Kamis, 16 September 2010

MENITIP ASA DI NEGERI ANGING MAMMIRI



Oleh :

MILAWATY (Peneliti FIPO)


Laju pertumbuhan Sulsel sepanjang tahun 2000-2008 sebesar 1,16, menduduki posisi ke tujuh terendah dari 33 propinsi di Indonesia (www.docstoc.com). Selain itu, menilik standar ideal WHO sebesar 96 jiwa per hektar, maka nampaknya ranah Sulsel masih terbuka lebar bagi pendatang-pendatang baru (terkecuali Makassar dan Parepare yang sudah kelebihan populasi).

Dengan jumlah penduduk yang masih underestimated tersebut, seharusnya banyak hal yang mampu diselesaikan pemerintah daerah, salah satunya kesempatan kerja. Potret ketenagakerjaan akan memberikan gambaran searah dengan potret kesejahteraan lainnya.
Krisis perekonomian dunia yang terjadi sejak 2008 lalu mengakibatkan perlambatan sektor ekonomi. Untungnya gelombang krisis tersebut tidak sehebat yang diperkirakan bakal melanda Indonesia seperti 1997 lalu. Perekonomian negeri ini tetap tumbuh meski tidak setinggi sebelumnya. Hal yang sama berlaku pada tingkat kesempatan kerja.

Selama kurun waktu 2007 dan 2008, tingkat kesempatan kerja 23 kabupaten-kota di Sulsel menurut kacamata penelitian FIPO menunjukkan peningkatan di hampir seluruh kabupaten-kota. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi kabupaten-kota yang mengalami pertumbuhan hingga 2,8 persen. Lima kabupaten/kota teratas yang mengalami peningkatan kesempatan kerja adalah Palopo, Makassar, Parepare, Soppeng, dan Gowa. Peningkatan ini memberi angin segar dan menandakan masih tersimpan asa bagi para pencari kerja di berbagai daerah.

Penelitian FIPO juga menunjukkan tingkat kesempatan kerja berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran terbuka. Jika tingkat kesempatan kerja meningkat maka tingkat pengangguran terbuka menurun. Demikian pula sebaliknya. Data Statistik Indonesia mendefinisikan pengangguran terbuka sebagai bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja maupun yang sudah pernah bekerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha; mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan mereka yang sedang mencari pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.

Di antara 23 kabupaten-kota di Sulsel, tercatat Kota Makassar yang paling berhasil menurunkan tingkat pengangguran terbukanya sebesar 0.35. Turunnya tingkat pengangguran terbuka ini dipicu oleh banyaknya proyek-proyek pembangunan yang ‘berhamburan’ seantero kota dengan nilai investasi Penanaman Modal Dalam Negeri mencapai tidak kurang Rp1,367triliun sepanjang 2007-2008, ditambah lagi Penanaman Modal Asing sekira $227,9juta. Demikian pula Kota "Sawerigading" Palopo dengan geliat pertumbuhan Rp500miliar selama tiga tahun terakhir memunculkan puluhan ruko dan kompleks perumahan yang menjadi ciri khas kota modern.

Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 untuk tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,1 persen nampaknya bukan soal mudah bagi seluruh kabupaten-kota di Sulsel. Hingga akhir tahun 2008, yang berpeluang mencapai target nasional adalah Sinjai (5,18 persen) disusul berturut-turut Luwu Utara (5,20 persen), dan Toraja (5,39 persen). Beberapa daerah lainnya masih memiliki persentase di atas lima.

Turunnya tingkat pengangguran rupanya saling terkait dengan meningkatnya kredit baik kredit umum maupun kredit UKM. Hal ini terlihat dari hasil penelitian FIPO yang mendapati korelasi negatif antara pemberian kredit dan tingkat pengangguran di hampir seluruh kabupaten-kota. Korelasi tersebut bermakna meningkatnya pemberian kredit berdampak terhadap menurunnya tingkat pengangguran. Bila kredit perbankan menurun, kegiatan bisnis sudah dapat dipastikan juga menurun. Akibatnya, ekspansi bisnis terhenti. Bahkan, tak sedikit yang menghentikan perluasan usaha dan mengurangi kegiatan usaha. Pada gilirannya, penciptaan lapangan kerja baru akan berkurang, sementara ledakan angkatan kerja baru tetap besar.

Meningkatnya pemberian kredit pun berdampak terhadap meningkatnya daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat di seluruh kabupaten/kota sepanjang tahun 2007 ke 2008 memperlihatkan trend menguat, terutama di Makassar dan Luwu Utara (tidak terlepas dari tingginya pertumbuhan ekonomi di kedua daerah tersebut yang menduduki peringkat pertama dan kedua di tahun 2008). Asumsinya, jika daya beli masyarakat meningkat maka rumah tangga produksi menaikkan kapasitas produksinya, karena peningkatan daya beli masyarakat akan menaikkan permintaan terhadap produk yang dihasilkannya. Peningkatan kapasitas produksi dapat mengakibatkan peningkatan permintaan kredit investasi oleh rumah tangga produksi.

Turunnya tingkat pengangguran juga sedikit banyaknya mempengaruhi persentase kemiskinan suatu daerah. Di belahan dunia manapun, berlaku hukum ekonomi yang sama, semakin banyak orang menganggur maka semakin banyak orang yang berada dalam tingkat kemiskinan. Demikian pula sebaliknya. Makassar, Takalar, Gowa, Parepare, Wajo, Bantaeng, Maros, Sidrap, Jeneponto, Sinjai, Bulukumba, Bone, Selayar, dan Pangkep adalah daerah-daerah yang mampu merubah kantong kemiskinan seiring dengan berkurangnya tingkat pengangguran terbuka di daerah mereka. Bahkan Makassar, Sidrap, dan Parepare telah mampu mencapai target penurunan kemiskinan yang termaktub dalam RPJMN 2004-2009. Martin Luther King [1960] telah mengingatkan, "you are as strong as the weakest of the people" Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin.

Pada prinsipnya semua negara menghadapi masalah pengangguran, tidak terkecuali negara-negara yang tergolong maju. Hanya saja, negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia menghadapi masalah pengangguran yang lebih serius karena menimbulkan dampak yang luas terhadap masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan antar penduduk. Dengan demikian, sebagaimana disampaikan oleh Soemitro (1994:207), penanggulangan pengangguran menjadi sesuatu yang mendesak dan akut dalam pembangunan ekonomi. Kita berharap jangan sampai kejadian tahun 2002 dan 2003 lalu terulang; Sulawesi Selatan menyandang posisi propinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi. (m_milawaty@yahoo.com)

TAK SEBATAS DUDUK DI SINGGASANA

Pesta demokrasi kepala daerah telah usai. 23 Juni 2010 lalu, 10 Kabupaten di Sulawesi Selatan melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara serentak. Enam diantaranya incumbent, seperti Gowa, Bulukumba, Luwu Utara, Luwu Timur, Selayar, dan Soppeng. Hasilnya pun telah diketahui publik, Dari hasil pemilukada tersebut, pengaruh incumbent ternyata masih sangat kuat, dan ini terbukti hanya satu dari mereka yang lengser.

Banyak pelajaran menarik yang dapat disimak dari pertarungan para elite politik daerah tersebut. Kemenangan demi kemenangan yang diraih beberapa incumbent menyisakan tanya keberhasilan pembangunan apa saja yang telah dilaksanakan oleh para petinggi daerah tersebut sehingga rakyat masih menggantungkan asa dan harapan di pundak mereka di lima tahun berikutnya?

Melalui tulisan ini FIPO mencoba membaca peta keberhasilan para incumbent dari sudut pandang penelitian yang telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir. Dari tulisan ini juga tergambar bahwa Kepala daerah tidak semata duduk di singgasana, melainkan turun gunung, dan tidak jarang berbaur dengan masyarakat desa.

Luwu Timur
Secara kasat mata, pertumbuhan ekonomi di Bumi Batara Guru selama lima tahun terakhir memang sangat mencolok. Perbaikan infrastruktur yang dimulai dari desa menuju kota menjadi salah satu prioritas utama. Dana ekonomi kabupaten yang mulai berdiri sendiri sebagai kabupaten baru di tahun 2003 itu ini pun mengalami peningkatan tertinggi dari tahun anggaran 2008 ke 2009 sehingga instansi terkait mampu memuluskan seluruh jalan desa dan jalan tani. Bahkan di tahun 2009, anggaran ekonomi terhadap total belanja APBD sebanyak 30% menjadi anggaran ekonomi tertinggi se-Sulsel. Dengan anggaran sebesar itu, setiap desa mampu mencicipi dana ekonomi sebesar Rp2,5 miliar atau Rp1,1 juta per jiwa.

Dunia pendidikan pun tidak dikecualikan. Dengan mengusung Tiga Pilar Pembangunan Pendidikan, kabupaten ini berhasil masuk dalam lima besar tingkat kelulusan siswa SMP-SMA untuk tahun ajaran 2008, 2009, dan 2010. Rasio pendidikan langsung non gaji pun dialokasikan sebesar 12,1% terhadap total belanja APBD. Ini menjadi rasio pendidikan langsung non gaji tertinggi di jejeran daerah lainnya di Sulawesi selatan. Alokasi anggaran per siswa pun rata-rata sebesar Rp1 juta di tahun anggaran 2009.

Bidang layanan kesehatan dan pengelolaan lingkungan hidup pun digenjot melalui berbagai upaya dan sasaran. Tak heran dalam survey publik yang digelar FIPO di awal tahun 2010 lalu yang melibatkan 23.000 responden, kabupaten ini direspon paling positif untuk kinerja pemerintah daerah pada kategori pertumbuhan ekonomi, layanan pendidikan, layanan kesehatan, serta pengelolaan lingkungan hidup.

Soppeng
Kabupaten kecil ini ternyata menyimpan potensi tersendiri. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi kabupaten ini berdampak pada peningkatan kesempatan kerja yang terbesar di antara daerah-daerah pemilukada lainnya di Sulawesi Selatan. Ini berarti peluang kerja masih terbuka lebar bagi para pengangguran di daerah ini. Dan memang, tidak dapat dipungkiri, sepanjang tahun 2008 tingkat pengangguran terbuka berhasil turun sebesar 3,65%.

Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dibarengi pengurangan tingkat pengangguran terbuka berdampak terhadap meningkatnya jumlah tabungan dan menguatnya daya beli masyarakat. Di antara dua daerah di ajang pemilukada, Soppeng menjadi daerah yang mengalami peningkatan jumlah tabungan terbesar.

Gowa
Meski kabupaten ini menjadi daerah penyangga ibukota Sulawesi Selatan, mayoritas masyarakatnya masih hidup di pedesaan. Tak heran, pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal dan pengentasan kemiskinan masih menjadi program unggulan kabupaten ini. Melalui Program Pengentasan Kemiskinan Terpadu yang salah satu kegiatannya adalah membangun perkampungan orang miskin, kabupaten ini mendapatkan apresiasi positif dari warga penerima manfaat program.

Di bidang layanan pendidikan, kabupaten ini juga berjaya mengembangkan sejumlah program-program unggulannya, seperti Punggawa D’ Emba Education Program, adopsi metode pembelajaran Jepang dan Finlandia, peluncuran Perda Wajib Belajar, pengangkatan pamong praja pendidikan, serta mengembangkan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) yang kemudian menjadi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) percontohan di Indonesia.

Kepulauan Selayar
Daerah yang berjuluk Bumi Tana’ Doang ini meninggalkan kepingan-kepingan keberhasilan selama beberapa tahun terakhir ini. Di bidang pendidikan, untuk tahun anggaran 2009, hanya dua kabupaten/kota yang mampu mengalokasikan belanja langsung lebih besar dibanding belanja tidak langsung. Kabupaten kepulauan ini salah satunya. Bahkan di tahun 2009, alokasi belanja langsung ditingkatkan menjadi 55%. Meski dari segi total anggaran pendidikan, anggaran kabupaten ini paling kecil di antara 23 kabupaten/kota lainnya, nyatanya pemerintah daerah tidak surut langkah untuk mengeluarkan anggaran demi pendidikan terbaik putra-putrinya.

Bidang layanan administrasi kependudukan dan akuntabilitas publik juga menjadi kisah manis lainnya. Layanan jemput bola yang serba gratis mulai dari pendaftaran hingga pengantaran ke rumah warga membuahkan persepsi positif warga pada saat survey inovasi digelar. Demikian juga akuntabilitas publik yang dilakukan pemerintah daerah dalam bentuk Metode Manual Praktis yang mencoba mengajak rakyat duduk bersama mengkaji kebijakan publik pemerintah daerah.

