Minggu, 08 Mei 2011

REFORMASI PERSUTERAAN ALAM

Menyebut sutera sejenak ingatan akan melayang ke satu daerah di bagian tengah Sulawesi Selatan. Wajo yang berjarak kurang lebih 250 kilometer dari ibu kota propinsi memang identik dengan sutera. Pasalnya penenunan kain sutera sudah menjadi tradisi turun temurun sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Bahkan slogan Wajo pun adalah SUTERA yang berarti Sejahtera, Ulet, Tenteram, Ramah, dan Aman.

Menengok sejarah sutera puluhan tahun silam, Wajo ibarat ‘one stop centre mulai dari penanaman murbai, pembibitan ulat sutera, penenunan benang sutera baik Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) maupun mesin gedogan, hingga menjema dalam bentuk kain siap pakai.

Laiknya produk yang memiliki life cyclus, sutera Wajo pun mengalami siklus tumbuh – berkembang – berjaya – bertahan - menurun – mati. Saat ini masa-masa jaya sutera Wajo mulai tinggal kenangan. Pasalnya pengrajin kesulitan mendapatkan bahan baku dan mau tak mau harus mendatangkan dari Soppeng, Enrekang, bahkan sampai negeri tirai bambu, Cina. Padahal 9.918 pengrajin dan 264 unit usaha menggantungkan hidupnya di sektor sutera ini. Karena belum ada pilihan lain, para pengrajin dan pengusaha terpaksa bertahan dengan kondisi yang ada. Yang tidak mampu bertahan terpaksa menggantungkan alat tenun sementara waktu menunggu kondisi membaik. Padahal permintaan sutera Wajo terus mengalir. Alhasil, hukum ekonomi tak terelakkan terjadi. Harga kain sutera Wajo merangkak naik.

Untunglah kondisi yang berlarut-larut ini tidak berlangsung lama. Di tahun 2010 lalu melalui Dinas Kehutanan Kabupaten Wajo, di mulailah pencanangan gerakan Reformasi Persuteraan Alam. Tujuannya menggerakkan sektor hulu hingga hilir dan mengembalikan kembali kejayaan sutera di masa lalu. Pasalnya sektor persuteraan merupakan sektor terbesar di Wajo baik dari segi unit usaha maupun tenaga kerja.

Gerakan Reformasi Persuteraan Alam diawali dengan sosialisasi dan pelatihan zat warna alam yang diselenggarakan JICA (Japan International Cooperation Agency) kepada kelompok-kelompok pengrajin sutera gedogan. Zat warna alam ini berasal dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga yang tumbuh dan mudah ditemukan di sekitar tempat tinggal. Sebagai indikasi awal, tanaman yang dipilih sebagai bahan pembuat zat pewarna alam adalah bagian tanaman-tanaman yang berwarna atau jika bagian tanaman itu digoreskan ke permukaan putih meninggalkan bekas/goresan berwarna. Pembuatan zat warna alam untuk pewarnaan benang dan bahan tekstil dapat dilakukan menggunakan teknologi dan peralatan sederhana.

Sebenarnya penggunaan zat warna alam bukanlah teknik baru. Pada awalnya proses pewarnaan tekstil menggunakan zat warna alam. Namun, seiring kemajuan teknologi dengan ditemukannya zat warna sintetis untuk tekstil maka semakin terkikislah penggunaan zat warna alam. Keunggulan zat warna sintetis adalah lebih mudah diperoleh, ketersediaan warna terjamin, jenis warna bermacam-macam, dan lebih praktis dalam penggunaannya. Rancangan busana maupun kain batik yang menggunakan zat warna alam memiliki nilai jual atau nilai ekonomi yang tinggi karena memiliki nilai seni dan warna khas, ramah lingkungan sehingga berkesan etnik dan eksklusif. Sementara untuk kain sutera, para pengrajin merasakan perbedaan nyata yang jauh lebih baik dibanding warna sitetis; kain tidak luntur, lembut, dan tidak mudah kusut.

Lazimnya penggunaan zat warna alam digunakan pada kain tekstil. Namun beberapa pengrajin di kabupaten yang juga identik dengan Danau Tempe ini mencoba mengkreasikannya pada benang. Ternyata hasilnya jauh lebih baik, bahkan pengrajin dapat memadupadankan berbagai warna alam dalam satu kain.

Proses pembuatan larutan zat warna alam adalah proses untuk mengambil pigmen – pigmen penimbul warna yang berada di dalam tumbuhan, seperti daun pepaya, bunga sepatu, daun alpokat, kulit buah manggis, daun jati, kayu secang, biji makutodewo, daun ketela pohon, daun jambu biji ataupun jenis tanaman lainnya yang mudah diperoleh. Proses eksplorasi pengambilan pigmen zat warna alam disebut proses ekstraksi. Proses ektraksi ini dilakukan dengan merebus bahan dengan pelarut air. Bagian tumbuhan yang di ekstrak adalah bagian yang diindikasikan paling kuat/banyak memiliki pigmen warna misalnya bagian daun, batang, akar, kulit buah, biji ataupun buahnya.

Sosialisasi dan pelatihan hanyalah langkah awal dari sekian proses yang telah dirancang pemerintah daerah. Langkah berikutnya, pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan mempersiapkan 1.100 box yang berisikan 27,5 juta ulat sutera pilihan. Sejak Januari 2011 penyebaran box ulat sutera telah dilakukan di berbagai lokasi pembibitan masyarakat.

Tak ada syarat khusus bagi pengrajin yang ingin mendapatkan bibit ulat gratis ini. Mereka cukup menyiapkan lahan untuk pohon murbei yang kelak daunnya menjadi makanan ulat sutera. Jika dikalkulasikan dalam bentuk produksi dan nilai rupiah, satu box berisi 25.000 ulat sutera mampu menghasilkan 30 - 48 meter kain atau 7 - 12 buah sarung. Ini dengan asumsi tak ada ulat yang mati atau kepompong yang kembar.

Di Kelurahan Sompe Kecamatan Sabbang Paru yang menjadi salah satu lokasi pembibitan sekaligus penggunaan zat warna alam, satu sarung sutera berbahan dasar alam dihargai minimal Rp600 ribu. Jika 1.100 box ini dipergunakan masyarakat dengan tingkat kegagalan 10%, maka 990 box ulat sutera dapat menghasilkan nilai rupiah minimal Rp4,158 miliar hingga Rp7,128 miliar. Angka ini berbilang cukup besar mengingat anggaran pengadaan bibit ulat sutera yang dikeluarkan Dinas Kehutanan ‘hanya’ Rp2 miliar.

Ke depan, bila langkah ini berhasil, Kabupaten yang digelari Bumi Lamadukelleng ini akan mengembangkan agrowisata sutera di mana pengunjung dapat menyaksikan dari awal tahap pembuatan kain sutera mulai dari penanaman murbei hingga menjadi kain siap pakai.

Kita berharap saja semoga segala upaya pemerintah daerah untuk mengangkat sutera sekaligus mengembalikan kejayaan masa lalu bisa sesegera mungkin terwujud. Bagaimanapun sebagai daerah yang turun temurun identik dengan sutera kemandirian Wajo menyiapkan sutera mulai hulu hingga hilir harus disegerakan. Ibaratnya, saat ini Wajo masih ‘dijajah’ oleh daerah-daerah penyedia bahan baku dan bergantung sepenuhnya pada mereka. Posisi tawar Wajo masih. Jika ketergantungan ini bisa diminimalkan, bahkan dihentikan maka deklarasi kemerdekaan orang Wajo yang selama ini sering didengungkan dan diistilahkan dengan Maradeka To Wajo E Ade’na Mi Na Popuang tidak mustahil akan terwujud di sutera.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar