Kamis, 17 Juni 2010

Kabupaten Pangkep Peraih Otonomi Award 2010 Kategori Pemerataan Ekonomi

Menadah Keuntungan dari Sawah Tadah Hujan



Kata pepatah, mempertahankan lebih sulit dibanding meraih, tidaklah selalu benar. Buktinya, Kabupaten Pangkep berhasil melakukan hal tersebut. Setelah meraih Otonomi Award (OA) 2009 lalu, tahun ini Pangkep kembali meraih tropi. Hebatnya lagi, Pangkep meraih tropi dua kali berturut-turut untuk kategori yang sama yakni kategori sebagai daerah dengan terobosan inovatif bidang pemerataan ekonomi. Terobosan apa saja yang dilakukan daerah yang terkenal dengan ikan bandengnya ini?

Laporan : A. Mattingaragau T, Peneliti FIPO

Tidak banyak daerah mampu meraih tropi OA dua kali beruntun untuk program dan indikator yang sama. Selain harus mempertahankan pencapaian, juga harus memperlihatkan kemajuan (proliferasi) yang telah dilakukan selama setahun. Proliferasi atau pengembangbiakan artinya program pada penilaian tahun berikutnya setidaknya mengalami progres atau perubahan ke arah perbaikan dan peningkatan mutu program. Inilah yang menjadi entry point penilaian the Fajar Institute of Pro-Otonomi (FIPO) bagi kabupaten/kota peraih OA 2009 lalu.

Syarat yang ditetapkan FIPO tersebut mampu diimplementasikan Pangkep yang dengan programnya, Miliaran Rupiah Sawah Tadah Hujan, kembali meraih tropi OA. Keberhasilan ini didasarkan pada kemajuan dan terobosan yang dicapai selama satu tahun penilaian yang menunjukkan tren peningkatan signifikan.

Berdasarkan penilaian akhir FIPO, Pangkep mampu meraih total nilai tertinggi dengan skor 670. Nilai tersebut merupakan gabungan dari tiga komponen penilaian yakni inovasi (493 poin), survei publik (140 poin), dan existing condition (37 poin). Raihan total nilai ini mengungguli empat daerah lainnya yang harus puas sebagai nominasi. Keempat daerah tersebut adalah Sinjai (652 poin), Gowa (620 poin), (615 point), dan Kepulauan Selayar (599 poin).

Sementara itu, hasil monitoring dan evaluasi (monev) FIPO menunjukkan bahwa kinerja program mengalami kemajuan melalui pengadaan sarana dan prasarana pertanian. Hal ini dapat dilihat dari terobosan yang dilakukan antara lain, mengatasi ketersediaan air untuk pertanian berupa pembangunan dan rehabilitasi saluran air/irigasi dengan anggaran Rp1,68 miliar, pembuatan saluran air perpipaan Rp5,44 miliar, pembuatan sumur bor Rp618,5 juta, dan pembuatan embung Rp99,8 juta.

Selain mengatasi masalah ketersediaan air juga ketersediaan alat mesin pertanian (alsintan). Pada 2009, pengadaan alsintan menelan anggaran Rp1,42 miliar yang terserap untuk pembelian hand tractor besar dan kecil sebanyak 10 unit, serta pompa air ukuran 8 inci sebanyak 10 unit dan pompa air ukuran 2 inci sebanyak 76 unit. Upaya lain yang dilakukan berupa pembuatan jembatan (tani) yang menelan anggaran Rp126 juta. Anggaran ini untuk membiayai jembatan tani yang berlokasi di Libureng Atas dan Kassi Panjang.

Guna memaksimalkan produksi padi, pemda juga memberikan bantuan benih padi unggul kepada petani. Bantuan ini dimaksudkan untuk menjamin kualitas jenis/varietas unggul yang dihasilkan agar mutu padi lebih baik dan produksinya meningkat.

Keseluruhan anggaran yang digunakan dalam pelaksanaan program sebesar Rp9,4 miliar. Pengeluaran ini tidaklah sia-sia dan hasilnya pun menggembirakan. Jika sebelumnya masa tanam hanya satu hingga dua kali setahun, kini mampu berproduksi lima kali dalam dua tahun. Dengan memanfaatkan lahan pertanian seluas 22.410 hektar, produksi padi di Pangkep mengalami peningkatan di atas lima persen pada 2008 dan 2009. Pada 2008, produksi padi mencapai 27 ton atau meningkat 21,23 persen. Peningkatan ini merupakan lonjakan terbesar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bahkan jika dilihat dari capaian produksi sawah tadah hujan, peningkatan ini terbilang spektakuler hingga melampaui 100 persen.

Atas berbagai kebijakan pemda dalam mengatasi permasalah tersebut, maka sejak 2008 petani di Kecamatan Pangkajene, Minasa Tene, Bungoro, dan Labakkang sudah dapat menggarap sawahnya sesaat setelah pasca panen karena ketersediaan pasokan air terjamin.