Di bidang pengelolaan lingkungan hidup, kabupaten yang sejak 2009 resmi berubah menjadi kabupaten kepulauan ini mampu memenuhi anggaran ideal lingkungan hidup sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Dengan anggaran 3,8 persen terhadap total belanja APBD 2009, Selayar mampu mengalokasikan pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup sebesar Rp153 ribu per penduduk. Anggaran per penduduk ini menjadi anggaran tertinggi di antara kabupaten/kota yang mengadakan pemilukada dan menjadi anggaran tertinggi kedua se-kabupaten/kota di Sulsel.

Luwu Utara
Kabupaten ini sukses menyatukan partisipasi masyarakat dalam berbagai program. Salah satunya dalam pembangunan pasar yang anggaran partisipasinya jauh lebih besar. Partisipasi rakyatpun makin tahun makin bertambah karena mereka yang menjadi perencana dan pelaksana pembangunan.

Di bidang lainnya, akuntabilitas publik melalui e-procurement terus dilaksanakan dan disempurnakan dari tahun ke tahun. Program ini nyatanya ampuh menurunkan indikasi tingkat kebocoran keuangan daerah. Tidak heran untuk kedua kategori ini, persepsi masyarakat dalam survey sangat positif baik itu masyarakat penerima manfaat maupun masyarakat umum. (m_milawaty@yahoo.com)

Kamis, 17 Juni 2010

Kabupaten Pangkep Peraih Otonomi Award 2010 Kategori Pemerataan Ekonomi

Menadah Keuntungan dari Sawah Tadah Hujan



Kata pepatah, mempertahankan lebih sulit dibanding meraih, tidaklah selalu benar. Buktinya, Kabupaten Pangkep berhasil melakukan hal tersebut. Setelah meraih Otonomi Award (OA) 2009 lalu, tahun ini Pangkep kembali meraih tropi. Hebatnya lagi, Pangkep meraih tropi dua kali berturut-turut untuk kategori yang sama yakni kategori sebagai daerah dengan terobosan inovatif bidang pemerataan ekonomi. Terobosan apa saja yang dilakukan daerah yang terkenal dengan ikan bandengnya ini?

Laporan : A. Mattingaragau T, Peneliti FIPO

Tidak banyak daerah mampu meraih tropi OA dua kali beruntun untuk program dan indikator yang sama. Selain harus mempertahankan pencapaian, juga harus memperlihatkan kemajuan (proliferasi) yang telah dilakukan selama setahun. Proliferasi atau pengembangbiakan artinya program pada penilaian tahun berikutnya setidaknya mengalami progres atau perubahan ke arah perbaikan dan peningkatan mutu program. Inilah yang menjadi entry point penilaian the Fajar Institute of Pro-Otonomi (FIPO) bagi kabupaten/kota peraih OA 2009 lalu.

Syarat yang ditetapkan FIPO tersebut mampu diimplementasikan Pangkep yang dengan programnya, Miliaran Rupiah Sawah Tadah Hujan, kembali meraih tropi OA. Keberhasilan ini didasarkan pada kemajuan dan terobosan yang dicapai selama satu tahun penilaian yang menunjukkan tren peningkatan signifikan.

Berdasarkan penilaian akhir FIPO, Pangkep mampu meraih total nilai tertinggi dengan skor 670. Nilai tersebut merupakan gabungan dari tiga komponen penilaian yakni inovasi (493 poin), survei publik (140 poin), dan existing condition (37 poin). Raihan total nilai ini mengungguli empat daerah lainnya yang harus puas sebagai nominasi. Keempat daerah tersebut adalah Sinjai (652 poin), Gowa (620 poin), (615 point), dan Kepulauan Selayar (599 poin).

Sementara itu, hasil monitoring dan evaluasi (monev) FIPO menunjukkan bahwa kinerja program mengalami kemajuan melalui pengadaan sarana dan prasarana pertanian. Hal ini dapat dilihat dari terobosan yang dilakukan antara lain, mengatasi ketersediaan air untuk pertanian berupa pembangunan dan rehabilitasi saluran air/irigasi dengan anggaran Rp1,68 miliar, pembuatan saluran air perpipaan Rp5,44 miliar, pembuatan sumur bor Rp618,5 juta, dan pembuatan embung Rp99,8 juta.

Selain mengatasi masalah ketersediaan air juga ketersediaan alat mesin pertanian (alsintan). Pada 2009, pengadaan alsintan menelan anggaran Rp1,42 miliar yang terserap untuk pembelian hand tractor besar dan kecil sebanyak 10 unit, serta pompa air ukuran 8 inci sebanyak 10 unit dan pompa air ukuran 2 inci sebanyak 76 unit. Upaya lain yang dilakukan berupa pembuatan jembatan (tani) yang menelan anggaran Rp126 juta. Anggaran ini untuk membiayai jembatan tani yang berlokasi di Libureng Atas dan Kassi Panjang.

Guna memaksimalkan produksi padi, pemda juga memberikan bantuan benih padi unggul kepada petani. Bantuan ini dimaksudkan untuk menjamin kualitas jenis/varietas unggul yang dihasilkan agar mutu padi lebih baik dan produksinya meningkat.

Keseluruhan anggaran yang digunakan dalam pelaksanaan program sebesar Rp9,4 miliar. Pengeluaran ini tidaklah sia-sia dan hasilnya pun menggembirakan. Jika sebelumnya masa tanam hanya satu hingga dua kali setahun, kini mampu berproduksi lima kali dalam dua tahun. Dengan memanfaatkan lahan pertanian seluas 22.410 hektar, produksi padi di Pangkep mengalami peningkatan di atas lima persen pada 2008 dan 2009. Pada 2008, produksi padi mencapai 27 ton atau meningkat 21,23 persen. Peningkatan ini merupakan lonjakan terbesar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bahkan jika dilihat dari capaian produksi sawah tadah hujan, peningkatan ini terbilang spektakuler hingga melampaui 100 persen.

Atas berbagai kebijakan pemda dalam mengatasi permasalah tersebut, maka sejak 2008 petani di Kecamatan Pangkajene, Minasa Tene, Bungoro, dan Labakkang sudah dapat menggarap sawahnya sesaat setelah pasca panen karena ketersediaan pasokan air terjamin.

Selain pengadaan sarana pertanian, program ini juga didampingi konsultan sehingga berjalan sesuai harapan. Konsultan inilah bertindak sebagai advokasi petani dan pengarah program. Jadi kendala yang dialami selama ini setidaknya dapat diatasi secara bertahap. Hasilnya pun dirasakan petani yang tersebar pada 8 dari 12 kecamatan berupa peningkatan nilai tambah produksi padi.

Keberhasilan Pemkab Pangkep meningkatkan produksi padi tidak hanya tertumpu pada jaminan ketersediaan air, pengadaan alsintan, dan pemberian bibit belaka, tetapi juga menjaga kualitas tanah dengan pupuk organik seperti jerami. Bahan ini banyak tersedia terutama pasca panen. Jerami ini umumnya dibakar dan dimanfaatkan sebagai pupuk kompos.

Melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Pangkep yang bekerjasama dengan Prima Tani Kabupaten Pangkep melakukan pembuatan pupuk kompos jerami. Alat pengolah jerami disiapkan oleh Dinas Pertanian, sedangkan teknologi pembuatan kompos dan cara aplikasinya difasilitasi oleh Tim Prima Tani. Alat pengolah jerami/pencacah ini telah diberikan kepada beberapa ketua gapoktan.

Penerapan metode ini lambat laun dapat memperbaiki unsur hara tanah sehingga produksi padi dapat berkesinambungan. Jadi petani yang tadinya tidak mengolah sawahnya karena faktor unsur hara, kini tetap mengolahnya setiap selesai musim panen.
Atas berbagai upaya dan terobosan ini, petani yang tersebar di Pangkep mendapatkan nilai tambah dari kesinambungan dan peningkatan produksi padi sehingga berdampak juga pada peningkatan pendapatan mereka secara merata. (andimattingaragau@yahoo.com)

MENGGALI NILAI KECERDASAN LOKAL DI PUNGGAWA D’ EMBA



Trophy Otonomi Award dari The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) untuk kategori Daerah dengan Profil Menonjol pada Layanan Pendidikan direbut Kabupaten Gowa. Kabupaten ini berhak membawa pulang award untuk kategori Layanan Pendidikan. Bagaimana sepak terjang kabupaten yang terkenal dengan Kota Bunga Malino-nya tersebut sehingga mampu menyisihkan kabupaten-kabupaten lain yang memiliki inovasi pendidikan yang tidak kalah cerdasnya? Berikut laporan Milawaty dari FIPO.

Tidak mudah untuk meraih penghargaan ini. Kabupaten Gowa pun tak serta-merta dengan enteng meraih anugerah utama tersebut. Kabupaten yang hanya berjarak 15 km dari ibu kota provinsi Sulawesi Selatan itu harus berpeluh-peluh melakukan terobosan dan inovasi pendidikan. Dalam perjalanan menuju prestasi tertinggi itu, Gowa dengan programnya “Perkuatan Kualitas Pendidikan Gratis” harus bersaing keras dengan empat kabupaten lainnya yang juga masuk dalam nominasi ini, yaitu Pangkep dengan “Penguatan Pendidikan Gratis”, Luwu Timur dengan program unggulan “Pendidikan Gratis Berkualitas”, Sinjai dengan “Membangun Kecerdasan dengan Perpustakaan Plus”, dan Luwu Utara dengan “Program Pengembangan Kecerdasan Lokal”.

Banyak yang perlu ditinjau dalam memutuskan kemenangan daerah, seperti inovasi, survey inovasi dan survey publik. Selain itu ada pula existing data seperti pendidikan langsung non gaji terhadap total belanja APBD, pendidikan langsung non gaji terhadap jumlah murid, total anggaran pendidikan terhadap total belanja APBD, anggaran pendidikan per penduduk, jumlah guru per jumlah murid, jumlah sekolah per jumlah desa, tingkatan pendidikan, kenaikan/penurunan angka buta huruf, dan indeks pendidikan.

Keunggulan kabupaten dengan jargon Ewako Gowa ini terletak pada nilai inovasi program yang menempati peringkat tertinggi. Meskipun dari sisi survey publik yang melibatkan 10 kelompok masyarakat justru menempatkan Luwu Timur di posisi terdepan dan dari data-data pendidikan menobatkan Kepulauan Selayar di tempat teratas, namun total keseluruhan penilaian (inovasi, survey publik, dan eksisting data) yang pada akhirnya menghantarkan daerah tetangga Makassar ini sebagai pemenang (selengkapnya lihat grafis).

Salah satu alasan mengapa nilai inovasi program Penguatan Kapasitas Pendidikan Gratis ini melampaui perolehan nilai daerah-daerah lain adalah program pendidikan yang dikemas secara lokal. Salah satunya adalah Punggawa D’ Emba (Punggawa D’ Emba Education Program). Program ini diakui mampu menstimulus daya nalar dan daya kritis siswa sekaligus menghilangkan kecanggungan mereka dalam mengungkapkan dan menjelaskan apa yang telah dipelajari di depan kelas. PDEB juga menggali nilai kecerdasan lokal dengan belajar memahami makna Akkorongtigi atau Anggaru.

Keberadaan Perda Wajib Belajar yang merupakan lanjutan Perda Pendidikan Gratis adalah terobosan lainnya. Dalam perda tersebut, orangtua yang sengaja tidak menyekolahkan anaknya akan diancam hukuman penjara enam bulan atau denda Rp 50 juta. Ada pula adopsi metode pembelajaran Jepang dan Finlandia yang mewajibkan siswa mempelajari satu topik tertentu dan menjelaskan pokok pikiran topik tersebut di hadapan siswa lainnya.

Nilai lebih pendidikan di kabupaten ini juga diungkapkan oleh Muhammad Hatta, pemerhati pendidikan dan ketua LSM “Baruga Cipta” Gowa yang selama ini vokal menyuarakan kinerja pemerintah daerah. Menurutnya, pendidikan gratis gowa memiliki beberapa nilai tambah dibanding pendidikan gratis propinsi. Pertama¸ pembebasan pembiayaan dari SD sampai SMA. Kedua, ada beberapa unsur biaya khusus pendidikan gratis yang dimasukkan dalam APBD, seperti seragam, sepatu sampai transport khusus untuk siswa miskin. Ketiga, perekrutan pamong praja yang bertugas menjemput para guru yang lokasi rumahnya jauh dari sekolah tempat mereka mengajar. Di beberapa daerah terpencil, masyarakat setempat yang diberdayakan menjadi pamong praja. Keempat, program lokal seperti Punggawa D’ Emba terbukti efektif menarik minat belajar siswa. Kelima, sanksi tegas berupa mutasi guru yang terbukti melakukan penarikan pembayaran ke siswa.

Yang patut diperbaiki, lanjutnya, adalah pengawasan dan transparansi pengelolaan anggaran di sekolah. Selain itu gebrakan Dewan Pendidikan Gowa masih belum terdengar meski pemerintah daerah sudah bekerja dengan baik. (m_milawaty@yahoo.com)

MENUJU KOTA SEHAT melalui GERAKAN SAYANG IBU


Libatkan Semua Agen Perubahan*



Sejak diadakan Konferensi Safe Motherhood di Nairobi, Februari 1987, masalah kematian ibu yang berkaitan dengan kehamilan menjadi persoalan global. Hal ini disebabkan salah satu indikator utama yang membedakan suatu negara digolongkan sebagai negara maju atau negara berkembang dapat dilihat dari rata-rata Mother Mortality Rate (MMR). Rata-rata MMR negara maju 20 kematian per 100.000 kelahiran. Sedangkan di negara berkembang 440 kematian ibu per 100.000 kelahiran.

Sementara itu dalam buku UNDP, Human Development Report edisi 1996 tercantum AKI di seluruh dunia 307 per 100.000 kelahiran, yakni 28 untuk negara-negara industri dan 384 untuk negara-negara sedang berkembang. Variasinya besar sekali, dari 0 di Luksemburg dan Malta sampai lebih dari 1.500-100.000 kelahiran di Bhutan, Afghanistan, dan Sierra Leone. Lantas di mana posisi Indonesia?

Di buku itu AKI Indonesia diperkirakan 650 per 100.000. Perkiraan resmi di Indonesia lebih rendah, 425 per 100.000 kelahiran. AKI 425 orang itu termasuk tinggi, paling tinggi di ASEAN. Vietnam mempunyai AKI 120, Malaysia 59, dan Singapura 10. Bahkan menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada tahun 2002 kematian ibu melahirkan masih mencapai 307 per 100.000 kelahiran. Angka 307 ini berarti 31 kali kematian ibu di Singapura, 5 kali dari Malaysia, dan 2,5 kali dari Vietnam.

Pembahasan khusus tentang angka kematian ibu di kawasan Asia Tenggara pada 8 – 11 September 2008 lalu di New Delhi India juga menempatkan Indonesia sebagai salah satu penyumbang terbesar kematian ibu dan anak di kawasan Asia Tenggara. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung. Sebanyak 98 persen dari seluruh kematian ibu dan anak tersebar di India, Bangladesh, Indonesia , Nepal dan Myanmar.

Padahal tak terbilang usaha untuk menurunkan angka kematian ibu hamil maternal di Indonesia. Diantaranya dengan Program Safe Motherhood pada tahun 1988, Gerakan Sayang Ibu pada tahun 1996, serta Gerakan Nasional Kehamilan yang Aman atau Making Pregnancy Saver (MPS).

Kematian ibu maternal dan bayi memang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan warganya. Merubah paradigma masyarakat yang masih menggantungkan persalinan ke dukun menjadi salah satu hal tersulit. Budaya “sudah biasa” yang selama ini melekat menyebabkan ibu hamil merasa lebih nyaman dan aman menyerahkan proses persalinan mereka ke tangan dukun. Oleh karena itu dibutuhkan pihak ketiga sebagai agen perubahan.

Faktor lainnya adalah terbatasnya akses terhadap pelayanan persalinan. Hal ini diperparah oleh lemahnya posisi perempuan di lingkungan masyarakat, khususnya di pedesaan, dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kesehatan reproduksinya. Di banyak daerah perempuan sulit memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya dan bayi yang dikandung. Jadi, saat mengalami perdarahan atau komplikasi saat kehamilan, suami atau tetua adat yang memutuskan kapan dan di mana ia akan dirawat.

Selain itu banyak ibu hamil terlambat mencapai sarana kesehatan lantaran tempat tinggalnya jauh dari tempat pelayanan persalinan. Penyebab lain adalah banyak rumah sakit di daerah yang tidak memiliki pelayanan transfusi darah sehingga kesulitan mengatasi masalah perdarahan dan komplikasi persalinan.

Dari sekian banyak kendala di atas, lantas apakah tidak ada daerah yang telah berhasil menekan laju kematian ibu selama ini? Tentu ada. Berjarak 390 km dari ibukota Sulawesi Selatan, Kecamatan Wara Utara Kota Palopo berhasil merubah paradigma masyarakat. Lebih jauh lagi, kecamatan tersebut sedikit demi sedikit mampu merubah kelemahan menjadi kekuatan.

Adalah Ansir Ismu, Camat Wara Utara Kota Palopo yang berusaha menekan laju kematian warganya. Tak dapat di sangkal Kota Palopo menjadi salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang tingkat kematian ibu maternal mengalami lonjakan dari 17 menjadi 25 orang di tahun 2007. Tak ingin warganya turut menjadi korban, Ansir Ismu yang sejak tahun 2008 menjabat sebagai Camat Wara Utara mulai mengerahkan segenap upayanya. Penjabaran program GSI di Wara Utara disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan wilayah, kreatifitas, inovasi dan karya yang melibatkan semua komponen masyarakat.

Pada tahun 2008 penguatan GSI di kecamatan ini makin diperbesar. Layaknya sebuah organisasi, agen perubahan Wara Utara juga memiliki struktur. Di tingkat kecamatan dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Sayang Ibu yang diketuai oleh camat. Di tingkat desa/kelurahan dibentuk Satgas Sayang Ibu, diketuai kepala desa/ketua umum LKMD dengan dua ketua pelaksana, sekretaris, dan anggota-anggota. Tugas pokok mereka adalah menghimpun data tentang ibu hamil dan bersalin, memberikan penyuluhan, dan mengumpulkan dana untuk ambulans desa serta tabungan ibu bersalin.

Salah satu hal yang menarik, di Wara Utara, para ketua satgas GSI dan pengurus inti di semua kelurahan di dominasi kaum bapak yang berarti adanya pelibatan kaum lelaki dalam gerakan ini. Keterlibatan mereka tentunya diharapkan berujung pada kepedulian kepada kaum ibu.

Agen perubahan lainnya adalah dukun (sanro). Sebanyak dua sanro di Wara Utara pun dirangkul dan dilibatkan dalam proses persalinan bayi. Dukun tidak dilihat sebagai
kompetitor, tetapi dijadikan mitra bidan.

Langkah-langkah berikutnya adalah satgas GSI bekerja sama dengan pelatih senam untuk melatih ibu-ibu hamil. Tujuannya tidak lain agar kesehatan ibu hamil dapat terus terjaga dan terpantau oleh satgas. Satgas GSI juga membentuk kelompok keluarga sadar hukum GSI yang anggota-anggotanya terdiri dari kelompok dasawisma, karang taruna, remaja mesjid, dan remaja gereja. Selain itu partisipasi warga dalam GSI juga ditingkatkan melalui pembentukan Pondok Sayang Ibu yang dapat digunakan oleh ibu hamil yang waktu melahirkannya sudah dekat sementara jarak rumahnya jauh dari pusat pelayanan kesehatan.

Beberapa upaya lainnya adalah membuat kerjasama MoU antara satgas GSI dengan beberapa pelaku bisnis guna mendukung GSI. Salah satu point kerjasama tersebut adalah pengusaha dengan biaya sendiri memasang brosur himbauan dan spanduk GSI di tempat-tempat yang mudah terlihat oleh para pelanggan. Bahkan, Stasiun Pengisian Bahan bakar untuk Umum (SPBU) yang berada di Kecamatan Wara Utara juga tidak luput dari pengamatan satgas GSI. Di tempat ini satgas menyediakan kotak amal GSI yang diletakkan di lokasi strategis yang memudahkan pengendara melihatnya.

Komunikasi Informasi Masyarakat (KIM) juga diberdayakan oleh satgas sebagai alat sosialisasi sekaligus alat informasi GSI dengan cara membuat buletin, kliping, berdiskusi, dan memberikan informasi. Selain itu satgas juga membentuk ojek dan becak GSI untuk mengantar ibu hamil. Tak cukup hanya ojek dan becak, warga setiap kelurahan pun dengan sukarela menyiapkan kendaraan untuk ibu hamil sekaligus menjadi donor darah siaga.

Tak berhenti sampai di situ, Ansir Ismu juga bekerja sama dengan Kepala KUA dan Ketua forum LPMK Wara Utara membentuk program triangle lovely (kasih sayang 3 sisi) yaitu pelaminan menuju GSI. Pada program ini, setiap pasang pengantin yang memiliki tingkat perekonomian yang memadai akan diminta partisipasinya membantu program GSI. Jumlah nominal tergantung kerelaan sang calon pengantin.

Dunia pendidikan juga disasar oleh Camat yang sebelumnya juga pernah menjadi orang nomor satu Kecamatan Wara. Dinas Pendidikan pun merespon. Pemahaman dini GSI di sekolah-sekolah, terutama di sekolah dasar mulai diperkenalkan. Peran serta sekolah, terutama sekolah dasar, dalam mendukung program GSI terlihat nyata karena mulai dari pintu masuk, tembok sekolah, hingga pintu kelas terpasang spanduk dan pamflet GSI. Kerjasama tersebut juga terlihat dari kesediaan para guru menjelaskan program GSI kepada murid sebelum pelajaran di mulai. Bahkan beberapa guru dengan antusiame menciptakan mars GSI :

………………………………………..
Kami putra dan putri Palopo
Sayang ibu menjadi tekadku
Walau apapun jadi tantangan
Sayang ibu takkan luntur
………………………………………...



Dengan beragam kreatifitas di Kecamatan Wara Utara di atas, lantas di mana partisipasi Pemerintah Kota Palopo sendiri? Kecamatan Wara Utara tentu saja tidak bergerak sendiri. Guna mendukung GSI ini, Walikota Palopo H.P.A. Tenriadjeng dan jajaran pejabat kota lainnya turun tangan dengan melakukan siaran langsung menyebarkan informasi GSI di beberapa radio swasta lokal. Bahkan, pemerintah kota berhasil melakukan kerjasama dengan tiga sekolah tinggi ilmu kesehatan dan perguruan tinggi dalam upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat di bidang kesehatan. Tidak hanya itu, pemerintah kota juga memperkuat regulasi kesehatan melalui terbitnya Perda Kota Sehat yang merupakan perda kota sehat pertama di Indonesia.

Kerjasama harmonis antar pemerintah kota, pemerintah kecamatan, agen perubahan, dan masyarakat tidak sia-sia. Terbukti angka kematian ibu dapat ditekan secara drastis. Dari 25 orang angka kematian ibu di tahun 2007, kota yang berpenduduk 141.996 jiwa ini berhasil menekan kematian ibu menjadi 4 jiwa di tahun 2008 dan akhirnya zero percent di tahun 2009. Tepatlah kata pepatah Bugis “Iya Ada Iya Gau” yang berarti Satu Kata Satu Perbuatan. GSI di Palopo bukan hanya pada ucapan tapi juga pada perbuatan.

*)Mylaffayzza. Peneliti the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) Makassar, Sulawesi Selatan. Alamat email m_milawaty@yahoo.com

PENGENTASAN BUTA HURUF JALAN DI TEMPAT ATAU MUNDUR TERATUR?

Buta huruf bukan sekadar tidak mampu membaca dan menulis, melainkan berpotensi menimbulkan serangkaian dampak yang sangat luas. Kemampuan membaca dan menulis merupakan alat penting untuk memberantas kemiskinan. Tak mengherankan jika kemampuan itu termasuk dalam indikator pendidikan pada indeks pembangunan manusia atau Human Development Index United Nations Development Programme (UNDP). Indeks tersebut mengukur kemajuan pendidikan berdasarkan kemampuan membaca dan menulis atau literasi.


Tahun 2009 adalah target Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menurunkan angka buta huruf hingga mencapai lima persen. Untuk menggolkan target tersebut, para pelaku pendidikan berlomba-lomba berupaya meningkatkan sumber daya pendidikan. Bagaimana pencapaian target Depdiknas tersebut selama tahun 2006 dan 2007 lalu di 23 kabupaten-kota dalam lingkup Sulawesi Selatan?

Dalam kurun waktu dua tahun tersebut, nampak bahwa usaha pemerintah daerah untuk menurunkan angka buta huruf tidak selalu berhasil di semua daerah. Secara nasional, Sulawesi Selatan bahkan masuk dalam kategori daerah dengan angka buta huruf yang masih tinggi. Hal tersebut didukung data temuan FIPO, di antara 23 kabupaten – kota se Sulawesi Selatan, delapan diantaranya belum berhasil menurunkan angka buta huruf. Yang terjadi malah sebaliknya; angka buta huruf mengalami kelonjakan dari tahun 2006 ke 2007. Tentunya kelonjakan itu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya buta huruf baru, putus sekolah formal yang buta huruf kembali, dan hasil garapan pemberantasan buta huruf yang tidak tuntas dan hanya menyebut secara kualitas saja.

Delapan daerah yang terdeteksi meningkat rasio buta huruf penduduk untuk usia 10 tahun ke atas dari tahun 2006 ke 2007 adalah Kabupaten Jeneponto, Sinjai, Bone, Bulukumba, Pinrang, Barru, Bantaeng, dan Takalar. Dari kedelapan kabupaten tersebut, Kabupaten Jeneponto yang menunjukkan peningkatan rasio angka buta huruf yang signifikan dalam kurun waktu setahun (dari 24,26 persen meningkat hingga 30,91 persen), diikuti oleh Kabupaten Sinjai yang meningkat dari 13,56 persen menjadi 17,15 persen. Penurunan angka buta huruf yang patut diacungkan jempol adalah Kota Palopo yang mampu menurunkan angka buta hurufnya 50 persen dari tahun sebelumnya.

Untuk angka buta huruf itu sendiri, pada akhir tahun 2007 angka buta huruf tertinggi diraih oleh Kabupaten Jeneponto sebesar 30,91 persen, disusul berturut-turut oleh Kabupaten Bantaeng 24,09 persen, Kabupaten Bulukumba 20.51 persen, dan Kabupaten Takalar 20,4 persen.

Target penurunan angka buta huruf hingga mencapai lima persen nampaknya masih terlampau jauh bagi Sulawesi Selatan. Hal ini ditunjukkan hingga 31 Desember 2007, baru lima daerah yang angka buta hurufnya tersisa di bawah 10 persen, yaitu Kota Palopo, Makassar, Parepare, Luwu Timur, dan Luwu Utara. Dari lima daerah tersebut, Kota Makassar, Palopo, dan Parepare yang mampu mencapai target penurunan angka buta huruf hingga di bawah lima persen. Luwu Timur dan Luwu Utara kemungkinan besar akan mampu mencapai target tersebut mengingat pendidikan gratis yang telah diterapkan kedua daerah yang masih tergolong muda tersebut.

Masih tingginya angka buta huruf di Sulawesi Selatan tentunya meninggalkan tanya yang mendalam. Ada apa dengan pendidikan Sulawesi Selatan yang selama beberapa tahun terakhir ini telah menerapkan beragam kebijakan pendidikan? Pendidikan gratis, pembentukan kelompok belajar atau yang lebih dikenal dengan Keaksaraaan Fungsional, dan rasio anggaran pendidikan terhadap total belanja APBD adalah tiga dari sekian rangkaian kebijakan Pemerintah Sulawesi Selatan.

Pendidikan gratis telah diterapkan beberapa kabupaten – kota jauh sebelum pendidikan gratis tahun 2008 lalu digaungkan. Pendidikan gratis selayaknya mampu mendongkrak angka melek huruf karena kemiskinan yang menjadi faktor tingginya angka putus sekolah bukan lagi menjadi alasan seiring dengan adanya kebijakan pendidikan gratis ini. Anak yang paling miskin pun kini dapat bersekolah.

Beberapa daerah memfasilitasi keluarga miskin dengan armada bus sekolah seperti yang dilakukan Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Luwu Timur, dan Makassar. Ada pula kabupaten yang memberikan uang transport seperti yang dapat dilihat di Kota Parepare sebesar Rp. 3.000 per hari per siswa, atau kabupaten yang menyediakan asrama anak sekolah sebagaimana yang dilakukan Kabupaten Pangkep dan Kepulauan Selayar.

Upaya-upaya pemerintah daerah tersebut sangat positif. Sayangnya, jika melihat kenyataan yang ada, pendidikan gratis dan semua fasilitas pendukungnya nampaknya belum menjadi sarana yang paling efektif untuk memotivasi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Sanksi bagi orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya barangkali dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyadarkan orang tua betapa pentingnya pendidikan; tidak hanya sekedar anak tahu baca-tulis tapi lebih dari itu, kehidupan yang lebih baik dapat dibangun melalui pendidikan yang lebih baik. Buruknya pendidikan menghasilkan kemiskinan. Sanksi inilah yang telah diuji coba oleh Kabupaten Gowa dan Luwu Timur. Bagaimana sanksi itu memberi efek jera bagi orang tua? Waktu yang akan membuktikan.

Kebijakan yang kedua adalah Keaksaraan Fungsional. Hingga tahun 2008 jumlah Keaksaraan Fungsional yang berada di Sulawesi Selatan telah mencapai ribuan dan tersebar di 23 kabupaten - kota. Keaksaraan Fungsional tersebut mencakup Paket A (setara Sekolah Dasar), Paket B (setara Sekolah Menengah Pertama), dan Paket C (setara Sekolah Menengah Atas). Meski tersebar namun dampak dari banyaknya kelompok belajar ini dianggap belum efektif kerena belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat yang buta huruf.

Kebijakan yang ketiga adalah anggaran pendidikan. Komitmen pemerintah untuk menganggarkan pendidikan 20 persen dari total belanja APBD 2008 memperlihatkan trend yang menggembirakan; dari 23 kabupaten – kota di Sulawesi Selatan, hanya lima daerah yang menganggarkan kurang dari 20 persen. Beberapa daerah lain di menganggarkan di atas 20 sampai 30 persen bahkan rasio anggaran pendidikan Kabupaten Gowa terhadap total belanja APBD 2008 mencapai 39,1 persen. Karenanya sangat disayangkan jika anggaran pendidikan meningkat namun angka melek huruf justru menurun.

Masih banyak PR pemerintah daerah terkait dengan pendidikan. Masalah buta huruf hanyalah satu dari serangkaian masalah pendidikan kita yang sampai saat ini masih terus diupayakan perbaikannya dari pemerintah. Tentunya dibutuhkan partisipasi dari masyarakat untuk membantu program-program pendidikan pemerintah daerah sehingga tidak ada anggapan pendidikan Sulawesi Selatan jalan di tempat atau mundur teratur.

KEBIJAKAN KESEHATAN GRATIS KABUPATEN SIDRAP

Perkuat Kesehatan Gratis Dengan Armada Pelayanan Kesehatan*


Salah satu letak permasalahan untuk layanan kesehatan di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan yang terkenal dengan motto BERAS (Bersih, Elok, Rapi, Aman, Sopan) ini adalah distribusi sarana pelayanan kesehatan terutama di dusun yang jauh dari desa dan ibu kota kabupaten. Guna mengantisipasi permasalahan klasik, pemerintah kabupaten melalui Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Rumah Sakit Nene’ Mallomo dan Rumah Sakit Arifin Nu’mang membentuk Armada Pelayanan Kesehatan Gratis Plus.

Sebagaimana halnya dengan kabupaten lain di Sulawesi Selatan yang telah menerapkan kesehatan gratis, Sidrap yang pernah terkenal dengan Pola Kemitraan Agribisnis Beras-nya tersebut dalam dua tahun terakhir ini juga telah menggratiskan pelayanan kesehatan tingkat dasar baik di tingkat puskesmas maupun di rumah sakit.

Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan gratis, ada dua kelebihan yang ditonjolkan kabupaten ini. Pertama, pasien rawat inap ditempatkan di kelas II, bukan di kelas III seperti kebanyakan kabupaten lainnya. Dari 23 kabupaten-kota di Sulawesi Selatan (minus Toraja Utara), hanya dua kabupaten yang menempatkan pasien mereka di kelas II; Sidrap dan Sinjai. Layanan kelas II itu pula yang membuat Bupati Sidrap, H. Rusdi Masse memberikan nama ‘Kesehatan Gratis Plus’ untuk layanan kesehatan gratisnya. Layanan kesehatan gratis plus ini telah diberlakukan sejak 1 Januari 2009 dan diperkuat oleh Perda Nomor 2 Tahun 2009 setelah sebelumnya menerbitkan Peraturan Bupati Sidrap Nomor 68 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis.

Kabupaten Sidrap memiliki dua rumah sakit umum, yaitu Rumah Sakit Nene’ Mallomo dan Rumah Sakit Arifin Nu’mang. Rumah Sakit Nene’ Mallomo terletak di ibukota Kabupaten Sidrap yaitu Pangkajene. Sementara rumah sakit lainnya berada di Rappang yang berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari ibukota kabupaten. Kedua rumahsakit ini memberikan layanan kesehatan yang sama sehingga masyarakat dapat berobat di rumah sakit umum manapun di daerah ini.

Kelebihan kedua, membentuk armada pelayanan kesehatan. Armada ini dibentuk sejak Juni 2009. Adanya layanan kesehatan gratis dengan fasilitas rawat inap kelas II di rumah sakit umum daerah tidak membuat daerah ini menunggu datangnya pasien. Yang dilakukan justru sebaliknya. Puskesmas sebagai tempat pelayanan rawat jalan dan rawat inap tingkat pertama berinisiatif untuk terjun langsung ke dusun-dusun terpencil. Melalui Armada Pelayanan Kesehatan, dinas kesehatan dibantu tenaga medis dari puskesmas dan rumah sakit menyisir 13 dusun terpencil di berbagai kecamatan guna mencari warga yang membutuhkan layanan kesehatan.

Pembentukan armada pelayanan kesehatan ini didasari oleh pertimbangan bahwa masih banyak warga kabupaten yang jarang tersentuh oleh tangan medis. Wilayah Sidrap yang terdiri dari tanah datar, berbukit, bergunung, dan tanah rawa danau ini memiliki 11 kecamatan dan 105 desa/kelurahan. Secara geografis memang masih memungkinkan banyak masyarakat terutama di daerah berbukit dan bergunung yang jarang bahkan belum pernah mengecap layanan kesehatan. Di Kabupaten penghasil beras ini, hingga akhir tahun 2008 total puskesmas yang tersebar di berbagai kecamatan sebanyak 28 buah dan pustu sebanyak 39 buah.

Secara teknis tim armada pelayanan kesehatan terdiri dari dokter umum, dokter gigi, perawat, dan bidan. Dalam kasus tertentu di mana dibutuhkan pelayanan khusus maka Dinas Kesehatan tidak segan-segan mendatangkan dokter ahli. Hingga Januari 2010, beberapa dusun terpencil telah mendapatkan layanan ini, mulai dari Dusun Bukkere, Copposulureng, Pasangridi, Bolapetti, Wala-wala, Rantesiwa, Lariu, Lumparangnge, Lengke, Tanatoro, Lemo, hingga pesisir Danau Mojongdalam.

Yang patut dihargai adalah meski kebijakan ‘turun lapangan’ ini tidak dianggarkan secara khusus, namun semangat tim medis dan paramedis tidak luntur. Padahal untuk mencapai dusun terpencil ini, seringkali mereka harus berjalan kaki, bahkan tidak jarang naik turun bukit dan menyeberangi sungai. Seperti pada Dusun Bukkere. Untuk mencapai dusun ini, tim harus menggunakan motor trail atau motor lainnya yang sudah dimodifikasi. Dusun Bukkere yang terletak di Desa Cenrana Kecamatan Panca Lautang terletak di daerah perbukitan yang berjarak kurang lebih 3 jam perjalanan dari ibukota kecamatan. Jalan ke dusun ini hanya jalan setapak. Kondisi topografi perbukitan membuat perjalanan ke dusun Bukkere menjadi cukup melelahkan. Saat musim kemarau, kulit kepala akan terpanggang saat berada di puncak bukit. Jalan pun mesti ekstra hati-hati karena struktur bebatuan yang mudah goyah saat terinjak oleh ban motor. Lain halnya saat musim hujan. Untuk mencapai dusun ini di saat hujan sering turun, disarankan untuk berjalan kaki. Menggunakan kendaraan akan menjadi sangat berbahaya dan sangat sulit di tempuh mengingat jalan setapak menjadi sangat licin. Bahkan di beberapa titik perbukitan, jika tidak hati-hati, kendaraan dapat langsung mengarah ke jurang.

Sebelum tim turun, kepala dusun melalui kepala desa telah mendapatkan pemberitahuan dan jadwal kunjungan sehingga persiapan untuk mendata warga pun dilakukan jauh-jauh hari. Hal tersebut beralasan mengingat di siang hari dusun sebagian besar sunyi dikarenakan warga lebih sering berada di sawah atau ladang mereka. Pada saat tim melakukan pelayanan kesehatan di dusun sasaran, rumah kepala dusun yang biasanya dijadikan sebagai tempat pelayanan. Jangan membayangkan tempat periksa dokter yang nyaman, karena rata-rata mereka melakukan pemeriksaan di bawah kolong rumah, cukup satu kursi dan satu meja periksa dokter. Sementara obat-obatan di taruh di atas bale-bale tuan rumah.

