Kamis, 17 Juni 2010

KEBIJAKAN KESEHATAN GRATIS KABUPATEN SIDRAP

Perkuat Kesehatan Gratis Dengan Armada Pelayanan Kesehatan*


Salah satu letak permasalahan untuk layanan kesehatan di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan yang terkenal dengan motto BERAS (Bersih, Elok, Rapi, Aman, Sopan) ini adalah distribusi sarana pelayanan kesehatan terutama di dusun yang jauh dari desa dan ibu kota kabupaten. Guna mengantisipasi permasalahan klasik, pemerintah kabupaten melalui Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Rumah Sakit Nene’ Mallomo dan Rumah Sakit Arifin Nu’mang membentuk Armada Pelayanan Kesehatan Gratis Plus.

Sebagaimana halnya dengan kabupaten lain di Sulawesi Selatan yang telah menerapkan kesehatan gratis, Sidrap yang pernah terkenal dengan Pola Kemitraan Agribisnis Beras-nya tersebut dalam dua tahun terakhir ini juga telah menggratiskan pelayanan kesehatan tingkat dasar baik di tingkat puskesmas maupun di rumah sakit.

Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan gratis, ada dua kelebihan yang ditonjolkan kabupaten ini. Pertama, pasien rawat inap ditempatkan di kelas II, bukan di kelas III seperti kebanyakan kabupaten lainnya. Dari 23 kabupaten-kota di Sulawesi Selatan (minus Toraja Utara), hanya dua kabupaten yang menempatkan pasien mereka di kelas II; Sidrap dan Sinjai. Layanan kelas II itu pula yang membuat Bupati Sidrap, H. Rusdi Masse memberikan nama ‘Kesehatan Gratis Plus’ untuk layanan kesehatan gratisnya. Layanan kesehatan gratis plus ini telah diberlakukan sejak 1 Januari 2009 dan diperkuat oleh Perda Nomor 2 Tahun 2009 setelah sebelumnya menerbitkan Peraturan Bupati Sidrap Nomor 68 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis.

Kabupaten Sidrap memiliki dua rumah sakit umum, yaitu Rumah Sakit Nene’ Mallomo dan Rumah Sakit Arifin Nu’mang. Rumah Sakit Nene’ Mallomo terletak di ibukota Kabupaten Sidrap yaitu Pangkajene. Sementara rumah sakit lainnya berada di Rappang yang berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari ibukota kabupaten. Kedua rumahsakit ini memberikan layanan kesehatan yang sama sehingga masyarakat dapat berobat di rumah sakit umum manapun di daerah ini.

Kelebihan kedua, membentuk armada pelayanan kesehatan. Armada ini dibentuk sejak Juni 2009. Adanya layanan kesehatan gratis dengan fasilitas rawat inap kelas II di rumah sakit umum daerah tidak membuat daerah ini menunggu datangnya pasien. Yang dilakukan justru sebaliknya. Puskesmas sebagai tempat pelayanan rawat jalan dan rawat inap tingkat pertama berinisiatif untuk terjun langsung ke dusun-dusun terpencil. Melalui Armada Pelayanan Kesehatan, dinas kesehatan dibantu tenaga medis dari puskesmas dan rumah sakit menyisir 13 dusun terpencil di berbagai kecamatan guna mencari warga yang membutuhkan layanan kesehatan.

Pembentukan armada pelayanan kesehatan ini didasari oleh pertimbangan bahwa masih banyak warga kabupaten yang jarang tersentuh oleh tangan medis. Wilayah Sidrap yang terdiri dari tanah datar, berbukit, bergunung, dan tanah rawa danau ini memiliki 11 kecamatan dan 105 desa/kelurahan. Secara geografis memang masih memungkinkan banyak masyarakat terutama di daerah berbukit dan bergunung yang jarang bahkan belum pernah mengecap layanan kesehatan. Di Kabupaten penghasil beras ini, hingga akhir tahun 2008 total puskesmas yang tersebar di berbagai kecamatan sebanyak 28 buah dan pustu sebanyak 39 buah.

Secara teknis tim armada pelayanan kesehatan terdiri dari dokter umum, dokter gigi, perawat, dan bidan. Dalam kasus tertentu di mana dibutuhkan pelayanan khusus maka Dinas Kesehatan tidak segan-segan mendatangkan dokter ahli. Hingga Januari 2010, beberapa dusun terpencil telah mendapatkan layanan ini, mulai dari Dusun Bukkere, Copposulureng, Pasangridi, Bolapetti, Wala-wala, Rantesiwa, Lariu, Lumparangnge, Lengke, Tanatoro, Lemo, hingga pesisir Danau Mojongdalam.