Selain pengadaan sarana pertanian, program ini juga didampingi konsultan sehingga berjalan sesuai harapan. Konsultan inilah bertindak sebagai advokasi petani dan pengarah program. Jadi kendala yang dialami selama ini setidaknya dapat diatasi secara bertahap. Hasilnya pun dirasakan petani yang tersebar pada 8 dari 12 kecamatan berupa peningkatan nilai tambah produksi padi.

Keberhasilan Pemkab Pangkep meningkatkan produksi padi tidak hanya tertumpu pada jaminan ketersediaan air, pengadaan alsintan, dan pemberian bibit belaka, tetapi juga menjaga kualitas tanah dengan pupuk organik seperti jerami. Bahan ini banyak tersedia terutama pasca panen. Jerami ini umumnya dibakar dan dimanfaatkan sebagai pupuk kompos.

Melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Pangkep yang bekerjasama dengan Prima Tani Kabupaten Pangkep melakukan pembuatan pupuk kompos jerami. Alat pengolah jerami disiapkan oleh Dinas Pertanian, sedangkan teknologi pembuatan kompos dan cara aplikasinya difasilitasi oleh Tim Prima Tani. Alat pengolah jerami/pencacah ini telah diberikan kepada beberapa ketua gapoktan.

Penerapan metode ini lambat laun dapat memperbaiki unsur hara tanah sehingga produksi padi dapat berkesinambungan. Jadi petani yang tadinya tidak mengolah sawahnya karena faktor unsur hara, kini tetap mengolahnya setiap selesai musim panen.
Atas berbagai upaya dan terobosan ini, petani yang tersebar di Pangkep mendapatkan nilai tambah dari kesinambungan dan peningkatan produksi padi sehingga berdampak juga pada peningkatan pendapatan mereka secara merata. (andimattingaragau@yahoo.com)

MENGGALI NILAI KECERDASAN LOKAL DI PUNGGAWA D’ EMBA



Trophy Otonomi Award dari The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) untuk kategori Daerah dengan Profil Menonjol pada Layanan Pendidikan direbut Kabupaten Gowa. Kabupaten ini berhak membawa pulang award untuk kategori Layanan Pendidikan. Bagaimana sepak terjang kabupaten yang terkenal dengan Kota Bunga Malino-nya tersebut sehingga mampu menyisihkan kabupaten-kabupaten lain yang memiliki inovasi pendidikan yang tidak kalah cerdasnya? Berikut laporan Milawaty dari FIPO.

Tidak mudah untuk meraih penghargaan ini. Kabupaten Gowa pun tak serta-merta dengan enteng meraih anugerah utama tersebut. Kabupaten yang hanya berjarak 15 km dari ibu kota provinsi Sulawesi Selatan itu harus berpeluh-peluh melakukan terobosan dan inovasi pendidikan. Dalam perjalanan menuju prestasi tertinggi itu, Gowa dengan programnya “Perkuatan Kualitas Pendidikan Gratis” harus bersaing keras dengan empat kabupaten lainnya yang juga masuk dalam nominasi ini, yaitu Pangkep dengan “Penguatan Pendidikan Gratis”, Luwu Timur dengan program unggulan “Pendidikan Gratis Berkualitas”, Sinjai dengan “Membangun Kecerdasan dengan Perpustakaan Plus”, dan Luwu Utara dengan “Program Pengembangan Kecerdasan Lokal”.

Banyak yang perlu ditinjau dalam memutuskan kemenangan daerah, seperti inovasi, survey inovasi dan survey publik. Selain itu ada pula existing data seperti pendidikan langsung non gaji terhadap total belanja APBD, pendidikan langsung non gaji terhadap jumlah murid, total anggaran pendidikan terhadap total belanja APBD, anggaran pendidikan per penduduk, jumlah guru per jumlah murid, jumlah sekolah per jumlah desa, tingkatan pendidikan, kenaikan/penurunan angka buta huruf, dan indeks pendidikan.

Keunggulan kabupaten dengan jargon Ewako Gowa ini terletak pada nilai inovasi program yang menempati peringkat tertinggi. Meskipun dari sisi survey publik yang melibatkan 10 kelompok masyarakat justru menempatkan Luwu Timur di posisi terdepan dan dari data-data pendidikan menobatkan Kepulauan Selayar di tempat teratas, namun total keseluruhan penilaian (inovasi, survey publik, dan eksisting data) yang pada akhirnya menghantarkan daerah tetangga Makassar ini sebagai pemenang (selengkapnya lihat grafis).

Salah satu alasan mengapa nilai inovasi program Penguatan Kapasitas Pendidikan Gratis ini melampaui perolehan nilai daerah-daerah lain adalah program pendidikan yang dikemas secara lokal. Salah satunya adalah Punggawa D’ Emba (Punggawa D’ Emba Education Program). Program ini diakui mampu menstimulus daya nalar dan daya kritis siswa sekaligus menghilangkan kecanggungan mereka dalam mengungkapkan dan menjelaskan apa yang telah dipelajari di depan kelas. PDEB juga menggali nilai kecerdasan lokal dengan belajar memahami makna Akkorongtigi atau Anggaru.

Keberadaan Perda Wajib Belajar yang merupakan lanjutan Perda Pendidikan Gratis adalah terobosan lainnya. Dalam perda tersebut, orangtua yang sengaja tidak menyekolahkan anaknya akan diancam hukuman penjara enam bulan atau denda Rp 50 juta. Ada pula adopsi metode pembelajaran Jepang dan Finlandia yang mewajibkan siswa mempelajari satu topik tertentu dan menjelaskan pokok pikiran topik tersebut di hadapan siswa lainnya.

Nilai lebih pendidikan di kabupaten ini juga diungkapkan oleh Muhammad Hatta, pemerhati pendidikan dan ketua LSM “Baruga Cipta” Gowa yang selama ini vokal menyuarakan kinerja pemerintah daerah. Menurutnya, pendidikan gratis gowa memiliki beberapa nilai tambah dibanding pendidikan gratis propinsi. Pertama¸ pembebasan pembiayaan dari SD sampai SMA. Kedua, ada beberapa unsur biaya khusus pendidikan gratis yang dimasukkan dalam APBD, seperti seragam, sepatu sampai transport khusus untuk siswa miskin. Ketiga, perekrutan pamong praja yang bertugas menjemput para guru yang lokasi rumahnya jauh dari sekolah tempat mereka mengajar. Di beberapa daerah terpencil, masyarakat setempat yang diberdayakan menjadi pamong praja. Keempat, program lokal seperti Punggawa D’ Emba terbukti efektif menarik minat belajar siswa. Kelima, sanksi tegas berupa mutasi guru yang terbukti melakukan penarikan pembayaran ke siswa.

Yang patut diperbaiki, lanjutnya, adalah pengawasan dan transparansi pengelolaan anggaran di sekolah. Selain itu gebrakan Dewan Pendidikan Gowa masih belum terdengar meski pemerintah daerah sudah bekerja dengan baik. (m_milawaty@yahoo.com)

MENUJU KOTA SEHAT melalui GERAKAN SAYANG IBU


Libatkan Semua Agen Perubahan*



Sejak diadakan Konferensi Safe Motherhood di Nairobi, Februari 1987, masalah kematian ibu yang berkaitan dengan kehamilan menjadi persoalan global. Hal ini disebabkan salah satu indikator utama yang membedakan suatu negara digolongkan sebagai negara maju atau negara berkembang dapat dilihat dari rata-rata Mother Mortality Rate (MMR). Rata-rata MMR negara maju 20 kematian per 100.000 kelahiran. Sedangkan di negara berkembang 440 kematian ibu per 100.000 kelahiran.

Sementara itu dalam buku UNDP, Human Development Report edisi 1996 tercantum AKI di seluruh dunia 307 per 100.000 kelahiran, yakni 28 untuk negara-negara industri dan 384 untuk negara-negara sedang berkembang. Variasinya besar sekali, dari 0 di Luksemburg dan Malta sampai lebih dari 1.500-100.000 kelahiran di Bhutan, Afghanistan, dan Sierra Leone. Lantas di mana posisi Indonesia?

Di buku itu AKI Indonesia diperkirakan 650 per 100.000. Perkiraan resmi di Indonesia lebih rendah, 425 per 100.000 kelahiran. AKI 425 orang itu termasuk tinggi, paling tinggi di ASEAN. Vietnam mempunyai AKI 120, Malaysia 59, dan Singapura 10. Bahkan menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada tahun 2002 kematian ibu melahirkan masih mencapai 307 per 100.000 kelahiran. Angka 307 ini berarti 31 kali kematian ibu di Singapura, 5 kali dari Malaysia, dan 2,5 kali dari Vietnam.

Pembahasan khusus tentang angka kematian ibu di kawasan Asia Tenggara pada 8 – 11 September 2008 lalu di New Delhi India juga menempatkan Indonesia sebagai salah satu penyumbang terbesar kematian ibu dan anak di kawasan Asia Tenggara. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung. Sebanyak 98 persen dari seluruh kematian ibu dan anak tersebar di India, Bangladesh, Indonesia , Nepal dan Myanmar.

Padahal tak terbilang usaha untuk menurunkan angka kematian ibu hamil maternal di Indonesia. Diantaranya dengan Program Safe Motherhood pada tahun 1988, Gerakan Sayang Ibu pada tahun 1996, serta Gerakan Nasional Kehamilan yang Aman atau Making Pregnancy Saver (MPS).

Kematian ibu maternal dan bayi memang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan warganya. Merubah paradigma masyarakat yang masih menggantungkan persalinan ke dukun menjadi salah satu hal tersulit. Budaya “sudah biasa” yang selama ini melekat menyebabkan ibu hamil merasa lebih nyaman dan aman menyerahkan proses persalinan mereka ke tangan dukun. Oleh karena itu dibutuhkan pihak ketiga sebagai agen perubahan.

Faktor lainnya adalah terbatasnya akses terhadap pelayanan persalinan. Hal ini diperparah oleh lemahnya posisi perempuan di lingkungan masyarakat, khususnya di pedesaan, dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kesehatan reproduksinya. Di banyak daerah perempuan sulit memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya dan bayi yang dikandung. Jadi, saat mengalami perdarahan atau komplikasi saat kehamilan, suami atau tetua adat yang memutuskan kapan dan di mana ia akan dirawat.