Respons masyarakat terhadap armada pelayanan kesehatan sangat positif. Terbukti pada saat tim turun ke dusun-dusun, animo masyarakat untuk berobat sangat besar meski hanya sekedar cek kesehatan. Hal ini membuktikan kerinduan masyarakat terhadap kedatangan tim medis kesehatan di daerah mereka. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang warga yang sangat mengharapkan bukan hanya sekali dusun mereka dikunjungi melainkan secara teratur. “Selama ini hanya bidan desa yang sekali-kali datang” timpal salah satu warga Dusun Bukkere.

Tak dapat disangkal bahwa program semacam ini memang yang sangat dibutuhkan warga. Kepedulian pemerintah daerah dengan cara turun langsung ke wilayah sasaran adalah salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Dengan cara demikian bukan tidak mungkin ada temuan khusus yang bisa didapatkan. Seperti yang terjadi di Dusun Bukkere. Di dusun ini tak satupun jamban keluarga yang bisa ditemukan. Menurut istri kepala dusun, hal tersebut sudah berlangsung sejak dulu. Warga menjadi sangat terbiasa untuk membuang hajat di kebun dan tidak pernah terpikirkan untuk membuat jamban. Padahal secara ekonomi kehidupan warga di dusun tersebut yang rata-rata berprofesi sebagai pekebun itu masih jauh dari gambaran kemiskinan.

Kondisi inilah yang menjadi temuan Dinas Kesehatan. Dengan temuan tersebut, Dinas Kesehatan telah merancang sejumlah anggaran yang akan disiapkan untuk pembuatan jamban keluarga. Diharapkan dengan melibatkan swadaya masyarakat, dana stimulan yang akan dikucurkan dapat dimanfaatkan warga semaksimal mungkin. Yang perlu diupayakan adalah bagaimana merubah pola pikir masyarakat yang sudah terbiasa untuk membuang hajat di alam bebas.

Satu lagi yang ditemukan dengan turunnya tim armada pelayanan kesehatan ini adalah belum tingginya kesadaran warga untuk mengurus kartu kependudukan mereka. Pelayanan kesehatan memang mensyarakatkan warga untuk membawa KTP mereka sebagai bukti bahwa mereka adalah warga kabupaten yang berhak menikmati pelayanan kesehatan. Rupanya di beberapa tempat masih banyak warga yang belum memiliki KTP. Apakah dengan tidak adanya KTP lantas warga tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan dari tim medis ini? Pengalaman dari dusun ke dusun yang terus berulang terkait ketiadaan KTP membuat tim medis dan paramedis tetap memutuskan untuk melayani masyarakat tanpa perlu memandang ada atau tidak ada KTP. Untuk itu Dinas Kesehatan juga telah merencanakan akan menggandeng Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk melakukan pelayanan ‘jemput bola’ yang serupa untuk mendata masyarakat yang belum memiliki kartu kependudukan.


*) Mylaffayza. Peneliti the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) Makassar, Sulawesi Selatan. Peneliti dapat dihubungi di m_milawaty@yahoo.com

Sabtu, 13 Maret 2010

Menggali Rupiah di Getah Pinus Kab. Gowa

Latar Belakang Program

- Salah satu komoditas andalan Gowa dalam sektor kehutanan, yakni getah pinus
- Terdapat 15.126 ribu hektar hutan pinus di Gowa (6.050.400 pohon)
- Pelibatan masyarakat sekitar hutan diharapkan mampu memberikan pemerataan ekonomi
- Pohon pinus di Gowa termasuk jenis Pinus Merkusii


Pelaku dan Penerima Manfaat


a. Pelaku Program : Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa
b. Instansi yang terlibat : Bappeda
c. Penanggungjawab : Dinas Kehutanan
d. Pelaksana Program : PT. Adimitra Pinus Utama
e. Penerima manfaat program : Penyadap getah pinus
f. Penerima dampak positif adalah penyadap getah pinus


Waktu Pelaksanaan Program

Tahun 2006 sampai sekarang


Tempat Pelaksanaan Program


Lima Kecamatan dataran tinggi, yaitu Kecamatan Tombolo Pao, Tinggi Moncong, Parigi, Bungaya, dan Bonto Lempangan


Mekanisme

Awalnya pemkab Gowa membuka program Gerilyawan Hutan yang bertujuan untuk memberikan pekerjaan kepada para pengangguran di Gowa selain itu juga untuk menggugah minat masyarakat di sekitar hutan untuk ikut serta melakukan penyadapan. Tahun 2006 sampai 2008 telah direkrut sebanyak 600 pengangguran. Tapi ternyata mereka mengundurkan diri karena tidak tahan dengan cuaca dingin.

Masyarakat sekitar hutan pinus yang ternyata tahan sehingga akhirnya mereka lah yang kini menjadi ujung tombak penyadapan.

Hingga Februari 2010, terdapat 400-an orang tenaga kerja lokal yang menyebar di 5 kecamatan; Tombolo Pao, Tinggi Moncong, Parigi, Bungaya, dan Bonto Lempangan.

Pemda Gowa bekerja sama dengan PT. Adimitra dan PT. Inhutani untuk menyadap hutan pinus. Namun untuk saat ini, hanya PT. Adimitra yang melakukan penyadapan.

Sebelum melakukan penyadapan, masyarakat lokal diberikan pelatihan selama sebulan. Jumlah pelatih yang tersedia sebanyak 20 orang.

PT. Adimitra berdasarkan MoU tahun 2007 melakukan penyadapan di 5 kecamatan dengan luas seluas 11.996 Ha

Jumlah Produksi dan Pengiriman



Hasil dari penyadapan ini telah membuahkan ekspor. Tahun 2008, pemerintah telah melakukan ekspor ke Korsel sebanyak 16.507 Kg (16,5 ton) dan tahun 2009 ke India sebanyak 115.911 kg (115,9 ton). Pemkab juga menjual getah pinusnya ke Perum Perhutani sebanyak 64,9 ton (tahun 2007), 182 ton (khusus tahun 2009).

1 ha mencapai 400 pohon.
Getah pinus yang keluar dari satu bidang sadapan 15-40 gr/hari.
Satu pohon dapat disadap 6 bidang (90 – 240 gr/hari).
Satu penyadap dapat memanfaatkan 4 hektar (1600 pohon).
Untuk 3 jam kerja/hari, penyadap dapat menyadap 200 – 300 pohon (18 - 27 kg).
Untuk sebulan (30 hari kerja), jumlah getah pinus yang dapat dikumpulkan sebanyak 540 – 810 kg.
Harga getah pinus sebesar 1.700 kg (1 – 400 kg), Rp. 1.800 (450 – 600 kg), Rp. 1.900 (650 – 850 kg), Rp. 2.000 (900 – 1.050 kg), dan Rp. 2.050 (1.100 kg dst).
Dengan mengacu pada harga tersebut, maka pendapatan penyadap minimal sebesar Rp. 972.000 – 1.539.000/bulan.

Inovasi Pendidikan Kab. Gowa : Perkuatan Mutu Pendidikan Gratis

Latar Belakang Program

Pendidikan gratis di Kabupten Gowa dijadikan salah satu daerah percontohan di Sulawesi Selatan. Hal ini terbukti dari banyaknya penghargaan di bidang pendidikan yang telah diraih oleh Kabupaten ini, di tambah lagi dengan banyaknya daerah-daerah lain baik dalam lingkup Sulawesi Selatan maupun di propinsi lain yang datang mengunjungi Gowa untuk studi banding.

Ada beberapa terobosan yang telah dilakukan daerah ini sepanjang tahun 2009 :
1.Membentuk Satpol PP Pendidikan di semua jenjang pendidikan (SD – SMP – SMA)
2.Menindaklanjuti Perda Pendidikan Gratis dengan mengeluarkan Perda Wajib Belajar
3.Mengembangkan SPAS menjadi PAUD
4.Mengadopsi metode pembelajaran Finlandia dan Jepang
5.Membentuk Punggawa D’Emba Education Program (PDEB)


Pelaku & Pelaksana


a. Pelaku Program : Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa
b. Instansi yang terlibat : Kantor Satpol pamong Praja
c. Penanggungjawab :
d. Pelaksana Program : Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa
e. Penerima manfaat program : siswa sekolah
f. Penerima dampak positif adalah siswa sekolah


Waktu Pelaksanaan Program

Tahun 2006 sampai sekarang


Tempat Pelaksanaan Program

Kabupaten Gowa


Mekanisme

Adanya pendidikan gratis membuka kesempatan untuk semua anak usia sekolah. Dengan demikian SPAS kurang optimal. Untuk itu, Keberadaan SPAS dialihkan menjadi PAUD. Jumlah SPAS saat ini sebanyak 167 unit yang tersebar di 18 kecamatan di Gowa. SPAS dialihfungsikan jadi PAUD karena hampir sebagian besar murid SPAS sudah masuk sekolah formal setelah pendidikan gratis diberlakukan. Dengan peralihan tersebut, otomatis tutor SPAS menjadi tutor PAUD. Untuk itu telah diberikan pelatihan dengan mengikutsertakan 800 tutor yang terdiri dari 501 tutor SPAS di 18 kecamatan dan selebihnya dari pengelola desa dan kecamatan.

Setelah Perda Pendidikan Gratis, Pemkab Gowa berharap tidak ada lagi siswa yang tidak bersekolah dengan alasan tidak ada biaya. Untuk itu, dikeluarkanlah Perda selanjutnya, yaitu Perda Wajib Belajar (Perda No. 10 Tahun 2009). Pemerintah Kabupaten Gowa berharap tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak belajar di bangku sekolah. Jika masih ditemukan, maka orangtuanya yang akan disanksi. Dalam perda itu, orangtua yang sengaja tidak menyekolahkan anaknya akan diancam hukuman penjara enam bulan atau denda Rp 50 juta.

Namun demikian, untuk tahap pertama Pemkab Gowa masih akan melakukan sosialisasi sampai 2010 sebelum penerimaan siswa baru (PSB). Usai PSB tahun 2010, maka perda tersebut akan diberlakukan secara efektif. Untuk melancarkan pelaksanaan perda tersebut, dinas pendidikan akan membangun ruang kelas baru (RKB) dan atau unit sekolah baru (USB). Kebijakan ini dikeluarkan pemerintah setelah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar diberlakukan.

Satpol PP Pendidikan pertama kali dibentuk awal tahun 2009. Awalnya masih sebatas SD, namun kini semua jenjang pendidikan (SD – SMP – SMA) telah memiliki satpol pendidikan. Terdapat 130 satpol pendidikan untuk semua jenjang tersebut. Guru-guru yang memiliki rumah lebih dari 1,5 km akan mendapatkan fasilitas gratis antar-jemput. Tugas satpol tidak hanya itu, mereka juga melakukan razia anak sekolah yang berkeliaran di luar jam sekolah. Masyarakat dapat menghubungi 0811414222 atau 0811417240

Adopsi pembelajaran di Finlandia dan Jepang menggunakan metode di mana siswa masuk pada pukul 07.00. Kepala sekolah dan para guru diwajibkan hadir sebelum jamtersebut dan mereka menunggu kedatangan murid di gerbang. Selama lima belas menit siswa membaca dan saling berhadapan mendiskusikan hal tersebut. Saat pulang, satu siswa mempresentasikan apa yang didapatnya hari ini. Metode pembelajaran ini sudah diterapkan di semua sekolah. Dengan metode ini siswa memiliki keberanian untuk mengeluarkan pendapat di hadapan banyak orang dan juga mneghargai pendapat orang lain.

Punggawa D’Emba adalah program lokal di mana diterapkan di empat mata pelajaran (IPA, IPS, Inggris, indonesia) dan muatan lokal. Pada metode ini, setiap sekolah disiapkan satu ruangan khusus (cinema class). Ruangan ini digunakan oleh kelas IV, V, dan VI secara bergantian sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Di dalam ruangan, siswa akan menonton (audio visual) sambil belajar. Untuk muatan lokal, siswa dikenalkan dan diajarkan budaya dan adat istiadat khas suku Makassar kepada siswa. Contoh akkorongtigi, anggaru. Dengan metode ini metode menghafal sedikit demi sedikit akan dihilangkan dan mengacu pada pemahaman materi.

Ada 20 sekolah (8 SD, 6 SMP, dan 6 SMA) yang menerapkan PDEB ini. untuk kedua puluh sekolahtersebut, anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah sebesar 2 M yang keseluruhannya bersumber dari APBD II.