Yang patut dihargai adalah meski kebijakan ‘turun lapangan’ ini tidak dianggarkan secara khusus, namun semangat tim medis dan paramedis tidak luntur. Padahal untuk mencapai dusun terpencil ini, seringkali mereka harus berjalan kaki, bahkan tidak jarang naik turun bukit dan menyeberangi sungai. Seperti pada Dusun Bukkere. Untuk mencapai dusun ini, tim harus menggunakan motor trail atau motor lainnya yang sudah dimodifikasi. Dusun Bukkere yang terletak di Desa Cenrana Kecamatan Panca Lautang terletak di daerah perbukitan yang berjarak kurang lebih 3 jam perjalanan dari ibukota kecamatan. Jalan ke dusun ini hanya jalan setapak. Kondisi topografi perbukitan membuat perjalanan ke dusun Bukkere menjadi cukup melelahkan. Saat musim kemarau, kulit kepala akan terpanggang saat berada di puncak bukit. Jalan pun mesti ekstra hati-hati karena struktur bebatuan yang mudah goyah saat terinjak oleh ban motor. Lain halnya saat musim hujan. Untuk mencapai dusun ini di saat hujan sering turun, disarankan untuk berjalan kaki. Menggunakan kendaraan akan menjadi sangat berbahaya dan sangat sulit di tempuh mengingat jalan setapak menjadi sangat licin. Bahkan di beberapa titik perbukitan, jika tidak hati-hati, kendaraan dapat langsung mengarah ke jurang.

Sebelum tim turun, kepala dusun melalui kepala desa telah mendapatkan pemberitahuan dan jadwal kunjungan sehingga persiapan untuk mendata warga pun dilakukan jauh-jauh hari. Hal tersebut beralasan mengingat di siang hari dusun sebagian besar sunyi dikarenakan warga lebih sering berada di sawah atau ladang mereka. Pada saat tim melakukan pelayanan kesehatan di dusun sasaran, rumah kepala dusun yang biasanya dijadikan sebagai tempat pelayanan. Jangan membayangkan tempat periksa dokter yang nyaman, karena rata-rata mereka melakukan pemeriksaan di bawah kolong rumah, cukup satu kursi dan satu meja periksa dokter. Sementara obat-obatan di taruh di atas bale-bale tuan rumah.

Respons masyarakat terhadap armada pelayanan kesehatan sangat positif. Terbukti pada saat tim turun ke dusun-dusun, animo masyarakat untuk berobat sangat besar meski hanya sekedar cek kesehatan. Hal ini membuktikan kerinduan masyarakat terhadap kedatangan tim medis kesehatan di daerah mereka. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang warga yang sangat mengharapkan bukan hanya sekali dusun mereka dikunjungi melainkan secara teratur. “Selama ini hanya bidan desa yang sekali-kali datang” timpal salah satu warga Dusun Bukkere.

Tak dapat disangkal bahwa program semacam ini memang yang sangat dibutuhkan warga. Kepedulian pemerintah daerah dengan cara turun langsung ke wilayah sasaran adalah salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Dengan cara demikian bukan tidak mungkin ada temuan khusus yang bisa didapatkan. Seperti yang terjadi di Dusun Bukkere. Di dusun ini tak satupun jamban keluarga yang bisa ditemukan. Menurut istri kepala dusun, hal tersebut sudah berlangsung sejak dulu. Warga menjadi sangat terbiasa untuk membuang hajat di kebun dan tidak pernah terpikirkan untuk membuat jamban. Padahal secara ekonomi kehidupan warga di dusun tersebut yang rata-rata berprofesi sebagai pekebun itu masih jauh dari gambaran kemiskinan.

Kondisi inilah yang menjadi temuan Dinas Kesehatan. Dengan temuan tersebut, Dinas Kesehatan telah merancang sejumlah anggaran yang akan disiapkan untuk pembuatan jamban keluarga. Diharapkan dengan melibatkan swadaya masyarakat, dana stimulan yang akan dikucurkan dapat dimanfaatkan warga semaksimal mungkin. Yang perlu diupayakan adalah bagaimana merubah pola pikir masyarakat yang sudah terbiasa untuk membuang hajat di alam bebas.

Satu lagi yang ditemukan dengan turunnya tim armada pelayanan kesehatan ini adalah belum tingginya kesadaran warga untuk mengurus kartu kependudukan mereka. Pelayanan kesehatan memang mensyarakatkan warga untuk membawa KTP mereka sebagai bukti bahwa mereka adalah warga kabupaten yang berhak menikmati pelayanan kesehatan. Rupanya di beberapa tempat masih banyak warga yang belum memiliki KTP. Apakah dengan tidak adanya KTP lantas warga tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan dari tim medis ini? Pengalaman dari dusun ke dusun yang terus berulang terkait ketiadaan KTP membuat tim medis dan paramedis tetap memutuskan untuk melayani masyarakat tanpa perlu memandang ada atau tidak ada KTP. Untuk itu Dinas Kesehatan juga telah merencanakan akan menggandeng Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk melakukan pelayanan ‘jemput bola’ yang serupa untuk mendata masyarakat yang belum memiliki kartu kependudukan.


*) Mylaffayza. Peneliti the Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) Makassar, Sulawesi Selatan. Peneliti dapat dihubungi di m_milawaty@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar