Kamis, 16 September 2010

MENITIP ASA DI NEGERI ANGING MAMMIRI



Oleh :

MILAWATY (Peneliti FIPO)


Laju pertumbuhan Sulsel sepanjang tahun 2000-2008 sebesar 1,16, menduduki posisi ke tujuh terendah dari 33 propinsi di Indonesia (www.docstoc.com). Selain itu, menilik standar ideal WHO sebesar 96 jiwa per hektar, maka nampaknya ranah Sulsel masih terbuka lebar bagi pendatang-pendatang baru (terkecuali Makassar dan Parepare yang sudah kelebihan populasi).

Dengan jumlah penduduk yang masih underestimated tersebut, seharusnya banyak hal yang mampu diselesaikan pemerintah daerah, salah satunya kesempatan kerja. Potret ketenagakerjaan akan memberikan gambaran searah dengan potret kesejahteraan lainnya.
Krisis perekonomian dunia yang terjadi sejak 2008 lalu mengakibatkan perlambatan sektor ekonomi. Untungnya gelombang krisis tersebut tidak sehebat yang diperkirakan bakal melanda Indonesia seperti 1997 lalu. Perekonomian negeri ini tetap tumbuh meski tidak setinggi sebelumnya. Hal yang sama berlaku pada tingkat kesempatan kerja.

Selama kurun waktu 2007 dan 2008, tingkat kesempatan kerja 23 kabupaten-kota di Sulsel menurut kacamata penelitian FIPO menunjukkan peningkatan di hampir seluruh kabupaten-kota. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi kabupaten-kota yang mengalami pertumbuhan hingga 2,8 persen. Lima kabupaten/kota teratas yang mengalami peningkatan kesempatan kerja adalah Palopo, Makassar, Parepare, Soppeng, dan Gowa. Peningkatan ini memberi angin segar dan menandakan masih tersimpan asa bagi para pencari kerja di berbagai daerah.

Penelitian FIPO juga menunjukkan tingkat kesempatan kerja berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran terbuka. Jika tingkat kesempatan kerja meningkat maka tingkat pengangguran terbuka menurun. Demikian pula sebaliknya. Data Statistik Indonesia mendefinisikan pengangguran terbuka sebagai bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja maupun yang sudah pernah bekerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha; mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan mereka yang sedang mencari pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.

Di antara 23 kabupaten-kota di Sulsel, tercatat Kota Makassar yang paling berhasil menurunkan tingkat pengangguran terbukanya sebesar 0.35. Turunnya tingkat pengangguran terbuka ini dipicu oleh banyaknya proyek-proyek pembangunan yang ‘berhamburan’ seantero kota dengan nilai investasi Penanaman Modal Dalam Negeri mencapai tidak kurang Rp1,367triliun sepanjang 2007-2008, ditambah lagi Penanaman Modal Asing sekira $227,9juta. Demikian pula Kota "Sawerigading" Palopo dengan geliat pertumbuhan Rp500miliar selama tiga tahun terakhir memunculkan puluhan ruko dan kompleks perumahan yang menjadi ciri khas kota modern.

Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 untuk tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,1 persen nampaknya bukan soal mudah bagi seluruh kabupaten-kota di Sulsel. Hingga akhir tahun 2008, yang berpeluang mencapai target nasional adalah Sinjai (5,18 persen) disusul berturut-turut Luwu Utara (5,20 persen), dan Toraja (5,39 persen). Beberapa daerah lainnya masih memiliki persentase di atas lima.

Turunnya tingkat pengangguran rupanya saling terkait dengan meningkatnya kredit baik kredit umum maupun kredit UKM. Hal ini terlihat dari hasil penelitian FIPO yang mendapati korelasi negatif antara pemberian kredit dan tingkat pengangguran di hampir seluruh kabupaten-kota. Korelasi tersebut bermakna meningkatnya pemberian kredit berdampak terhadap menurunnya tingkat pengangguran. Bila kredit perbankan menurun, kegiatan bisnis sudah dapat dipastikan juga menurun. Akibatnya, ekspansi bisnis terhenti. Bahkan, tak sedikit yang menghentikan perluasan usaha dan mengurangi kegiatan usaha. Pada gilirannya, penciptaan lapangan kerja baru akan berkurang, sementara ledakan angkatan kerja baru tetap besar.

Meningkatnya pemberian kredit pun berdampak terhadap meningkatnya daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat di seluruh kabupaten/kota sepanjang tahun 2007 ke 2008 memperlihatkan trend menguat, terutama di Makassar dan Luwu Utara (tidak terlepas dari tingginya pertumbuhan ekonomi di kedua daerah tersebut yang menduduki peringkat pertama dan kedua di tahun 2008). Asumsinya, jika daya beli masyarakat meningkat maka rumah tangga produksi menaikkan kapasitas produksinya, karena peningkatan daya beli masyarakat akan menaikkan permintaan terhadap produk yang dihasilkannya. Peningkatan kapasitas produksi dapat mengakibatkan peningkatan permintaan kredit investasi oleh rumah tangga produksi.

