut berlangsung. Untuk survey publik, Kabupaten Sinjai berada di bawah Sidrap, Soppeng, dan Gowa dengan perolehan 244 poin. Survey publik itu sendiri berasal dari penilaian masyarakat baik masyarakat sasaran maupun masyarakat umum lainnya. Pada survey publik yang dilakukan oleh salah satu lembaga survey di Makassar ini, ada 10 kelompok masyarakat yang menjadi responden. Pada eksisting, yang menempati urutan pertama adalah kabupaten Luwu Timur yang merupakan kabupaten termuda di Luwu Raya, disusul berturut-turut oleh Kabupaten Enrekang, Palopo, Selayar, dan kemudian Sinjai. Meski hanya inovasi yang dimenangkan oleh Kabupaten Sinjai, namun total nilai dari inovasi, survey publik, dan eksisting akhirnya menempatkan kabupaten ini sebagai pemenang untuk kategori bidang kesehatan.

Tujuan dari Jamkesda yang menjadi unggulan kesehatan kabupaten ini adalah mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal dengan cara membudayakan perilaku hidup sehat, kemandirian masyarakat, peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, pemeliharaan kesehatan yang bermutu, serta pemeliharaan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Maksud dari Jamkesda itu sendiri adalah memberikan jaminan penyelenggaraan kesehatan masyarakat yang pembiayaannya dikelola secara terpadu.

Dalam penyelenggaraan program jamkesda, pemerintah daerah Sinjai membentuk Bapel (Badan Pelaksana) yang terdiri dari Kepala Badan, Sekretaris, dan Kepala Bidang. Paket jaminan pemeliharaan kesehatan yang dilaksanakan oleh Bapel Jaminan Kesehatan Daerah terdiri dari, 1) Pelayanan rawat jalan yang terdiri dari poli umum, poli gigi, poli spesialis, dan keluarga berencana, 2) Pelayanan rawat inap yang terdiri dari perawatan pada kelas II, persalinan normal, dan tindakan pembedahan sesuai kebutuhan medik, 3) Pelayanan penunjang yang terdiri dari radiologi, USG, EKG, laboratorium, dan fisioterapi, 4) Pelayanan gawat darurat (24 jam), 5) Pelayanan unit emergency/ ambulance berupa pelayanan lokasi kecelakaan lalu lintas, transportasi pasien pra/pasca perawatan, dan rujukan pasien keluar Kab. Sinjai, 6) Peresepan obat oleh dokter sesuai daftar obat Jamkesda, dan 7) Operasi khusus (sebagian biaya ditanggung peserta jika obat yang digunakan tidak ditanggung Jamkesda).



Premi yang dibayar untuk mendapatkan pelayanan ini hanya sebesar Rp. 10.000,-/bulan/kk dan sudah mencakup satu keluarga berapapun jumlah kepala yang terdapat dalam keluarga tersebut. Khusus keluarga miskin, premi kepesertaannya ditanggung oleh pemerintah Kabupaten Sinjai dan dari bantuan lain yang sah. Pelayanan yang didapatkan oleh masyarakat miskin dan masyarakat yang membayar premi tidak dibedakan dan semua berhak mendapatkan semua jenis layanan yang memang terdapat dalam Jaminan Kesehatan Daerah. Dengan premi ini masyarakat Sinjai berhak memiliki kartu keanggotaan Jamkesda yang dapat dimanfaatkan untuk berobat rawat jalan dan rawat inap di semua Pemberi Pelayanan Kesehatan baik puskesmas, rumah sakit, bahkan dokter dan bidan praktek.

Melalui subsidi silang antara masyarakat yang membayar premi dan masyarakat miskin, Jamkesda terus berusaha meningkatkan kesehatan masyarakat. Terdapat sekitar 16.000 penduduk miskin yang mendapatkan pelayanan gratis ini. Dari premi masyarakat non-gakin, tersalur paling sedikit 6 milyar/bulan yang dapat digunakan untuk mensubsidi keluarga miskin *******

MENDOBRAK STANDARISASI KESEHATAN LEWAT INOVASI

Inovasi Layanan Kesehatan Kabupaten Jauh Lebih Maju


Dalam kurun waktu delapan tahun selama otonomi daerah bergulir, program kesehatan terlihat jelas mengalami kemajuan meski kemajuan yang terjadi belum maksimal namun ini adalah langkah awal dan menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya. Hal ini terlihat pasca otonomi daerah, bangunan fisik puskesmas dan rumah sakit tidak lagi mengacu pada standar fisik Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK). Hasil monitoring dan evaluasi (monev) menunjukkan bahwa beberapa daerah justru berusaha mendobrak image fisik rumah sakit dan puskesmas yang menimbulkan kesan kaku dan sedikit ‘menakutkan’ bagi masyarakat kelas bawah. Inilah yang ditunjukkan oleh keempat kabupaten lainnya yang masuk dalam nominasi bidang kesehatan. Empat kabupaten tersebut adalah Parepare, Takalar, Enrekang, dan Wajo.