Penghargaan yang telah diterima Kab. Gowa dalam bidang pendidikan:
1. Satya Lencana Pendidikan Tahun 2007
2. Aksara Anugrah Pratama Tahun 2005
3. Aksara Anugrah Madya Tahun 2006
4. Aksara Anugrah Utama Tahun 2007

PAYUNG HUKUM :

1. Perda No. 4 Tahun 2008 Tentang Pendidikan Gratis
2. Peraturan Bupati Tentang Pelaksanaan Perda No. 4 Tahun 2008 Tentang Pendidikan Gratis
3. Perda Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Wajib Belajar

E-PROCUREMENT

Latar Belakang Program

Komitmen bupati untuk mewujudkan e-government for good governance (penggunaan teknologi informasi untuk melaksanakan urusan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat). Salah satu komitmen bupati adalah mewujudkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang efektif,efisien, transparan, non diskriminatif dan akuntable. Untuk mewujudkan komitmen tersebut maka dibentuklah e-procurement.

e-Procurement adalah salah satu bagian dari e-government di mana e-procurement ini merupakan proses pemililhan pengadaan barang jasa milik pemerintah dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dengan nilai pengadaan mulai dari Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Untuk wilayah Sulawesi, Pemkab Luwu Utara yang pertama melakukan e-Procurement. Bupati Luwu Utara, H.M. Luthfi A. Mutty mengatakan bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan menangkap para koruptor, akan tetapi sistem dalam pemerintahan harus mampu mencegah para aparatur untuk berbuat sesuatu yang menyalahi aturan. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat ini masih berada pada titik terendah. Melalui program ini juga, pemerintah daerah Luwu Utara mencoba mengembalikan citra pemerintah terhadap masyarakat yang sudah nyaris hilang.


Pelaku dan Penerima Dampak Positif

a. Pelaku Program : Sekretariat Layanan E-Procurement
b. Instansi yang terlibat : Seluruh SKPD, Unit Layanan Pengadaan (ULP) di bawah kendali Kabag Administrasi Pembangunan dan penyedia barang dan jasa
c. Penanggungjawab : Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, Kebudayaan dan Pariwisata
d. Pelaksana Program : Bidang Informatika Dinas Kominfobudpar
e. Rekanan : Pemkot Surabaya (Lisensi Software)
f. Penerima dampak Positif : Rekanan dan Pemda Luwu Utara (saling menguntungkan)


Waktu Pelaksanaan Program

Persiapan mulai dilakukan sejak tahun 2005 seiring dengan dimulainya persiapan e-Government. Setelah persiapan rampung, sosialisasi dan pelatihan bagi rekanan dilakukan pada pertengahan tahun 2008.


Tempat Pelaksanaan Program

e-Precurement berada di dalam kantor gabungan dinas, yaitu pada Sekretariat Layanan dan Unit Layanan Pengadaan (ULP)


Mekanisme

e-Precurement adalah siomet pengadaan barang/jasa pemerintah yang didalamnya termasuk program siometri berbasis web untuk memfasilitasi rangkaian proses pemilihan penyedia barang/jasa yang meliputi e-Tendering dan e-Selection.

e-Tendering adalah pelelangan umum dalam rangka pengadaan barang/jasa yang prosesnya dilakukan secara elektronik dengan menggunakan media elektronik berbasis web. e-Selection adalah seleksi umum dalam rangka pengadaan jasa konsultasi yang prosesnya dilakukan secara elektronik.

e-Procurement yang dilaksanakan di Luwu Utara pada dasarnya merupakan hasil penerapan studi banding di Surabaya dan di Banjar Baru. Hasil penerapan tersebut dituangkan dalam bentuk MoU antara Pemerintah Kota Surabaya dengan Pemerintah Kabupaten Luwu Utara tentang Pelaksanaan dan Pengembangan Implementasi Sistem e-Goverment. Ruang lingkup kesepakatan bersama adalah keseluruhan sistem e-Government yang meliputi sistem e-Budgeting, e-Project, e-Procurement, e-Contracting, e-Delivery, e-Controlling, e-performance, dan sistem lainnya.

e-Procurement dilakukan di Sekretariat Layanan dan Unit Layanan Pengadaan (ULP). Sekretariat Layanan e-Procurement adalah sekretariat yang menyediakan sarana dan prasarana penunjang pelaksanaan e-Procurement serta memantau kelengkapan persyaratan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa dari Unit Layanan Pengadaan ke portal e-Procurement yang berfungsi sebagai administrator Siomet.

Di Sekretariat Layanan terdapat 9 orang yang bertugas, di mana 3 orang diantaranya berada di ruang kendali (2 orang memantau jaringan dan 1 orang menjaga aplikasi), 5 orang lainnya berada di ruangan pengolahan data dan bertugas melayani Unit Layanan Pengadaan. 1 orang lainnya bertugas di ruang warnet untuk melayani rekanan yang mau belajar cara pelelangan.

ULP adalah satu unit yang terdiri dari pegawai-pegawai yang telah memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah, yang dibentuk oleh Bupati yang bertugas secara khusus untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa di lingkungan pemerintah Kabupaten Luwu. ULP terdiri dari penanggung jawab, koordinator utama, koordinator, dan gugus tugas pengadaan. Gugus tugas pengadaan bertugas melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa.

Regulasi tender internet tetap mengacu dan tidak bertentangan dengan Kepres pengadaan barang dan jasa serta UU informasi dan transaksi elektronik.

Mekanisme Program :

1. Dokumen Perusahaan

a. Sekretariat Layanan adalah tempat tujuan pertama kontraktor di mana kontraktor menyerahkan dokumen perusahaan untuk dimasukkan dalam database sistem. Di tempat ini kontraktor harus menyerahkan sendiri dokumen perusahaannya karena pada hari itu juga mereka akan diberikan IKP (Infrastruktur Kunci Publik) yang harus diterima sendiri oleh pemilik perusahaan (membawa Surat Kuasa jika diwakili oleh orang lain). Saat ini (hingga 16 Maret 2009) rekanan yang terdaftar dalam database sistem sebanyak 417 rekanan (kontraktor lokal yang memiliki izin usaha jasa konstruksi sebanyak 258 perusahaan dan yang terdaftar telah mencapai 80%). Limit waktu registrasi tidak dibatasi namun jika rekanan tidak mendaftarkan data perusahaannya maka mereka tidak bisa ikut lelang sampai menunggu lelang selanjutnya, dan itupun juga rekanan harus mendaftar ulang.

b. Setelah mereka menerima IKP, maka kontraktor sudah dapat melakukan penawaran via internet. Dengan kata lain, IKP adalah kunci bagi kontraktor untuk ikut dalam tender proyek melalui internet. Hingga saat ini (16 Maret 2009) jumlah rekanan yang mengambil IKP sebanyak 186 rekanan.

2. Dokumen Penawaran

a. Pemerintah Kabupaten Luwu Utara membuka pelelangan umum, yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas sekurang-kuragnya di satu surat kabar nasional dan/atau atau surat kabar propinsi serta melalui e-Procurement.

b. Gugus tugas pengadaan menyusun jadwal, menetapkan cara pelaksanaan, lokasi pengadaan, dan menyusun serta menyiapkan harga perkiraan sendiri (HPS)

c. Kontraktor yang telah terdaftar melakukan penawaran proyek via internet di website www.eproc.luwuutara.go.id. Tersedia 7 titik hotspot yang dapat digunakan kontraktor lokal untuk melakukan pendaftaran. Ketujuh titik hotspot tersebut meliputi Sabbang, Baebunta, Masamba, Kantor DPRD Luwu Utara, kompleks kantor bupati, Mappedeceng dan Bone-Bone. Untuk mempermudah hal itu, tim teknis Pemkab Luwu Utara yang berada di setiap titik siap membantu apabila ada rekanan yang masih kurang mengerti. Sistem e-Procurement ini tetap siaga selama 24 jam setiap hari (termasuk hari libur).

d. Kontraktor/ rekanan mengisi formulir isian kualifikasi dan penawaran melalui portal e-Procurement dan diprint kemudian ditandatangani dengan dibubuhi materai secukupnya. Formulir isian selanjutnya diserahkan kepada ULP. Singkatnya penawaran harga dilakukan melalui portal e-Procurement dan dalam bentuk cetak (hard copy) dengan melampirkan Formulir Isian Penilaian Kualifikasi (FIPK), Surat Pernyataan Minat untuk mengikuti pengadaan barang/jasa; Surat Pernyataan mengikuti proses lelang sampai akhir; dan Surat Penawaran Harga (SPH) yang ditandatangani dengan dibubuhi materai secukupnya serta diberi tanggal.

3. Tahap Penilaian


Tahap penilaian melalui sistem gugur, sistem nilai, dan/atau sistem penilaian biaya selama umur ekonomis

Sistem gugur === memeriksa dan membandingkan dokumen penawaran terhadap pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa dengan urutan proses evaluasi dimulai dari penilaian persyaratan administrasi, persyaratan teknis dan kewajaran harga melalui portal e-Procurement.

Sistem nilai === memberikan nilai angka tertentu pada setiap unsur yang dinilai berdasarkan kriteria dan nilai yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa serta pelaksanaannya. Nilai diinput pada portal e-Procurement untuk dilakukan penghitungan dan pembandingan secara otomatis oleh sistem e-Procurement.

Sistem penilaian biaya selama umur ekonomis === memberikan nilai pada unsur-unsur teknis dan harga yang dinilai menurut umur ekonomis barang yang ditawarkan berdasarkan kriteria dan nilai yang ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa melalui portal e-Procurement, kemudian nilai unsur-unsur tersebut dikonversikan ke dalam satuan mata uang tertentu, dan dibandingkan dengan jumlah nilai dari setiap penawaran peserta dengan penawaran peserta lainnya.

4. Pemenang tetap disampaikan melalui internet disertai dengan alasan kemenangan. Rekanan yang gagal juga diumumkan lengkap dengan penjelasan kegagalannya.

Guna menunjang ketersediaan informasi elektronik terkait dengan kebutuhan rujukan alat bukti, maka semua aktifitas perubahan data akan tersimpan dalam waktu 3 (tiga) tahun di portal e-Procurement.


DAFTAR INFRASTRUKTUR DAN BIAYA PEMBANGUNANNYA



(Sumber : Sekretariat Layanan e-Procurement : 2009)


KENDALA

1. Salah satu kendala yang dihadapi kontraktor lokal menghadapi tender on-line adalah belum siapnya SDM kontraktor lokal itu sendiri. Hal ini disebabkan banyak kontaktor lokal belum memahami mekanisme tender on-line. Menjawab hal itu, Dinas Komunikasi Informatika, Budaya dan Pariwisata Luwu Utara mulai Juni 2008 memberikan pelatihan terhadap kontraktor lokal selama beberapa kali hingga kontraktor benar-benar memahami sistem e-Procurement ini. Pelatihan tersebut berlangsung hingga Desember 2008.

2. Alat e-Procurement dari sisi teknis seringkali putus kontak dengan website Luwu Utara.

3. Kualitas SDM di Sekretariat Layanan, utamanya komputerisasi masih perlu ditingkatkan. Saat ini PNS yang bertitel sarjana komputer hanya 4 orang. Untuk mengatasinya, Sekretariat Layanan bekerja sama dengan lembaga (PT. Integra) dan orang pribadi yang memiliki sertifikasi bidang jaringan.


OUTPUT

1. e-Procurement jelas menghemat anggaran. Hal ini terlihat dari salahs atu paket yaitu paket pince pute dengan anggaran 1,1 m ternyata dimenangkan oleh kontraktor dengan nilai tawar 790 juta (penawar tertinggi). Ini berarti penghematan anggaran sebesar 300 juta (25%).

2. e-Procurement juga dapat menghilangkan kecurangan karena kontak antara Panitia SKPD dengan kontraktor tidak terjadi. Pengadaan barang dan jasa merupakan ’lahan basah’ untuk melakukan KKN. Kurangnya transparansi tender proyek sering dipandang sinis oleh masyarakat.

3. Pada Februari 2009 sudah terdapat tujuh paket proyek yang ditenderkan, dengan perincian sebagai berikut :

INOVASI KAB. PANGKEP : RUMAH UNTUK RAKYATKU

LATAR BELAKANG PROGRAM

Sampai era abad ke-21 ini, kemiskinan tetap menjadi persoalan utama yang menyita perhatian dunia. Tetap tingginya angka-angka kemiskinan telah menarik perhatian dan gerakan global. Konferensi tingkat tinggi dunia telah berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (world summit in social development) di Copenhagen pada tahun 1995. Salah satu persoalan yang dipandang perlu penanganan segera adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan sosial.

Di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, dari 280rb penduduk pada tahun 2006, 27rb diantaranya tergolong penduduk miskin. Rumah tangga yang masuk kategori miskin berdasarkan definisi yang digunakan oleh BPS dalam penyaluran BLT di Kab. Pangkep. Masalah penanggulangan kemiskinan telah menjadi agenda pembangunan daerah.