Turunnya tingkat pengangguran juga sedikit banyaknya mempengaruhi persentase kemiskinan suatu daerah. Di belahan dunia manapun, berlaku hukum ekonomi yang sama, semakin banyak orang menganggur maka semakin banyak orang yang berada dalam tingkat kemiskinan. Demikian pula sebaliknya. Makassar, Takalar, Gowa, Parepare, Wajo, Bantaeng, Maros, Sidrap, Jeneponto, Sinjai, Bulukumba, Bone, Selayar, dan Pangkep adalah daerah-daerah yang mampu merubah kantong kemiskinan seiring dengan berkurangnya tingkat pengangguran terbuka di daerah mereka. Bahkan Makassar, Sidrap, dan Parepare telah mampu mencapai target penurunan kemiskinan yang termaktub dalam RPJMN 2004-2009. Martin Luther King [1960] telah mengingatkan, "you are as strong as the weakest of the people" Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin.

Pada prinsipnya semua negara menghadapi masalah pengangguran, tidak terkecuali negara-negara yang tergolong maju. Hanya saja, negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia menghadapi masalah pengangguran yang lebih serius karena menimbulkan dampak yang luas terhadap masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan antar penduduk. Dengan demikian, sebagaimana disampaikan oleh Soemitro (1994:207), penanggulangan pengangguran menjadi sesuatu yang mendesak dan akut dalam pembangunan ekonomi. Kita berharap jangan sampai kejadian tahun 2002 dan 2003 lalu terulang; Sulawesi Selatan menyandang posisi propinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi. (m_milawaty@yahoo.com)

TAK SEBATAS DUDUK DI SINGGASANA

Pesta demokrasi kepala daerah telah usai. 23 Juni 2010 lalu, 10 Kabupaten di Sulawesi Selatan melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara serentak. Enam diantaranya incumbent, seperti Gowa, Bulukumba, Luwu Utara, Luwu Timur, Selayar, dan Soppeng. Hasilnya pun telah diketahui publik, Dari hasil pemilukada tersebut, pengaruh incumbent ternyata masih sangat kuat, dan ini terbukti hanya satu dari mereka yang lengser.

Banyak pelajaran menarik yang dapat disimak dari pertarungan para elite politik daerah tersebut. Kemenangan demi kemenangan yang diraih beberapa incumbent menyisakan tanya keberhasilan pembangunan apa saja yang telah dilaksanakan oleh para petinggi daerah tersebut sehingga rakyat masih menggantungkan asa dan harapan di pundak mereka di lima tahun berikutnya?

Melalui tulisan ini FIPO mencoba membaca peta keberhasilan para incumbent dari sudut pandang penelitian yang telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir. Dari tulisan ini juga tergambar bahwa Kepala daerah tidak semata duduk di singgasana, melainkan turun gunung, dan tidak jarang berbaur dengan masyarakat desa.

Luwu Timur
Secara kasat mata, pertumbuhan ekonomi di Bumi Batara Guru selama lima tahun terakhir memang sangat mencolok. Perbaikan infrastruktur yang dimulai dari desa menuju kota menjadi salah satu prioritas utama. Dana ekonomi kabupaten yang mulai berdiri sendiri sebagai kabupaten baru di tahun 2003 itu ini pun mengalami peningkatan tertinggi dari tahun anggaran 2008 ke 2009 sehingga instansi terkait mampu memuluskan seluruh jalan desa dan jalan tani. Bahkan di tahun 2009, anggaran ekonomi terhadap total belanja APBD sebanyak 30% menjadi anggaran ekonomi tertinggi se-Sulsel. Dengan anggaran sebesar itu, setiap desa mampu mencicipi dana ekonomi sebesar Rp2,5 miliar atau Rp1,1 juta per jiwa.

Dunia pendidikan pun tidak dikecualikan. Dengan mengusung Tiga Pilar Pembangunan Pendidikan, kabupaten ini berhasil masuk dalam lima besar tingkat kelulusan siswa SMP-SMA untuk tahun ajaran 2008, 2009, dan 2010. Rasio pendidikan langsung non gaji pun dialokasikan sebesar 12,1% terhadap total belanja APBD. Ini menjadi rasio pendidikan langsung non gaji tertinggi di jejeran daerah lainnya di Sulawesi selatan. Alokasi anggaran per siswa pun rata-rata sebesar Rp1 juta di tahun anggaran 2009.