Parepare menawarkan program “Peningkatan Pelayanan Puskesmas”. Disadari bahwa puskesmas merupakan tempat kunjungan pertama masyarakat dalam pemeriksaan kesehatan. Kota cakar ini sejak tahun 2000 menunjukkan keseriusannya dengan meningkatkan status puskesmas dari rawat jalan menjadi rawat inap dan membangun fisik puskesmas menjadi bertingkat. Hingga tahun 2008, seluruh puskesmas di kota ini telah berubah baik status maupun fisiknya. Dengan perubahan tersebut, fasilitas kesehatan yang disediakan lebih memadai sehingga masyarakat dapat terlayani secara maksimal dan cepat.

Kabupaten Takalar yang dikenal dengan jejeran jagung manisnya memiliki program “Kemitraan Bidan dan Dukun”. Di daerah-daerah lainnya kemitraan semacam ini juga ada, namun yang membedakan di daerah ini adalah adanya nilai lebih yang ditawarkan dan nilai lebih inilah yang menjadi keunggulan Takalar sehingga mampu meraih nominasi di kategori kesehatan. Dukun yang menjadi mitra bidan telah dilengkapi dengan pakaian seragam, memiliki kantor sendiri di mana mereka memiliki jadwal masuk dari Senin sampai Minggu, dan setiap dukun pun memiliki jadwal jaga malam.

Kabupaten Enrekang tidak kalah bagusnya menampilkan program kesehatannya. Dengan program “Rumah Sakit berkonsep Mal”, kabupaten penghasil dangke ini berjaya di urutan keempat. Di sebut berkonsep mal karena secara sepintas ruangan yang berlantai 2 ini memiliki jejeran ruangan mirip ruko di kiri kanan bangunan. Berada di bagian ini, kesan rumah sakit nyaris sama sekali tidak ada. Bukan hanya dari segi fisik, layanan pasien pun terkesan ’wah’. Layanan yang diberikan rumah sakit ini memanjakan pasien seperti penyediaan receptionist, fasilitas AC, televisi, 2 buah kamar mandi, dan pengaturan tempat tidur yang hanya terdiri dari 4 – 5 di setiap kamar untuk kelas III, layanan gratis laundry untuk semua pasien, penggunaan CCTV di semua bagian rumah sakit kecuali kamar-kamar pasien, SMS Gateway ke nomor 085242568888, dan pembangunan rest house bagi keluarga pasien.

Kabupaten Wajo pun tak mau ketinggalan. Melalui program ”Penyediaan Sarana Kesehatan Prima”, kabupaten penghasil sutera ini unggul di puskesmas. Di kabupaten ini, puskesmas yang dahulunya identik dengan warna putih dan bangunan standar kini berubah total. Sejak tahun 2006, Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo mulai berbenah diri. Tidak bisa dipungkiri, program kesehatan gratis meningkatkan minat masyarakat berkunjung ke sarana pemberi pelayanan kesehatan termasuk pustu. Namun bukan hanya minat berkunjung yang perlu ditingkatkan, melainkan juga kenyamanan pasien. Kenyamanan dapat diperoleh melalui berbagai cara, salah satunya adalah perbaikan fisik pustu. Untuk itulah sejak tahun 2006 hingga kini hampir seluruh pustu di kabupaten ini dirombak habis. Kini di mana-mana dengan mudah ditemui pustu bergaya minimalis dengan permainan aneka warna. Untuk menghindari banjir, sejumlah pustu juga dibuat dalam bentuk rumah panggung. Animo masyarakat pun meningkat seiring dengan perubahan fisik sarana pelayan kesehatan tersebut.

Keragaman inovasi di kelima kabupaten kota di atas, termasuk Sinjai sebagai pemenang, membuktikan bahwa inovasi kesehatan di Sulawesi Selatan tidak mati dan pelaksanaan praktek tata kelola pemerintahan yang baik di sektor kesehatan telah terlaksana. Keberhasilan tersebut juga membuktikan kelengkapan infrastruktur pelayanan kesehatan di kota tak selalu lebih maju dari kabupaten. Terbukti, kabupaten yang terkesan konservatif, ndeso, dan tertinggal justru lebih produktif dalam inovasi pelayanan kesehatan.

Susin, Shansu, & Kerupuk Susu

NIKMATNYA SUSU SINJAI DI GUNUNG PERAK

Sinjai, kabupaten seluas 819 km2 dan menduduki urutan keenam kabupaten terkecil di Sulawesi Selatan ini berpenduduk 223.552 orang dan berjarak 220 kilometer dari kota Makassar ke arah pantai timur Sulsel. Sebagai wilayah pesisir dan pegunungn, daerah ini memiliki kontur 3 dimensi, dataran tinggi di lereng gunung Bawakaraeng, dataran rendah dan pantai di bagian timur. Di area ketinggian 1500 m, kabupaten yang saat ini dipimpin oleh Bupati Andi Rudiyanto Asapa, SH tidak pernah bosan melakukan terobosan. Salah satunya adalah terobosan pengembangan sapi perah yang bukan hanya bisa bermain di pasar lokal tapi juga merambah hingga ke ibu kota provinsi.


Pengembangan sektor peternakan di Kab. Sinjai mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Terbukti dengan ditetapkannya kab. Sinjai dalam program Gerbang Emas (Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat) Sektor Peternakan. Kab. Sinjai memiliki potensi lahan yang luas untuk pengembangan dan tersedianya pakan ternak yang melimpah yang merupakan salah satu indikator dipilihnya Sinjai untuk pengembangan program gerbang emas di sektor peternakan. Salah satu upaya dalam pengembangan sektor peternakan adalah pemerintah Sinjai tidak hanya berkonsentrasi pada pengembangan sapi potong dari berbagai jenis tetapi pemerintah juga justru berupaya kuat untuk menggenjot usaha pengembangan sapi perah. Karena sapi perah telah termasuk ke dalam AKU (Arah Kebijakan Umum) pengembangan sentra sapi perah maka anggaran yang dikucurkan pun tidak main-main. Pada tahun 2006 saat dimulainya pengembangan sapi perah ini, anggaran turun sebesar Rp. 3 M dan pada 2007 meningkat menjadi Rp. 5 M. Pada tahun 2008 kucuran anggaran kembali meningkat menjadi Rp. 6 M.

Dipilihnya Kec. Gunung Perak sebagai lokasi awal pengembangan sapi perah bukan tanpa alasan. Terletak di daerah pegunungan membuat sawah yang selama ini menjadi tumpuan pencaharian hanya bisa menghasilkan panen setahun sekali. Usaha penanaman sayuran pun membuahkan hasil yang sama. Dari awal pemerintah daerah telah melakukan sosialisasi rencana pengembangan sapi perah ke penduduk yang berdiam di Desa Gunung Perak kecamatan Sinjai Barat. Dari sosialisasi ini ternyata masyarakat setempat yang berjumlah sekitar 160 kepala keluarga langsung menyatakan kesiapannya untuk mengembangkan peternakan sapi perahan ini. Pemerintah saat itu memberi bantuan sebanyak 320 ekor untuk dipelihara. Setelah pengembangan sapi perah dicoba untuk dikembangkan di daerah tersebut, ternyata hasilnya berpotensi untuk menjadi mata pencaharian utama.

Pengembangan sapi perah di daerah ini memang didukung oleh iklim yang dingin dan lahan yang sangat luas. Hawa dingin pegunungan, lahan luas dengan limpahan rumput dan daun segar, serta limbah kebun sayur menjadi modal utama daerah ini dalam mengembangkan peternakan susu sapi. Air bersih pun tak sulit diperoleh; mata air berlimpah yang seakan tak pernah kering memudahkan peternak untuk memberi minum sapi, memandikan, dan membersihkan kandang.

Tahun 2007 pemerintah kembali menambah 210 ekor dari APBD di tambah dari bantuan APBD Tingkat I sebanyak 30 ekor. Dari aspek pengembangannya ini, masyarakat mulai melakukan upaya-upaya pemeliharaan secara baik untuk mendapatkan susu dengan produksi yang berkualitas. Produksi susu rata-rata 10-15 liter/ekor sapi/hari dengan minimal produksi 2000 liter/hari. Dalam setahun seekor sapi dapat diperah susunya selama 7 bulan setelah itu dikandangkan untuk diinseminasi. Setelah anak sapi lahir, sapi perah siap untuk diperah kembali. Sapi dapat diperah setelah usia sapi mencapai 3,5 tahun dan setelah melahirkan 5-6 kali, produksi susu sudah mulai berkurang.

Bantuan sejumlah sapi perah tersebut kini telah memberikan hasil yang manis; limpahan susu sapi asli, murni, segar dan bergizi tinggi, rendah lemak, bebas pengawet dan residu antibiotik. Pemeriksaan laboratorium yang dilanjutkan dengan perlakuan menggunakan alat pasteurisasi dan pengemasan otomatis secara higienis di bawah pengawasan tenaga ahli membuat susu sapi ini aman untuk dikonsumsi.

Bukan hanya sekedar dikonsumsi, kini susu sapi perah tersebut telah bernilai ekonomi dengan masuknya koperasi sebagai mitra pemasar bagi peternak. Susu sapi yang dijual tersedia dalam kemasan ekonomis dalam bentuk susu gelas berukuran 150 ml dengan berbagai pilihan rasa yaitu coklat, vanila, strawberry, melon, dan pisang. Selain kemasan gelas, susu sapi perah juga dikemas dalam bentuk susu sachet (susu bantal) tanpa rasa berukuran 500 ml. Dengan potensi yang sangat menjanjikan ini, susu sapi Sinjai dengan mengusung brand ”Susin” (Susu Sinjai), pabrik yang beroperasi di daerah Sinjai Barat ini siap bersaing dengan brand sejenis lainnya.

Mekanisme proses pembuatan pasteurisasi susu cukup sederhana; Susu sapi yang sudah diperah di bawa ke laboratorium. Selanjutnya susu sapi dibawa ke ruangan khusus tempat proses menetralisir bakteri dengan cara dimasak dengan menggunakan mesin pasteurisasi modern dengan suhu 80oC dengan tujuan untuk menghilangkan kuman-kuman. Pasteurisasi tersebut membuat vitamin, mineral, enzim dan protein masih relatif utuh, namun bakteri patogen sudah mati. Setelah susu dimasak secara higienis di bawah pengawasan tenaga ahli kemudian dimasukkan ke dalam mesin pengemasan otomatis, dipress, diberi label, akhirnya disimpan di tempat pendingin dengan suhu yang sangat rendah agar susu tersebut tetap segar saat dikonsumsi. Susin ini dikemas tanpa pengawet sehingga hanya dapat bertahan maksimal 3 hari di dalam lemari pendingin. Pengembangan usaha pabrik pengolahan susu pasteurisasi pada tahun 2008 menghabiskan anggaran Rp. 128.150.000,-.

Selain dipasarkan untuk tujuan ekonomi, Dinas Peternakan juga bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kab. Sinjai untuk mendistribusikan susu sapi dalam bentuk susu gelas ke sekolah-sekolah dasar yang masih menerima PMKT (Pemberian Makanan Khusus Tambahan) sebanyak 750 gelas setiap minggunya. Awalnya pemberian PMKT dilakukan dalam bentuk sachet, namun animo anak-anak yang pada umumnya tidak menyukai susu segar asli yang tanpa rasa membuat mereka enggan meminumnya sehingga akhirnya susu sachet diganti dengan susu gelas dengan beragam rasa.

Tidak puas dengan pengembangan susin yang mendapat respon yang sangat positif dari masyarakat, dinas Peternakan Kab. Sinjai juga mengolah susu sapi ini menjadi ice cream dengan brand ”sanshu”. Diberi nama Sansu dengan arti, S adalah Sinjai, AN adalah aman untuk berinvestasi, S adalah sejahtera dengan tujuan untuk mensejahterakan masya-rakat dan U berarti unik. Sama halnya dengan Susin, Sanshu ice cream tampil tanpa bahan pengawet dan aman untuk dikonsumsi dalam jumlah banyak tanpa menimbulkan efek samping pada pencernaan. Ini adalah added value Susin yang membedakannya dengan produk sejenis lainnya yang pada umumnya sudah menambahkan bahan pengawet pada produknya. Sama halnya dengan susin, sanshu ice cream juga tersedia dalam 4 rasa; strawberry, vanilla, coklat, dan durian. Pengembangan usaha pengolahan es krim pada tahun 2008 dianggarkan sebesar Rp. 69.120.000,-.

Selain dijadikan ice cream, susu sapi perah juga dibuat dalam bentuk kerupuk yang diberi nama ”Elektrika”. Menurut ketua Klp. Ternak Ds. Gunung Perak, kerupuk susu ini diproduksi langsung oleh kelompok peternak dan bekerja sama dengan koperasi dan PT. PLN. Dipilihnya nama ”Elektrika” tidak terlepas dari bantuan PT. PLN pada masyarakat lokal dalam pengembangan kerupuk susu ini.

Susin dan shansu kini bukan hanya dipasarkan di daerah Sinjai melainkan juga didistribusikan di Makassar. Di Makassar, Susin dan shansu ditampung di Rumah SusuMu, yang merupakan distributor susu Sinjai untuk selanjutnya di distribusikan ke lokasi lain di Makassar. Distribusi ke Makassar dilakukan 2x seminggu dengan sekali distribusi 1200 susu gelas & 150 sachet susu bantal. Sedangkan pemasaran krupuk susu untuk saat ini masih didistribusikan di daerah Sinjai Barat.

Harapan pemerintah daerah dengan bantuan sapi perah yang diserahkan langsung ke tiap kelompok peternakan ini, nantinya dalam kurun waktu lima tahun ke depan setiap anggota kelompok peternakan akan mengembalikan bantuan tersebut berupa 2 ekor anak sapi perah untuk setiap ekor sapi perah yang diterimanya yang selanjutnya akan diberikan lagi pada kelompok peternakan lainnya.

Untuk sapi perah itu sendiri, selain menghasilkan susu, kotoran sapi juga dimanfaatkan kelompok peternak sebagai bio gas dan kompos sehingga pada dasarnya tidak ada yang terbuang sia-sia dari pemeliharaan sapi perah itu sendiri. Hal ini diakui sendiri oleh ketua Klp. Ternak Ds. Gunung Perak yang mengatakan bahwa bio gas telah dipergunakan oleh rumah tangga kelompok ternak sehingga masalah mahalnya gas elpiji atau langkanya minyak tanah tidak menjadi persoalan, utamanya bagi para ibu rumah tangga peternak sapi perah.

Produksi susin, shansu dan kerupuk susu ini secara langsung berdampak pada meningkatnya pendapatan daerah dan masyarakat dan ini dibarengi dengan terbukanya kesempatan kerja bagi para penduduk lokal pada khususnya. Berdirinya pabrik susu segar berarti menjadi nilai investasi bagi pemerintah daerah dan masyarakat sehingga ke depannya diharapkan investasi ini akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat luas (masyarakat kabupaten Sinjai).

Keberhasilan produksi dan pemasaran susin – sanshu membuktikan keberhasilan visi-misi pembangunan sektor peternakan Kab. Sinjai di mana visinya adalah terwujudnya masyarakat tani yang mampu berkembang secara mandiri melalui pembangunan peternakan tangguh berbasis sumber daya lokal. Sedangkan misinya adalah 1) membina dan mengembangkan peluang usaha di bidang peternakan, meraih keunggulan dan daya saing dengan berbasis pada peternakan rakyat, dan 2) menciptakan ketahanan pangan masyarakat melalui penyediaan program yang bernilai gizi tinggi. ***

INOVASI LAYANAN KESEHATAN KABUPATEN ENREKANG

RUMAH SAKIT MASSENREMPULU : RUMAH SAKIT BERKONSEP MALL


Rumah Sakit Daerah Massenrempulu Kabupaten Enrekang memang inovatif, baik dari segi fisik maupun pelayanan. Siapa yang menyangka di daerah yang terletak ratusan kilometer dari ibu kota propinsi Sulawesi Selatan dan sebagian besar daerahnya berada di dataran tinggi ini mampu mendobrak image bangunan fisik rumah sakit yang identik dengan bau obat dan lalu lalang pasien.


Peningkatan sarana prasarana RSUM didasari pada visi ”Selangkah Lebih Baik dari RS Terkemuka”. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka Rumah Sakit Umum Daerah menghadirkan rumah sakit berkonsep mall. Pembangunan rumah sakit yang secara fisik berbeda dengan rumah sakit pemerintah pada umumnya tersebut telah dimulai pada tahun 2004 dan akhirnya benar-benar rampung pada tahun 2006. Di sebut berkonsep mall karena secara sepintas ruangan yang berlantai 2 ini memiliki jejeran ruangan mirip ruko di kiri kanan bangunan. Jangan membayangkan lorong-lorong dan pilar-pilar yang menjadi ciri sebuah rumah sakit. Pemandangan seperti itu tak satupun nampak. Sebaliknya memasuki pintu utama rumah sakit, anda akan disambut oleh receptionist terlatih bak receptionist hotel. Di receptionist ini pengunjung dapat meminta informasi mengenai letak pasien rawat inap termasuk dokter dinas yang bertugas pada hari tersebut.

Lepas dari receptionis, pandangan akan tertuju pada tangga menuju lantai dua. Di depan tangga berjejer ruangan-ruangan dan menyisakan ruang luas dan tinggi di depannya, mirip hall sebuah mall. Berada di bagian ini, kesan rumah sakit sama sekali tidak ada. Rumah sakit yang memiliki lahan seluas 2,9 hektar dengan luas bangunan 68x109 m ini memiliki 7 poliklinik. Kesemua poliklinik tersebut berada di sebelah kiri sayap bangunan, sementara sayap kanan di tempati oleh kantor rumah sakit. Berada di sebelah kiri sayap bangunan barulah jelas terlihat kegiatan keperawatan dan lalu lalang pengunjung rawat jalan.