Selain itu banyak ibu hamil terlambat mencapai sarana kesehatan lantaran tempat tinggalnya jauh dari tempat pelayanan persalinan. Penyebab lain adalah banyak rumah sakit di daerah yang tidak memiliki pelayanan transfusi darah sehingga kesulitan mengatasi masalah perdarahan dan komplikasi persalinan.

Dari sekian banyak kendala di atas, lantas apakah tidak ada daerah yang telah berhasil menekan laju kematian ibu selama ini? Tentu ada. Berjarak 390 km dari ibukota Sulawesi Selatan, Kecamatan Wara Utara Kota Palopo berhasil merubah paradigma masyarakat. Lebih jauh lagi, kecamatan tersebut sedikit demi sedikit mampu merubah kelemahan menjadi kekuatan.

Adalah Ansir Ismu, Camat Wara Utara Kota Palopo yang berusaha menekan laju kematian warganya. Tak dapat di sangkal Kota Palopo menjadi salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang tingkat kematian ibu maternal mengalami lonjakan dari 17 menjadi 25 orang di tahun 2007. Tak ingin warganya turut menjadi korban, Ansir Ismu yang sejak tahun 2008 menjabat sebagai Camat Wara Utara mulai mengerahkan segenap upayanya. Penjabaran program GSI di Wara Utara disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan wilayah, kreatifitas, inovasi dan karya yang melibatkan semua komponen masyarakat.

Pada tahun 2008 penguatan GSI di kecamatan ini makin diperbesar. Layaknya sebuah organisasi, agen perubahan Wara Utara juga memiliki struktur. Di tingkat kecamatan dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Sayang Ibu yang diketuai oleh camat. Di tingkat desa/kelurahan dibentuk Satgas Sayang Ibu, diketuai kepala desa/ketua umum LKMD dengan dua ketua pelaksana, sekretaris, dan anggota-anggota. Tugas pokok mereka adalah menghimpun data tentang ibu hamil dan bersalin, memberikan penyuluhan, dan mengumpulkan dana untuk ambulans desa serta tabungan ibu bersalin.

Salah satu hal yang menarik, di Wara Utara, para ketua satgas GSI dan pengurus inti di semua kelurahan di dominasi kaum bapak yang berarti adanya pelibatan kaum lelaki dalam gerakan ini. Keterlibatan mereka tentunya diharapkan berujung pada kepedulian kepada kaum ibu.

Agen perubahan lainnya adalah dukun (sanro). Sebanyak dua sanro di Wara Utara pun dirangkul dan dilibatkan dalam proses persalinan bayi. Dukun tidak dilihat sebagai
kompetitor, tetapi dijadikan mitra bidan.

Langkah-langkah berikutnya adalah satgas GSI bekerja sama dengan pelatih senam untuk melatih ibu-ibu hamil. Tujuannya tidak lain agar kesehatan ibu hamil dapat terus terjaga dan terpantau oleh satgas. Satgas GSI juga membentuk kelompok keluarga sadar hukum GSI yang anggota-anggotanya terdiri dari kelompok dasawisma, karang taruna, remaja mesjid, dan remaja gereja. Selain itu partisipasi warga dalam GSI juga ditingkatkan melalui pembentukan Pondok Sayang Ibu yang dapat digunakan oleh ibu hamil yang waktu melahirkannya sudah dekat sementara jarak rumahnya jauh dari pusat pelayanan kesehatan.

Beberapa upaya lainnya adalah membuat kerjasama MoU antara satgas GSI dengan beberapa pelaku bisnis guna mendukung GSI. Salah satu point kerjasama tersebut adalah pengusaha dengan biaya sendiri memasang brosur himbauan dan spanduk GSI di tempat-tempat yang mudah terlihat oleh para pelanggan. Bahkan, Stasiun Pengisian Bahan bakar untuk Umum (SPBU) yang berada di Kecamatan Wara Utara juga tidak luput dari pengamatan satgas GSI. Di tempat ini satgas menyediakan kotak amal GSI yang diletakkan di lokasi strategis yang memudahkan pengendara melihatnya.

Komunikasi Informasi Masyarakat (KIM) juga diberdayakan oleh satgas sebagai alat sosialisasi sekaligus alat informasi GSI dengan cara membuat buletin, kliping, berdiskusi, dan memberikan informasi. Selain itu satgas juga membentuk ojek dan becak GSI untuk mengantar ibu hamil. Tak cukup hanya ojek dan becak, warga setiap kelurahan pun dengan sukarela menyiapkan kendaraan untuk ibu hamil sekaligus menjadi donor darah siaga.

Tak berhenti sampai di situ, Ansir Ismu juga bekerja sama dengan Kepala KUA dan Ketua forum LPMK Wara Utara membentuk program triangle lovely (kasih sayang 3 sisi) yaitu pelaminan menuju GSI. Pada program ini, setiap pasang pengantin yang memiliki tingkat perekonomian yang memadai akan diminta partisipasinya membantu program GSI. Jumlah nominal tergantung kerelaan sang calon pengantin.