Kepedulian pemerintah daerah terhadap masalah kemiskinan diwujudkan dalam berbagai tindakan :
1. Pembentukan KUBE (Kelompok Usaha Bersama)
2. Bedah Rumah
3. Jaminan Sosial Lanjut Usia


PELAKSANA DAN PENANGGUNG JAWAB

a. Pelaku Program : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
b. Instansi yang terlibat : Dinas Pemukiman dan Kebersihan
c. Penanggungjawab : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Bupati
d. Pelaksana Program : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
e. Penerima manfaat Program : Masyarakat miskin
f. Penerima dampak Positif : Masyarakat miskin


WAKTU PELAKSANAAN PROGRAM

1. BLM mulai dilaksanakan sejak tahun 2006
2. Kube mulai dilaksanakan sejak tahun 2007
3. JSLU mulai silaksanakan sejak tahun 2007
4. Bedah RUmah mulai dilaksanakan sejak tahun 2006


MEKANISME

1. Bantuan Langsung Masyarakat


BLM merupakan pemberian modal kepada masyarakat dalam rangka percepatan pengentasan kemiskinan melalui pendekatan pemberdayaan. Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dilaksanakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) dengan PNPM-Mandiri Perdesaan dalam bentuk pembinaan dan pembiayaan bersama (sharing cost). BLM di Kab. Pangkep dilaksanakan pada tahun 2006. Awalnya PNPM bernama PPK kemudian berubah menjadi PNPM-PPK pada tahun 2007 dan akhirnya bernama PNPM-Mandiri-Pedesaan tahun 2008. Kerjasama antara PNPM-Mandiri dengan pemerintah daerah mencakup kesanggupan pemerintah kabupaten untuk:

a. Penyediaan dan pengelolaan komponen dana BLM Daerah di mana daerah menanggung maksimal sebesar 20% dari total BLM inti di Kabupaten
b. Penyediaan dan pengelolaan komponen pendukung berupa kegiatan-kegiatan pembinaan dan penguatan kapasitas serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan program di mana daerah menyediakan dana minimal 5% dari total BLM inti di Kabupaten

Komitmen Partisipasi Pemerintah Kabupaten Pangkep – PNPM-Mandiri-Perdesaan




BLM yang disalurkan adalah hibah sehingga tidak ada kewajiban bagi penerima bantuan untuk mengembalikan dana tersebut ke pemerintah. Namun prinsipnya dana yang telah diterima dikembalikan sebenarnya dikembalikan lagi 10 tahun kemudian dengan jangka waktu pengembalian selama 5 tahun. Dana dikembalikan melalui ketua pokmas di mana ketua pokmasang akan mengelola dana BLM karena dana BLM hanya diberikan sekali kepada masyarakat yang bersangkutan. Dalam proses pengembalian, masalah pemberian bunga berdasarkan kesepakatan anggota dan ketua kelompok, bahkan terkadang bunga tidak ditetapkan.

2. KUBE (Kelompok Usaha Bersama)

Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau keluarga binaan sosial yang dibentuk oleh warga atau keluarga binaan sosial yang telah dibina untuk melaksanakan kegiatan kesejahteraan sosial dan usaha ekonomi dalam semangat kebersamaan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.

Pembentukan KUBE dimulai dengan proses pembentukan kelompok sebagai hasil bimbingan sosial, pelatihan ketrampilan berusaha, bantuan stimulans dan pendampingan.

Tujuan KUBE diarahkan kepada upaya mempercepat penghapusan kemiskinan, melalui :
1. Peningkatan kemampuan berusaha para anggota KUBE secara bersama dalam kelompok
2. Peningkatan pendapatan
3. Pengembangan usaha
4. Peningkatan kepedulian dan kesetiakawanan sosial diantara para anggota KUBE dan dengan masyarakat sekitar.

Sasaran program adalah masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan dengan rincian sebagai berikut :
1. Keluarga Fakir Miskin yang dibina melalui Program Bantuan Kesejahteraan Sosial Fakir miskin
2. Kelompok Masyarakat Terasing yang dibina melalui Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing.
3. Para Penyandang Cacat yang dibina melalui Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat
4. Lanjut Usia yang dibina melalui Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia
5. Anak Terlantar yang dibina melalui Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar
6. Wanita Rawan Sosial Ekonomi yang dibina melalui Program Peningkatan Peranan Wanita di Bidang Kesejahteraan Sosial
7. Keluarga Muda Mandiri yang dibina melalui Program Pembinaan Keluarga Muda Mandiri
8. Remaja dan Pemuda yang dibina melalui Program Pembinaan Karang Taruna
9. Keluarga Miskin di Daerah Kumuh yang dibina melalui Program Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh (RSDK).

Nantinya, masyarakat miskin melalui Kube mengajukan proposal kepada pemerintah. Di dalam proposal itu dirinci bidang usaha apa yang akan mereka kelola, termasuk identitas para anggota yang tergabung dalam masing-masing kube.

Jika semua persyaratan terpenuhi, alokasi dana akan dikirim kepada masing-masing kube. Diharapkan alokasi dana ini bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan ekonominya. Mereka diberi kewenangan memilih sendiri bidang usaha yang bakal ditekuni. Sebagai contoh, dengan mendirikan industri kerajinan, usaha dagang ataupun bidang usaha lainnya. Setiap kelompok diberi modal sebesar 10-15 juta/kelompok di mana modal hanya sekali diserahkan dan pengembalian nanti melalui kepengurusan KUBE.

Secara fungsional pendampingan dilaksanakan oleh tenaga pendamping KUBE yang dibantu oleh infrastruktur kesejahteraan sosial di daerah seperti Karang Taruna (KT), Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), Organisasi Sosial (ORSOS) dan Panita Pemimpin Usaha Kesejahteraan Sosial (WPUKS).

Kepengurusan KUBE
1. Pada hakekatnya KUBE dibentuk dari, oleh dan untuk anggota kelompok
2. Pengurus KUBE dipilih dari anggota kelompok yang mau dan mampu mendukung pengembangan KUBE, memiliki kualitas seperti kesediaan mengabdi, rasa keterpanggilan, mampu mengorganisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan anggotanya, mempunyai keuletan, pengetahuan dan pengalaman yang cukup serta yang penting adalah merupakan hasil pilihan dari anggotanya

Keanggotaan KUBE

1. Anggota KUBE adalah sasaran program yang telah disiapkan. Jumlah anggota untuk setiap KUBE berkisar antara 5 sampai 10 orang / KK sesuai dengan jenis PMKS
2. Khusus untuk Pembinaan Masyarakat Terasing dan Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh pembentukan KUBE berdasarkan unit pemukiman sosial, artinya suatu unit pemukiman sosial adalah satu KUBE

Administrasi KUBE

1. Untuk dapat berjalan dan berkembangnya KUBE dengan baik, maka pengurus maupun pengelola KUBE perlu memiliki catatan atau administrasi yang baik, yang mengatur keanggotaan, organisasi, kegiatan, keuangan, pembukuan dan lain sebagainya
2. Catatan dan administrasi KUBE meliputi antara lain buku anggota, buku peraturan KUBE, pembukuan keuangan / pengelolaan hasil, daftar pengurus dan sebagainya

Daftar Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan Di kab. Pangkep melalui Pembentukan Kube







INOVASI DAERAH-DAERAH NOMINEE PADA OTONOMI AWARD 2009

SUKSES DI RAIH OLEH SINJAI, PANGKEP, MAKASAR, PAREPARE, DAN KEPULAUAN SELAYAR


Selain Kabupaten Sinjai yang berjaya meraih award, ada empat kabupaten kota lainnya yang juga turut merasakan manisnya menjadi nominee di kategori Pemberdayaan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan. Daerah-daerah tersebut secara berturut-turut adalah Kabupaten Pangkep, Kota Makassar, Kota Pare-Pare, dan Kabupaten Kepulauan Selayar.

Kabupaten Pangkep pada kategori ini mengusung program “Peduli Rakyat Miskin”. Jumlah rakyat miskin yang mencapai 27 ribu jiwa pada tahun 2006, membuat pemerintah Kabupaten Pangkep harus ekstra kerja keras untuk mengurangi jumlah rakyat miskinnya sehingga dibuatlah bedah rumah, pembentukan KUBE (Kelompok Usaha Bersama), Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), JSLU (Jaminan Sosial Lanjut Usia), dan pemberian modal bagi usaha-usaha kecil yang termarginalkan. Khusus untuk bedah rumah, hingga tahun 2006 jumlah rumah sangat kumuh dan reot yang telah dibedah sebanyak sebanyak 140 rumah. Bedah rumah ini didanai sepenuhnya oleh APBD. Survey publik membuktikan bahwa apa yang telah dilakukan pemerintah daerah Pangkep benar-benar sampai ke masyarakat sasaran. Terbukti kabupaten ini meraih nilai tertinggi untuk survey publik.

Kota Makassar yang menduduki urutan ketiga perolehan nilai tertinggi di kategori pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan juga mengusung program yang tidak berbeda jauh dengan Kabupaten Pangkep. Melalui program terpadu “Penanggulangan Kemiskinan Kota”, pemerintah Kota Makassar melibatkan beberapa unit kerja dengan leading sektor Badan Pemberdayaan Masyarakat. SKPD yang terkait dalam penanggulangan kemiskinan adalah Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Bappeda/Konsultan Manajemen Wilayah P2KP, Dinas Kelautan dan Ketahanan Pangan, BPS Kota Makassar, Kantor Catatan Sipil, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, Badan Keluarga Berencana, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Dinas Koperasi. Lembaga-lembaga yang terlibat adalah LPPM Universitas Hasanuddin, LSM Yapedra, LSM Dewan Sulawesi dan YP2KT Propinsi Sulawesi Selatan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain UEP, KUBE, rehabilitasi rumah sangat miskin, Askeskin, Jamkesmas, P2KP, program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, bantuan permodalan bagi usaha kecil, bimbingan teknis kepada pelaku usaha kecil, kartu kelahiran gratis bagi keluarga yang tidak mampu, penyediaan rusunawa, perbaikan lingkungan kumuh di perkotaan, pemberian stimulan perumahan keluarga berpenghasilan rendah, dan pendidikan gratis.

Selanjutnya yang menduduki peringkat keempat adalah Kota Pare-Pare yang lagi-lagi mengangkat kemiskinan sebagai program prioritas. Kemiskinan memang menjadi persoalan utama yang menyita perhatian dunia sehingga tidak mengherankan daerah-daerah harus memikirkan masalah tersebut dengan sangat serius. Masalah kemiskinan disikapi Kota Pare-Pare dengan membentuk ”Gerbang Taskin” di mana 25 keluarga miskin dikumpulkan di satu lokasi dan dibina secara penuh. Setelah keluarga miskin tersebut dianggap cukup mapan dan sudah bisa mandiri, maka warga penghuni Gerbang Taskin dikembalikan ke kelurahan masing-masing untuk melanjutkan aktivitas kehidupan secara normal dengan berbekal keterampilan dan kompentensi yang telah mereka peroleh selama pembinaan. Setelah lokasi Gerbang Taskin ditinggalkan oleh keluarga miskin sebelumnya, maka pemda kembali memerintahkan Lurah merekrut 25 keluarga yang paling miskin.

Nominasi terakhir diambil Kabupaten Kepulauan Selayar melalui program integrasi “Pemberdayaan Ekonomi Terpadu Masyarakat Mikro”. Berbeda dengan empat kabupaten di atas, kabupaten kepulauan ini justru mengangkat pemberdayaan ekonomi sebagai program unggulan. Program yang terintegrasi di atas, berangkat dari potensi kelautan dan perkebunan yang begitu besar. Dari segi kelautan, ikan-ikan di perairan Selayar umumnya berkualitas ekspor, seperti napoleon, kerapu, lobster, dan lainnya. Sedangkan dari segi perkebunan, komoditi andalan Selayar adalah kelapa, jambu mete, emping melinjo, dan kenari. Untuk itu pemberdayaan ekonomi diarahkan pada program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui bantuan peralatan, dan pembimbingan, perkuatan pemodalan, Bantuan Langsung Masyarakat - Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (BLM-PUAP), pembentukan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang mengucurkan dana pinjaman Seed Fund dan Lembaga Pengelolaan Sumber daya Terumbu Karang (LPSTK) yang mengucurkan dana Village Grant untuk pembangunan sarana dan prasarana umum.

Senin, 08 Maret 2010

INOVASI KABUPATEN SIDRAP

PERKUAT KESEHATAN GRATIS DENGAN ARMADA PELAYANAN KESEHATAN



Sidrap dengan motto BERAS (Bersih, Elok, Rapi, Aman, Sopan) akhir 2008 lalu usai mengikuti pilkada yang dimenangkan oleh pasangan H. Rusdi Masse – Ir. H. Dollah Mando. Visi misi 2008 – 2014 yang digandeng bupati dan wakil bupati pilihan rakyat ini yaitu mewujudkan Sidrap sebagai pusat agribisnis modern dan lima terbaik dalam pembangunan manusia di Sulawesi Selatan.