Guna kenyamanan dan ketenangan pasien rawat inap agar tidak terganggu oleh pasien rawat jalan, ruangan pasien rawat inap ditempatkan di lantai 2. Pasien rawat inap di bagi menjadi pasien kelas III, II, I, dan VIP dengan total tempat tidur untuk seluruh ruang rawat inap 180 buah dengan BOR (Bed Occupancy Rate) 66% (BOR belum termasuk ektra bed). Pasien yang ingin memanfaatkan fasilitas kesehatan gratis untuk pasien rawat inap dapat menempati kelas III. Ada 4 ruangan khusus untuk kelas III dengan jumlah tempat tidur 73 buah (termasuk ekstra bed). Ada yang berbeda saat penulis memasuki kelas ini. Pasien di kelas III ini dimanjakan dengan fasilitas AC, televisi, 2 buah kamar mandi, dan pengaturan tempat tidur yang hanya terdiri dari 4 – 5 setiap kamar. Tidak banyaknya tempat tidur dan tak ada sekat antar tempat tidur membuat ruangan tidak pengap dan terkesan luas. Di tambah lagi setiap pasien hanya diperbolehkan dijaga oleh 2 orang.

Management rumah sakit memang telah berkomitmen untuk memanjakan pasiennya. Komitmen ini jelas terlihat pada fasilitas layanan yang diberikan. Bahkan pada pasien kelas III yang nota bene adalah pasien ”gratis”. Selain fasilitas dalam kamar, pasien pun di bebaskan dari pakaian kotor. Rumah sakit telah menyediakan layanan gratis laundry untuk semua kelas. Ini berlaku selama pasien berada di rumah sakit. Jelas ini adalah fasilitas ’plus-plus’ yang wah bagi pasien kelas III yang sebagian besar adalah warga miskin. Sayangnya, fasilitas ini belum disosialisasikan dengan baik ke pasien dan keluarganya karena beberapa keluarga pasien justru tidak mengetahui pelayanan ini.

Bagi pasien yang ingin menempati kamar VIP, fasilitas yang VVIP pun siap menanti. Dengan hanya membayar Rp. 225.000,-/hari, pasien dan 2 orang keluarga pasien mendapatkan makan 3x sehari, 2x snack, dan buah 1 kilo per hari. Tersedia 16 buah kamar bagi pasien yang ingin mengambil fasilitas VIP ini.

Di lantai 2 rumah sakit ini, jangan membayangkan keluarga pasien berkeliaran atau duduk di luar emperan kamar. Semua keluarga pasien berada di dalam kamar. Hal ini disebabkan tidak ada fasilitas tempat duduk yang tersedia di luar kamar. Hal ini memang di sengaja oleh pihak rumah sakit yang ingin menjaga ketenangan pasien. Hasilnya memang cukup efektif, tidak terdengar suara hingar bingar keluarga pasien.
Bukan hanya layanan fisik yang bernilai tambah di rumah sakit ini. Teknologi tingkat tinggi pun tidak luput. Guna memantau kinerja para staffnya yang nantinya akan berdampak pada kepuasan pasien dan keluarga pasien, direktur rumah sakit telah menerapkan penggunaan CCTV yang telah tersebar di semua bagian kecuali kamar-kamar pasien. Dengan CCTV ini, direktur cukup memantau aktivitas pegawai, perawat, dokter, dan bidan dari balik meja kerjanya. Dengan CCTV pula terjadinya tindakan kriminal dan gangguan kenyamanan pasien dapat diantisipasi. Dari balik meja kerja pula, direktur dapat memantau mulai dari pasien masuk sampai pulang, jenis obat yang diberikan, harga obat, hingga jumlah uang yang masuk sampai hari ini pun dapat diketahui melalui sistem informasi manajemen rumah sakit.

Anda ingin mengunjungi salah satu pasien tapi tidak mengetahui di kamar mana dia berada? Atau anda lupa nama pasien yang ingin dibesuk? Ingin mengetahui nama dokter? Beragam pertanyaan ini dapat dijawab cukup dengan mengetik SMS Gateway ke nomor 085242568888. Caranya ketik Pasien spasi Nama atau ketik Cari Spasi Nama. Kemudahan yang ditempuh rumah sakit ini ternyata sangat efektif karena salah satu manfaat layanan ini adalah keluarga pasien yang berada di tempat yang jauh dapat memonitor keberadaan keluarga mereka yang menjadi pasien rawat inap di rumah sakit ini.Layanan ini berlaku 24 jam setiap hari dengan jumlah operator sebanyak 33 orang.

Banyaknya keluarga pasien bertumpuk di ruang rawat inap terutama pada malam hari yang dapat menghambat proses penyembuhan di rumah sakit membuat manajemen menempuh kebijakan dengan membangun rest house. Keluarga pasien yang berasal dari luar daerah dapat menginap di rest house yang berada dalam kawasan rumah sakit. Rest house yang disediakan khusus untuk pasien rawat inap memiliki 16 kamar dengan fasilitas AC dan non-AC. Untuk fasilitas ini, keluarga pasien cukup merogoh kocek Rp. 50.000,- per hari.