Dunia pendidikan juga disasar oleh Camat yang sebelumnya juga pernah menjadi orang nomor satu Kecamatan Wara. Dinas Pendidikan pun merespon. Pemahaman dini GSI di sekolah-sekolah, terutama di sekolah dasar mulai diperkenalkan. Peran serta sekolah, terutama sekolah dasar, dalam mendukung program GSI terlihat nyata karena mulai dari pintu masuk, tembok sekolah, hingga pintu kelas terpasang spanduk dan pamflet GSI. Kerjasama tersebut juga terlihat dari kesediaan para guru menjelaskan program GSI kepada murid sebelum pelajaran di mulai. Bahkan beberapa guru dengan antusiame menciptakan mars GSI :

………………………………………..
Kami putra dan putri Palopo
Sayang ibu menjadi tekadku
Walau apapun jadi tantangan
Sayang ibu takkan luntur
………………………………………...



Dengan beragam kreatifitas di Kecamatan Wara Utara di atas, lantas di mana partisipasi Pemerintah Kota Palopo sendiri? Kecamatan Wara Utara tentu saja tidak bergerak sendiri. Guna mendukung GSI ini, Walikota Palopo H.P.A. Tenriadjeng dan jajaran pejabat kota lainnya turun tangan dengan melakukan siaran langsung menyebarkan informasi GSI di beberapa radio swasta lokal. Bahkan, pemerintah kota berhasil melakukan kerjasama dengan tiga sekolah tinggi ilmu kesehatan dan perguruan tinggi dalam upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat di bidang kesehatan. Tidak hanya itu, pemerintah kota juga memperkuat regulasi kesehatan melalui terbitnya Perda Kota Sehat yang merupakan perda kota sehat pertama di Indonesia.

Kerjasama harmonis antar pemerintah kota, pemerintah kecamatan, agen perubahan, dan masyarakat tidak sia-sia. Terbukti angka kematian ibu dapat ditekan secara drastis. Dari 25 orang angka kematian ibu di tahun 2007, kota yang berpenduduk 141.996 jiwa ini berhasil menekan kematian ibu menjadi 4 jiwa di tahun 2008 dan akhirnya zero percent di tahun 2009. Tepatlah kata pepatah Bugis “Iya Ada Iya Gau” yang berarti Satu Kata Satu Perbuatan. GSI di Palopo bukan hanya pada ucapan tapi juga pada perbuatan.

*)Mylaffayzza. Peneliti the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) Makassar, Sulawesi Selatan. Alamat email m_milawaty@yahoo.com

PENGENTASAN BUTA HURUF JALAN DI TEMPAT ATAU MUNDUR TERATUR?

Buta huruf bukan sekadar tidak mampu membaca dan menulis, melainkan berpotensi menimbulkan serangkaian dampak yang sangat luas. Kemampuan membaca dan menulis merupakan alat penting untuk memberantas kemiskinan. Tak mengherankan jika kemampuan itu termasuk dalam indikator pendidikan pada indeks pembangunan manusia atau Human Development Index United Nations Development Programme (UNDP). Indeks tersebut mengukur kemajuan pendidikan berdasarkan kemampuan membaca dan menulis atau literasi.


Tahun 2009 adalah target Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menurunkan angka buta huruf hingga mencapai lima persen. Untuk menggolkan target tersebut, para pelaku pendidikan berlomba-lomba berupaya meningkatkan sumber daya pendidikan. Bagaimana pencapaian target Depdiknas tersebut selama tahun 2006 dan 2007 lalu di 23 kabupaten-kota dalam lingkup Sulawesi Selatan?

Dalam kurun waktu dua tahun tersebut, nampak bahwa usaha pemerintah daerah untuk menurunkan angka buta huruf tidak selalu berhasil di semua daerah. Secara nasional, Sulawesi Selatan bahkan masuk dalam kategori daerah dengan angka buta huruf yang masih tinggi. Hal tersebut didukung data temuan FIPO, di antara 23 kabupaten – kota se Sulawesi Selatan, delapan diantaranya belum berhasil menurunkan angka buta huruf. Yang terjadi malah sebaliknya; angka buta huruf mengalami kelonjakan dari tahun 2006 ke 2007. Tentunya kelonjakan itu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya buta huruf baru, putus sekolah formal yang buta huruf kembali, dan hasil garapan pemberantasan buta huruf yang tidak tuntas dan hanya menyebut secara kualitas saja.

Delapan daerah yang terdeteksi meningkat rasio buta huruf penduduk untuk usia 10 tahun ke atas dari tahun 2006 ke 2007 adalah Kabupaten Jeneponto, Sinjai, Bone, Bulukumba, Pinrang, Barru, Bantaeng, dan Takalar. Dari kedelapan kabupaten tersebut, Kabupaten Jeneponto yang menunjukkan peningkatan rasio angka buta huruf yang signifikan dalam kurun waktu setahun (dari 24,26 persen meningkat hingga 30,91 persen), diikuti oleh Kabupaten Sinjai yang meningkat dari 13,56 persen menjadi 17,15 persen. Penurunan angka buta huruf yang patut diacungkan jempol adalah Kota Palopo yang mampu menurunkan angka buta hurufnya 50 persen dari tahun sebelumnya.