Langkah pertama yang dilakukan pasangan ini dalam peningkatan indeks pembangunan manusia adalah menelorkan perda pendidikan gratis plus dan kesehatan gratis plus. Dengan demikian sustainability program dapat terus berjalan meski kelak terjadi pergantian kepemimpinan.


Gaung dan manfaat pendidikan gratis plus telah sampai di dusun-dusun terpencil. Di sebut pendidikan gratis plus karena daerah ini menggratiskan pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga pendidikan lanjutan tingkat atas. Dengan demikian diharapkan pendidikan formal mulai dari tingkat terendah sampai tertinggi dapat dirasakan oleh semua anak usia sekolah.

Guna membantu siswa miskin, pemerintah daerah melalui sekolah juga membantu penyediaan perlengkapan sekolah seperti pakaian seragam, sepatu, bahkan sepeda sebagai sarana transportasi dari dan ke sekolah. Sepeda ini menjadi inventaris sekolah untuk mengefisiensikan anggaran.

Selain itu, pemerintah juga menggandeng World Bank melalui dana hibah untuk pembangunan dan pengembangan pendidikan anak usia dini (PAUD). Hingga dua tahun berjalan tercatat telah dibangun 100 PAUD di 50 desa dengan anggaran 90 juta per PAUD. Pendidikan gratis plus ini bahkan diperkuat dengan pengadaan tiga buah bus sekolah yang rutenya setiap pagi dan siang mengitari 8 kecamatan.

Salah satu letak permasalahan untuk layanan kesehatan adalah distribusi sarana pelayanan kesehatan terutama di dusun yang jauh dari desa dan ibu kota kabupaten. Kabupaten Sidrap mengantisipasi permasalahan klasik tersebut dengan membentuk Armada Pelayanan Kesehatan Gratis Plus.

Adanya layanan kesehatan gratis dengan fasilitas rawat inap kelas II di rumah sakit umum daerah tidak membuat daerah ini menunggu datangnya pasien. Yang dilakukan justru sebaliknya. Puskesmas sebagai tempat pelayanan rawat jalan dan rawat inap tingkat pertama berinisiatif untuk terjun langsung ke dusun-dusun terpencil. Melalui Armada Pelayanan Kesehatan, dinas kesehatan menyisir 13 dusun terpencil di berbagai kecamatan guna mencari warga yang membutuhkan layanan kesehatan.

Layanan kependudukan yang membebaskan biaya kepada masyarakat sudah banyak dijumpai di daerah-daerah lainnya. Termasuk dalam hal ini Kabupaten Sidrap yang telah menggratiskan empat item, KTP, KK, akte kelahiran, dan akte kematian. Program 4 gratis ini didukung oleh program SIAK dari pusat yang mampu mengeliminir KTP ganda.

Program yang merupakan turunan dari program pusat masih kerap ditemukan. Sebutlah program PNP-MP yang melahirkan Simpan Pinjam Perempuan dan penguatan partisipasi warga dalam pembangunan desa, seperti halnya pembangunan jalan tani, jalan desa, jembatan, atau embung. Meski demikian tak dapat dipungkiri program pusat semacam ini sangat membantu masyarakat karena mereka diikutsertakan bahkan diberi tanggung jawab dalam membangun desa.

Keterbukaan dalam melakukan segala kegiatan kepemerintahan adalah suatu hal mutlak dalam menciptakan good governance. Transparansi penyelenggaraan pemerintahan saat ini sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat diabaikan lagi. Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu ; (1) salah satu wujud pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, dan (2) upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).

Transparansi dapat berupa keterbukaan informasi, komunikasi, bahkan dalam hal budgeting. Transparansi pemerintah daerah Sidrap salah satunya diwujudkan dengan membentuk Unit Layanan Pengadaan (ULP). Transparansi ULP terlihat dari dilibatkannya Wakil Pengamat Masyarakat pada saat pembukaan penawaran dan penjelasan teknis.

Mensejahterakan masyarakat memang merupakan impian setiap kepala daerah dan perangkatnya. Namun jalan ke arah kesejahteraan membutuhkan proses yang panjang. Dibutuhkan perjuangan dan kerja keras sesuai dengan pepatah Bugis “resopa temmangingi namallomo pamasse ridewata” hanya perjuangan dan kerja keras yang terus menerus yang akan mendapatkan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa. (m_milawaty@yahoo.com)

INOVASI KABUPATEN BONE

Menyebut Arung Palakka, akan terbayang daerah Bone, sebuah kerajaan besar di Sulawesi Selatan yang pernah berjaya beberapa abad sebelumnya. Kini kerajaan Bone telah berganti wujud menjadi kabupaten. Kerajaan Bone yang dahulunya memiliki wilayah kekuasaan yang besar ‘mewariskan’ wilayahnya secara keseluruhan hanya ke satu kabupaten. “Warisan” seluas 4.559 hektar dengan 705.717 jiwa tersebut nampaknya menjadi tantangan besar bagi pemimpin Kabupaten Bone.

Memiliki potensi wilayah yang luas dengan jumlah penduduk yang besar terkadang menjadi suatu kekuatan bagi daerah. Namun jalan menuju hal tersebut masih membutuhkan waktu. Daftar prioritas pembangunan Bone masih terus berkutat di seputar masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia, tingginya persentase kemiskinan, rendahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya angka buta huruf, tingginya tingkat pengangguran, dan sederet masalah lainnya merupakan pekerjaan rumah bagi siapapun yang memimpin kabupaten ini.

Tapi masalah-masalah di atas bukan hanya dimiliki kabupaten ini. Masih banyak kabupaten lainnya yang memiliki persoalan yang sama yang memang dibutuhkan waktu, tenaga, dan materi yang tidak sedikit untuk memajukan daerah.

Di balik sederet permasalahan di atas, Bone yang dikenal dengan kabupaten “Beradat” ini sarat dengan nilai adat yang masih kental di berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Budaya “Beradat” ini dijadikan sebagai spirit, penggerak bagi masyarakat dan pemerintahan kabupaten Bone.

Adat yang masih hidup ditengah-tengah bone adalah “adat sipakatau-sipakaing-sipakalebbi”. Adat sipakatau-sipakainge-sipakalebbi adalah sebuah nilai yang hidup di masyarakat yang tidak gentar dan tidak goyang oleh kondisi. Artinya bahwa sebagai to’bone maka dimana dan kapanpun ia senantiasa terbawa dimana ia berada.

Sipakatau-sipakainge-sipakalebbi bermakna saling memanusiakan, menghormati / menghargai harkat dan martabat kemanusiaan seseorang berdasarkan posisi dan fungsi masing-masing, senantiasa berprilaku yang baik sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat, saling mengingatkan satu sama lain, menghargai nasehat, pendapat orang lain, serta menerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan.

Adat inilah yang rupanya dengan arif dikembangkan di kabupaten Bone. Untuk keluar dari berbagai macam persoalan di atas, satu kata kunci yang harus terlebih dahulu dihilangkan atau paling tidak diminimalkan; kemiskinan.

Keluar dari kemiskinan adalah usaha terberat dari kabupaten penghasil kepiting bakau ini. Kemiskinanlah yang menjerat seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat sehingga mutu pendidikan dan IPM menjadi rendah. Akibatnya angka pengangguran pun bertebaran karena kurang mampu bersaing.

Budaya sipakatau-sipakainge-sipakalebbi inilah yang turut mendorong kabupaten Bone menggandeng Unicef. Budaya to Bone terlihat kental pada dimensi pendidikan, utamanya di pendidikan anak usia dini melalui Paditungka. Penamaan ini berasal dari suku kata bahasa Bugis yaitu Pada Ditungka yang berarti sama-sama dipelihara.

Paditungka dibangun berdasarkan partisipasi masyarakat setelah sebelumnya disepakati melalui musyawarah bersama bentuk fisik bangunan. Fungsi Paditungka tidak hanya sekedar sarana belajar dan bermain anak prasekolah melainkan juga sebagai posyandu dan bina keluarga balita.

Sebelum Paditungka diluncurkan, program Manajemen Berbasis Sekolah (MSB) telah terlebih dahulu diterapkan. Meski demikian, keduanya sama-sama menciptakan pola pembelajaran yang menyenangkan melalui penciptaan media ruang yang ceria. Selama kurun waktu tujuh tahun sudah 115 sekolah dasar di 10 kecamatan yang menerapkan MBS ini. Paditungka dan MBS adalah salah satu tujuan pembangunan millennium (millennium development goals-MDGs) yang harus diwujudkan hingga 2015.

Tujuan pembangunan millennium lainnya adalah meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka kematian anak. Tahun 2005 dan 2006 adalah tahun-tahun buruk bagi ibu, terutama ibu hamil di Bone. Dalam dua tahun tersebut angka kematian ibu mencapai kisaran 13 orang dan kematian bayi 25 orang. Ini tentunya tidak terlepas dari jumlah persalinan yang dilakukan tenaga medis.

Berdasarkan profil kesehatan propinsi Sulawesi Selatan tahun 2006, terlihat bahwa perbandingan medis dan sanro dalam menangani persalinan berimbang. Hal ini tidak mengherankan mengingat jumlah bidan yang hanya 204 orang akan sulit memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal di 353 desa dan 19 kelurahan.

Hadirnya Unicef di Kecamatan Ponre dan Duaboccoe memberikan spirit baru bagi kesehatan ibu dan anak di kabupaten yang tahun lalu meraih penghargaan Adipura ini. Satu hal yang menarik, pada program kemitraan bidan dan sanro, sanro mengenakan seragam putih dengan pin tersemat di dada yang bertuliskan “Iya sanro sahabat”. Dengan program kemitraan bidan dan sanro, mobilisasi sosial, penguatan sistem logistik, dan penguatan P2KP di Rumah Sakit Umum Tenriawaru, tingkat kematian ibu dapat ditekan. Tahun 2008 tingkat kematian ibu menurun hingga 4 kematian, dan tahun 2009 mencapai 3 kematian.

Selain adat budaya yang kuat, potensi wisata alam Bone juga sangat besar. Salah satu sumber PAD terbesar di bidang pariwisata adalah wisata alam Tanjung Palette. Tanjung Palette disebut-sebut mirip dengan kawasan wisata di Bali. Pemkab Bone melalui Dinas Pariwisata memang tidak main-main dengan sumber PAD terbesarnya ini. Dengan anggaran 6,5 milyar, pengunjung dapat menikmati beragam fasilitas seperti kolam permandian bagi anak-anak dan dewasa, lapangan tenis, area outbond, anjungan, area memancing, penginapan dengan jumlah kamar 16 buah (standar, executive, deluxe), tempat bermain anak, rumah makan, ruang pertemuan, café mini, anjungan, dan tempat pertunjukan. Tanjung Pallette diharapkan mampu menjadi icon wisata alam Bone.

Selain potensi pariwisata, di sektor peternakan Kabupaten Bone merupakan daerah pemasok bibit terbaik sapi bali dan ternak potong terbesar di Sulawesi Selatan. Namun keunggulan tersebut juga berpotensi berkurangnya populasi ternak sapi di Bone. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dibangunlah Instalasi Pembibitan Rakyat (IPR) di Barebbo, gerakan optimalisasi sapi, dan pengembangan kebun Hijauan Makanan Ternak (HMT).

Dengan total bantuan sapi sekitar 1.210 ekor, masyarakat berhasil mengembangkan ternak bantuan tersebut hingga mencapai 1.600 ekor. Kotoran sapi pun telah dimanfaatkan masyarakat menjadi biogas. Bahkan beberapa unit biogas dibangun atas partisipasi dan dana dari masyarakat itu sendiri. Kebun HMT milik masyarakat yang dikembangkan pemkab pun telah mencapai 40 hektar berisi beragam hijauan yang bibitnya diambil dari Instalasi Pembibitan Rakyat. Dengan hijau makanan ini ternak tidak hanya mendapatkan makanan yang cukup tapi juga bergizi.

Guna memacu investasi di Kabupaten Bone, Bupati Bone H.A.M. Idris Galigo menekankan maksimalisasi pelayanan publik. Kemudahan berinvestasi ini ditunjukkan melalui Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) yang didalamnya mewadahi 27 jenis perizinan. Bagi Investor yang tidak punya cukup waktu untuk mengurus perizinannya, tim pelayanan jemput bola yang akan datang mengambil berkas sekaligus mengantarkan perizinan jika proses selesai.

Program-program inovatif di atas selayaknya dipertahankan bahkan ditingkatkan dalam rangka mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan demikian luas wilayah bukan lagi menjadi beban Kabupaten Bone.