Fisik bangunan rumah sakit yang mewah, berkonsep mall, limpahan fasilitas, dan teknologi tinggi masih belum lengkap jika tidak didukung oleh ketercukupan SDM. Seiring dengan pembangunan rumah sakit pada tahun 2004, ketercukupan SDM juga terus ditingkatkan. Selain tenaga kerja tetap, tenaga sukarela juga terus diberdayakan.
Perincian jumlah tenaga dari tahun ke tahun :














Dengan jumlah tenaga kesehatan yang mendukung dan beragam fasilitas yang dilimpahkan kepada pasien, maka outocomes yang bisa terlihat adalah :








Rumah sakit Massenrempulu dengan visi dan konsepnya yang inovatif terbukti dapat meningkatkan pendapatan rumah sakit itu sendiri. Meski tidak berorientasi pada pendapatan, peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit otomatis akan berdampak pada meningkatnya jumlah pasien baik dari daerah itu sendiri maupun pasien dari daerah tetangga yang dengan sendirinya akan menaikkan pundi-pundi kas rumah sakit.

INOVASI DAERAH-DAERAH NOMINEE KATEGORI AKUNTABILITAS PUBLIK

GUNAKAN POLA TRADISIONAL HINGGA PENERAPAN TEKNOLOGI

Akuntabilitas publik berdasarkan pendapat dari Melvin J Dubnick, Barbara Romzek dan Patricia Ingraham, James Fesler dan Donald Kettl, serta Jay Shafritz (Callahan, 2007, 109-110) merujuk pada perangkat yang didesain untuk mengawasi pejabat publik agar berperilaku sesuai dengan etika dan aturan hukum yang berlaku dengan memberikan kewajiban kepada pejabat publik tersebut untuk mampu menjawab segenap pertanyaan baik dari pihak internal maupun eksternal mengenai pelaksanaan tugas dan kinerjanya sebagai pejabat publik.

Dengan demikian berdasarkan definisi tersebut, maka melalui akuntabilitas publik diharapkan dapat tercipta sebuah mekanisme yang dapat memantau perilaku, tindak tanduk dan kinerja dari pejabat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi kewenangannya.

Akuntabilitas publik merupakan elemen penting dari prooses dan institusi demokrasi. Melalui mekanisme akuntabilitas publik diharapkan akan dapat menjamin proses demokrasi yang sesuai dengan kepentingan masyarakat dan norma-norma hukum yang ada.
Akuntabilitas publik merupakan salah satu parameter dalam penilaian Otonomi Award. Sejak otonomi daerah diberlakukan, dinamika politik lokal seolah menjadi bergairah kembali. Masyarakat semakin kritis menuntut akuntabilitas pemerintah daerah. Pemda pun meresponsnya dengan berupaya menampilkan diri sebagai birokrasi yang bersih, transparan, akuntabel, dan responsif.

Temuan riset FIPO membuktikan hal itu. Ditemukan beragam kreativitas daerah untuk memajukan kualitas politik lokal. Dari keragaman tersebut, terpilih lima daerah yang berdasarkan program inovasi, eksisting data, dan persepsi publik mampu mewakili tuntutan rakyat akan akuntabilitias. Kelimanya adalah Bulukumba, Sinjai, Parepare, Soppeng, dan Kabupaten Luwu Utara. Secara umum, isu strategis yang digarap pemda agar pemerintahannya menjadi lebih akuntabel adalah transparansi, akses informasi, sanitari birokrasi, dan pengaduan masyarakat.

Transparansi
Dalam hal transparansi, Pemda Luwu Utara mulai berani terbuka kepada masyarakat. Hal ini terlihat dari komitmen bupati untuk mewujudkan e-government for good governance berupa pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang efektif, efisien, transparan, non diskriminatif dan akuntable dengan nama program e-procurement, atau pelaksanaan tender barang/jasa melalui internet. Melalui e-Procurement, indikasi ’main mata’ antara Panitia SKPD dengan kontraktor dapat diminimalkan karena kontak antar keduanya tidak terjadi.

Akses Informasi
Ada kemajuan juga dalam hal akses informasi. Beberapa daerah berinovasi untuk semakin memudahkan masyarakat memperoleh informasi tentang segala hal yang terkait pemerintahan daerah. Misalnya, informasi tentang program yang sedang direncanakan, sedang dilaksanakan, maupun evaluasi terhadap progam yang sudah dilaksanakan.
Informasi ini diberikan lewat berbagai media. Salah satunya dapat disaksikan di Kabupaten Soppeng. Melalui Suara Parlemen 107,2 FM yang bertempat di gedung DPRD, kota kelelawar ini menyiarkan secara langsung rapat-rapat pembahasan dan paripurna, program-program yang telah dan belum teralisasi, hari-hari kenegaraan, dan hasil demonstrasi. Selain itu setiap pagi masyarakat Kota Soppeng dapat menyimak kondisi Kabupaten Soppeng, tips dan juga pendidikan serta aspirasi masyarakat.