Untuk angka buta huruf itu sendiri, pada akhir tahun 2007 angka buta huruf tertinggi diraih oleh Kabupaten Jeneponto sebesar 30,91 persen, disusul berturut-turut oleh Kabupaten Bantaeng 24,09 persen, Kabupaten Bulukumba 20.51 persen, dan Kabupaten Takalar 20,4 persen.

Target penurunan angka buta huruf hingga mencapai lima persen nampaknya masih terlampau jauh bagi Sulawesi Selatan. Hal ini ditunjukkan hingga 31 Desember 2007, baru lima daerah yang angka buta hurufnya tersisa di bawah 10 persen, yaitu Kota Palopo, Makassar, Parepare, Luwu Timur, dan Luwu Utara. Dari lima daerah tersebut, Kota Makassar, Palopo, dan Parepare yang mampu mencapai target penurunan angka buta huruf hingga di bawah lima persen. Luwu Timur dan Luwu Utara kemungkinan besar akan mampu mencapai target tersebut mengingat pendidikan gratis yang telah diterapkan kedua daerah yang masih tergolong muda tersebut.

Masih tingginya angka buta huruf di Sulawesi Selatan tentunya meninggalkan tanya yang mendalam. Ada apa dengan pendidikan Sulawesi Selatan yang selama beberapa tahun terakhir ini telah menerapkan beragam kebijakan pendidikan? Pendidikan gratis, pembentukan kelompok belajar atau yang lebih dikenal dengan Keaksaraaan Fungsional, dan rasio anggaran pendidikan terhadap total belanja APBD adalah tiga dari sekian rangkaian kebijakan Pemerintah Sulawesi Selatan.

Pendidikan gratis telah diterapkan beberapa kabupaten – kota jauh sebelum pendidikan gratis tahun 2008 lalu digaungkan. Pendidikan gratis selayaknya mampu mendongkrak angka melek huruf karena kemiskinan yang menjadi faktor tingginya angka putus sekolah bukan lagi menjadi alasan seiring dengan adanya kebijakan pendidikan gratis ini. Anak yang paling miskin pun kini dapat bersekolah.

Beberapa daerah memfasilitasi keluarga miskin dengan armada bus sekolah seperti yang dilakukan Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Luwu Timur, dan Makassar. Ada pula kabupaten yang memberikan uang transport seperti yang dapat dilihat di Kota Parepare sebesar Rp. 3.000 per hari per siswa, atau kabupaten yang menyediakan asrama anak sekolah sebagaimana yang dilakukan Kabupaten Pangkep dan Kepulauan Selayar.

Upaya-upaya pemerintah daerah tersebut sangat positif. Sayangnya, jika melihat kenyataan yang ada, pendidikan gratis dan semua fasilitas pendukungnya nampaknya belum menjadi sarana yang paling efektif untuk memotivasi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Sanksi bagi orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya barangkali dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyadarkan orang tua betapa pentingnya pendidikan; tidak hanya sekedar anak tahu baca-tulis tapi lebih dari itu, kehidupan yang lebih baik dapat dibangun melalui pendidikan yang lebih baik. Buruknya pendidikan menghasilkan kemiskinan. Sanksi inilah yang telah diuji coba oleh Kabupaten Gowa dan Luwu Timur. Bagaimana sanksi itu memberi efek jera bagi orang tua? Waktu yang akan membuktikan.

Kebijakan yang kedua adalah Keaksaraan Fungsional. Hingga tahun 2008 jumlah Keaksaraan Fungsional yang berada di Sulawesi Selatan telah mencapai ribuan dan tersebar di 23 kabupaten - kota. Keaksaraan Fungsional tersebut mencakup Paket A (setara Sekolah Dasar), Paket B (setara Sekolah Menengah Pertama), dan Paket C (setara Sekolah Menengah Atas). Meski tersebar namun dampak dari banyaknya kelompok belajar ini dianggap belum efektif kerena belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat yang buta huruf.

Kebijakan yang ketiga adalah anggaran pendidikan. Komitmen pemerintah untuk menganggarkan pendidikan 20 persen dari total belanja APBD 2008 memperlihatkan trend yang menggembirakan; dari 23 kabupaten – kota di Sulawesi Selatan, hanya lima daerah yang menganggarkan kurang dari 20 persen. Beberapa daerah lain di menganggarkan di atas 20 sampai 30 persen bahkan rasio anggaran pendidikan Kabupaten Gowa terhadap total belanja APBD 2008 mencapai 39,1 persen. Karenanya sangat disayangkan jika anggaran pendidikan meningkat namun angka melek huruf justru menurun.