Bidang layanan kesehatan dan pengelolaan lingkungan hidup pun digenjot melalui berbagai upaya dan sasaran. Tak heran dalam survey publik yang digelar FIPO di awal tahun 2010 lalu yang melibatkan 23.000 responden, kabupaten ini direspon paling positif untuk kinerja pemerintah daerah pada kategori pertumbuhan ekonomi, layanan pendidikan, layanan kesehatan, serta pengelolaan lingkungan hidup.

Soppeng
Kabupaten kecil ini ternyata menyimpan potensi tersendiri. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi kabupaten ini berdampak pada peningkatan kesempatan kerja yang terbesar di antara daerah-daerah pemilukada lainnya di Sulawesi Selatan. Ini berarti peluang kerja masih terbuka lebar bagi para pengangguran di daerah ini. Dan memang, tidak dapat dipungkiri, sepanjang tahun 2008 tingkat pengangguran terbuka berhasil turun sebesar 3,65%.

Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dibarengi pengurangan tingkat pengangguran terbuka berdampak terhadap meningkatnya jumlah tabungan dan menguatnya daya beli masyarakat. Di antara dua daerah di ajang pemilukada, Soppeng menjadi daerah yang mengalami peningkatan jumlah tabungan terbesar.

Gowa
Meski kabupaten ini menjadi daerah penyangga ibukota Sulawesi Selatan, mayoritas masyarakatnya masih hidup di pedesaan. Tak heran, pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal dan pengentasan kemiskinan masih menjadi program unggulan kabupaten ini. Melalui Program Pengentasan Kemiskinan Terpadu yang salah satu kegiatannya adalah membangun perkampungan orang miskin, kabupaten ini mendapatkan apresiasi positif dari warga penerima manfaat program.

Di bidang layanan pendidikan, kabupaten ini juga berjaya mengembangkan sejumlah program-program unggulannya, seperti Punggawa D’ Emba Education Program, adopsi metode pembelajaran Jepang dan Finlandia, peluncuran Perda Wajib Belajar, pengangkatan pamong praja pendidikan, serta mengembangkan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) yang kemudian menjadi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) percontohan di Indonesia.

Kepulauan Selayar
Daerah yang berjuluk Bumi Tana’ Doang ini meninggalkan kepingan-kepingan keberhasilan selama beberapa tahun terakhir ini. Di bidang pendidikan, untuk tahun anggaran 2009, hanya dua kabupaten/kota yang mampu mengalokasikan belanja langsung lebih besar dibanding belanja tidak langsung. Kabupaten kepulauan ini salah satunya. Bahkan di tahun 2009, alokasi belanja langsung ditingkatkan menjadi 55%. Meski dari segi total anggaran pendidikan, anggaran kabupaten ini paling kecil di antara 23 kabupaten/kota lainnya, nyatanya pemerintah daerah tidak surut langkah untuk mengeluarkan anggaran demi pendidikan terbaik putra-putrinya.

Bidang layanan administrasi kependudukan dan akuntabilitas publik juga menjadi kisah manis lainnya. Layanan jemput bola yang serba gratis mulai dari pendaftaran hingga pengantaran ke rumah warga membuahkan persepsi positif warga pada saat survey inovasi digelar. Demikian juga akuntabilitas publik yang dilakukan pemerintah daerah dalam bentuk Metode Manual Praktis yang mencoba mengajak rakyat duduk bersama mengkaji kebijakan publik pemerintah daerah.

Di bidang pengelolaan lingkungan hidup, kabupaten yang sejak 2009 resmi berubah menjadi kabupaten kepulauan ini mampu memenuhi anggaran ideal lingkungan hidup sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Dengan anggaran 3,8 persen terhadap total belanja APBD 2009, Selayar mampu mengalokasikan pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup sebesar Rp153 ribu per penduduk. Anggaran per penduduk ini menjadi anggaran tertinggi di antara kabupaten/kota yang mengadakan pemilukada dan menjadi anggaran tertinggi kedua se-kabupaten/kota di Sulsel.

Luwu Utara
Kabupaten ini sukses menyatukan partisipasi masyarakat dalam berbagai program. Salah satunya dalam pembangunan pasar yang anggaran partisipasinya jauh lebih besar. Partisipasi rakyatpun makin tahun makin bertambah karena mereka yang menjadi perencana dan pelaksana pembangunan.

Di bidang lainnya, akuntabilitas publik melalui e-procurement terus dilaksanakan dan disempurnakan dari tahun ke tahun. Program ini nyatanya ampuh menurunkan indikasi tingkat kebocoran keuangan daerah. Tidak heran untuk kedua kategori ini, persepsi masyarakat dalam survey sangat positif baik itu masyarakat penerima manfaat maupun masyarakat umum. (m_milawaty@yahoo.com)