Kabupaten Sinjai memberdayakan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) dan Kelompok Pertunjukan Rakyat (Pertunra) guna memaksimalkan penyampaian infomrasi ke masyarakat. Diharapkan KIM dapat menjadi wadah pertama penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Demikian pula dengan Pertunra. Di mana setiap informasi akan dikemas dalam bentuk pertunjukan rakyat sehingga informasi tersebut dapat ditangkap oleh masyarakat di pedesaan yang terkadang sulit untuk mencerna dan memahami sebuah informasi yang disampaikan secara verbal.

Sanitari Birokrasi
FIPO juga menemukan tren menarik pada ranah penciptaan birokrasi yang bersih (sanitari birokrasi). Ada dua kabupaten yang telah menerapkan pakta integritas pada pimpinan dan staf pemda. Keduanya adalah Kabupaten Sinjai dan Selayar. Di Kabupaten Sinjai, melalui Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) dan Indeks Pengaduan Masyarakat (IPM), ikrar pakta integritas itu dipimpin langsung oleh bupati.

Pencanangan janji bersama untuk menerapkan pakta integritas dan transparansi pada IKMditandai dengan penandatanganan secara simbolis, mulai bupati, pejabat eselon II, III, dan IV. Seluruh PNS menandatangani dokumen kepegawaian sebagai komitmen kesiapan individu PNS untuk melaksanakan pakta integritas dan transparansi dengan segala konsekuensinya. Berkas ini menjadi dokumen daerah di lembaga badan kepegawaian daerah.

Pada IPM, keluhan-keluhan mayarakat atas pelayanan umum terutama rumah sakit umum dan puskesmas dibuatkan Janji Pelayanan di mana semua pihak-pihak yang terkait untuk menyelesaikan keluhan masyarakat dilibatkan dan menandatangani Janji Pelayanan, seperti ketua DPR, kabag keuangan, kepala Bappeda, kepala RS, dan kepala dinas.

Pengaduan Masyarakat
Salah satu bentuk transparansi lainnya adalah memudahkan akses masyarakat dalam penyampaian aspirasi mereka. Transparansi bentuk ini pun di sebagian besar daerah di Sulawesi Selatan telah terlaksana. Tengoklah Pemerintah Kota Parepare. Di kota bandar madani ini, pemerintah daerah melalui bagian humas telah menyiapkan sarana pengaduan masyarakat melalui SMS dan email humas@pareparekota.go.id. Masyarakat yang mempunyai keluhan yang terkait dengan pelaksanaan pemerintahan dapat menyampaikan pengaduannya melalui SMS ke No 081241350077 dan melalui email humas@pareparekota.go.id. Hasil pengaduan masyarakat ini diprint out tanpa diedit dan kemudian dilaporkan ke Walikota. Walikota kemudian mengirimkan surat ke Instansi terkait untuk ditindak lanjuti. Pengaduan masyarakat ini juga akan dibahas dalam Coffe Morning yang rutin dilaksanakan setiap hari senin.

Serupa dengan Kota Parepare, Kabupaten Sinjai melalui Badan Komunikasi dan Informatika membentuk Pusat Pelayanan Informasi Publik yang diarahkan untuk mengelola, dan menerima serta menyampaikan informasi yang lebih terkoordinir, khususnya yang terkait dengan masalah penyelenggara serta penyelenggaraan pemerintahan ataupun pelaksana dan pelaksanaan pembangunan daerah, di samping permasalahan sosial kemasyarakatan. Untuk menyampaikan aspiransi mereka, masyarakat dapat mengakses internet gratis di media centre melalui email www.sinjaikab.go.id.
Untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat, beberapa daerah membuat program dialog interaktif di radio. Yang terlibat dalam dialog mulai bupati/wali kota, kepala dinas, dan instansi pemda lain. Pada acara ini, masyarakat bisa bertanya jawab langsung via telepon. Intinya, dialog interaktif tersebut dilakukan untuk memecah kebekuan komunikasi pemda dan masyarakat yang dulu berjalan sangat birokratis dan tidak komunikatif.

Kabupaten Sinjai pun meresponnya melalui acara “Obrolan Santai” di Radio Suara Bersatu” 95,5 Mhz. acara yang dikemas live setiap Senin sampai Jumat selama dua jam ini mengupas habis semua keluhan masyarakat. Acara ”Obrolan Santai” dikemas se-tradisional mungkin sehingga pendengar dan penyampai keluhan merasa tidak canggung. Pihak pendengar langsung bisa mendengar penjelasan dari dinas terkait pada hari itu juga bila memungkinkan dan jika tidak minimal 1x 24 jam penjelasan dari dinas terkait wajib ada.