Masih banyak PR pemerintah daerah terkait dengan pendidikan. Masalah buta huruf hanyalah satu dari serangkaian masalah pendidikan kita yang sampai saat ini masih terus diupayakan perbaikannya dari pemerintah. Tentunya dibutuhkan partisipasi dari masyarakat untuk membantu program-program pendidikan pemerintah daerah sehingga tidak ada anggapan pendidikan Sulawesi Selatan jalan di tempat atau mundur teratur.

KEBIJAKAN KESEHATAN GRATIS KABUPATEN SIDRAP

Perkuat Kesehatan Gratis Dengan Armada Pelayanan Kesehatan*


Salah satu letak permasalahan untuk layanan kesehatan di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan yang terkenal dengan motto BERAS (Bersih, Elok, Rapi, Aman, Sopan) ini adalah distribusi sarana pelayanan kesehatan terutama di dusun yang jauh dari desa dan ibu kota kabupaten. Guna mengantisipasi permasalahan klasik, pemerintah kabupaten melalui Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Rumah Sakit Nene’ Mallomo dan Rumah Sakit Arifin Nu’mang membentuk Armada Pelayanan Kesehatan Gratis Plus.

Sebagaimana halnya dengan kabupaten lain di Sulawesi Selatan yang telah menerapkan kesehatan gratis, Sidrap yang pernah terkenal dengan Pola Kemitraan Agribisnis Beras-nya tersebut dalam dua tahun terakhir ini juga telah menggratiskan pelayanan kesehatan tingkat dasar baik di tingkat puskesmas maupun di rumah sakit.

Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan gratis, ada dua kelebihan yang ditonjolkan kabupaten ini. Pertama, pasien rawat inap ditempatkan di kelas II, bukan di kelas III seperti kebanyakan kabupaten lainnya. Dari 23 kabupaten-kota di Sulawesi Selatan (minus Toraja Utara), hanya dua kabupaten yang menempatkan pasien mereka di kelas II; Sidrap dan Sinjai. Layanan kelas II itu pula yang membuat Bupati Sidrap, H. Rusdi Masse memberikan nama ‘Kesehatan Gratis Plus’ untuk layanan kesehatan gratisnya. Layanan kesehatan gratis plus ini telah diberlakukan sejak 1 Januari 2009 dan diperkuat oleh Perda Nomor 2 Tahun 2009 setelah sebelumnya menerbitkan Peraturan Bupati Sidrap Nomor 68 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis.

Kabupaten Sidrap memiliki dua rumah sakit umum, yaitu Rumah Sakit Nene’ Mallomo dan Rumah Sakit Arifin Nu’mang. Rumah Sakit Nene’ Mallomo terletak di ibukota Kabupaten Sidrap yaitu Pangkajene. Sementara rumah sakit lainnya berada di Rappang yang berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari ibukota kabupaten. Kedua rumahsakit ini memberikan layanan kesehatan yang sama sehingga masyarakat dapat berobat di rumah sakit umum manapun di daerah ini.

Kelebihan kedua, membentuk armada pelayanan kesehatan. Armada ini dibentuk sejak Juni 2009. Adanya layanan kesehatan gratis dengan fasilitas rawat inap kelas II di rumah sakit umum daerah tidak membuat daerah ini menunggu datangnya pasien. Yang dilakukan justru sebaliknya. Puskesmas sebagai tempat pelayanan rawat jalan dan rawat inap tingkat pertama berinisiatif untuk terjun langsung ke dusun-dusun terpencil. Melalui Armada Pelayanan Kesehatan, dinas kesehatan dibantu tenaga medis dari puskesmas dan rumah sakit menyisir 13 dusun terpencil di berbagai kecamatan guna mencari warga yang membutuhkan layanan kesehatan.

Pembentukan armada pelayanan kesehatan ini didasari oleh pertimbangan bahwa masih banyak warga kabupaten yang jarang tersentuh oleh tangan medis. Wilayah Sidrap yang terdiri dari tanah datar, berbukit, bergunung, dan tanah rawa danau ini memiliki 11 kecamatan dan 105 desa/kelurahan. Secara geografis memang masih memungkinkan banyak masyarakat terutama di daerah berbukit dan bergunung yang jarang bahkan belum pernah mengecap layanan kesehatan. Di Kabupaten penghasil beras ini, hingga akhir tahun 2008 total puskesmas yang tersebar di berbagai kecamatan sebanyak 28 buah dan pustu sebanyak 39 buah.

Secara teknis tim armada pelayanan kesehatan terdiri dari dokter umum, dokter gigi, perawat, dan bidan. Dalam kasus tertentu di mana dibutuhkan pelayanan khusus maka Dinas Kesehatan tidak segan-segan mendatangkan dokter ahli. Hingga Januari 2010, beberapa dusun terpencil telah mendapatkan layanan ini, mulai dari Dusun Bukkere, Copposulureng, Pasangridi, Bolapetti, Wala-wala, Rantesiwa, Lariu, Lumparangnge, Lengke, Tanatoro, Lemo, hingga pesisir Danau Mojongdalam.

Yang patut dihargai adalah meski kebijakan ‘turun lapangan’ ini tidak dianggarkan secara khusus, namun semangat tim medis dan paramedis tidak luntur. Padahal untuk mencapai dusun terpencil ini, seringkali mereka harus berjalan kaki, bahkan tidak jarang naik turun bukit dan menyeberangi sungai. Seperti pada Dusun Bukkere. Untuk mencapai dusun ini, tim harus menggunakan motor trail atau motor lainnya yang sudah dimodifikasi. Dusun Bukkere yang terletak di Desa Cenrana Kecamatan Panca Lautang terletak di daerah perbukitan yang berjarak kurang lebih 3 jam perjalanan dari ibukota kecamatan. Jalan ke dusun ini hanya jalan setapak. Kondisi topografi perbukitan membuat perjalanan ke dusun Bukkere menjadi cukup melelahkan. Saat musim kemarau, kulit kepala akan terpanggang saat berada di puncak bukit. Jalan pun mesti ekstra hati-hati karena struktur bebatuan yang mudah goyah saat terinjak oleh ban motor. Lain halnya saat musim hujan. Untuk mencapai dusun ini di saat hujan sering turun, disarankan untuk berjalan kaki. Menggunakan kendaraan akan menjadi sangat berbahaya dan sangat sulit di tempuh mengingat jalan setapak menjadi sangat licin. Bahkan di beberapa titik perbukitan, jika tidak hati-hati, kendaraan dapat langsung mengarah ke jurang.

Sebelum tim turun, kepala dusun melalui kepala desa telah mendapatkan pemberitahuan dan jadwal kunjungan sehingga persiapan untuk mendata warga pun dilakukan jauh-jauh hari. Hal tersebut beralasan mengingat di siang hari dusun sebagian besar sunyi dikarenakan warga lebih sering berada di sawah atau ladang mereka. Pada saat tim melakukan pelayanan kesehatan di dusun sasaran, rumah kepala dusun yang biasanya dijadikan sebagai tempat pelayanan. Jangan membayangkan tempat periksa dokter yang nyaman, karena rata-rata mereka melakukan pemeriksaan di bawah kolong rumah, cukup satu kursi dan satu meja periksa dokter. Sementara obat-obatan di taruh di atas bale-bale tuan rumah.

Respons masyarakat terhadap armada pelayanan kesehatan sangat positif. Terbukti pada saat tim turun ke dusun-dusun, animo masyarakat untuk berobat sangat besar meski hanya sekedar cek kesehatan. Hal ini membuktikan kerinduan masyarakat terhadap kedatangan tim medis kesehatan di daerah mereka. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang warga yang sangat mengharapkan bukan hanya sekali dusun mereka dikunjungi melainkan secara teratur. “Selama ini hanya bidan desa yang sekali-kali datang” timpal salah satu warga Dusun Bukkere.

Tak dapat disangkal bahwa program semacam ini memang yang sangat dibutuhkan warga. Kepedulian pemerintah daerah dengan cara turun langsung ke wilayah sasaran adalah salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Dengan cara demikian bukan tidak mungkin ada temuan khusus yang bisa didapatkan. Seperti yang terjadi di Dusun Bukkere. Di dusun ini tak satupun jamban keluarga yang bisa ditemukan. Menurut istri kepala dusun, hal tersebut sudah berlangsung sejak dulu. Warga menjadi sangat terbiasa untuk membuang hajat di kebun dan tidak pernah terpikirkan untuk membuat jamban. Padahal secara ekonomi kehidupan warga di dusun tersebut yang rata-rata berprofesi sebagai pekebun itu masih jauh dari gambaran kemiskinan.

Kondisi inilah yang menjadi temuan Dinas Kesehatan. Dengan temuan tersebut, Dinas Kesehatan telah merancang sejumlah anggaran yang akan disiapkan untuk pembuatan jamban keluarga. Diharapkan dengan melibatkan swadaya masyarakat, dana stimulan yang akan dikucurkan dapat dimanfaatkan warga semaksimal mungkin. Yang perlu diupayakan adalah bagaimana merubah pola pikir masyarakat yang sudah terbiasa untuk membuang hajat di alam bebas.

Satu lagi yang ditemukan dengan turunnya tim armada pelayanan kesehatan ini adalah belum tingginya kesadaran warga untuk mengurus kartu kependudukan mereka. Pelayanan kesehatan memang mensyarakatkan warga untuk membawa KTP mereka sebagai bukti bahwa mereka adalah warga kabupaten yang berhak menikmati pelayanan kesehatan. Rupanya di beberapa tempat masih banyak warga yang belum memiliki KTP. Apakah dengan tidak adanya KTP lantas warga tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan dari tim medis ini? Pengalaman dari dusun ke dusun yang terus berulang terkait ketiadaan KTP membuat tim medis dan paramedis tetap memutuskan untuk melayani masyarakat tanpa perlu memandang ada atau tidak ada KTP. Untuk itu Dinas Kesehatan juga telah merencanakan akan menggandeng Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk melakukan pelayanan ‘jemput bola’ yang serupa untuk mendata masyarakat yang belum memiliki kartu kependudukan.


*) Mylaffayza. Peneliti the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) Makassar, Sulawesi Selatan. Peneliti dapat dihubungi di m_milawaty@yahoo.com