Minggu, 17 April 2011

KOMPOSISI BELANJA APBD BELUM IDEAL

Salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan yang merata dan berkeadilan adalah melalui penyusunan APBD yang efektif, akuntabel dan transparan. APBD merupakan instrumen utama kebijakan fiskal yang mempunyai peranan sangat strategis dengan tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, distribusi dan fungsi stabilisasi.

Oleh :

Milawaty (Peneliti FIPO)

Struktur APBD sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Khusus belanja daerah, belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung (belanja aparatur) dan belanja langsung (belanja publik).

Berapa sebenarnya proporsi alokasi belanja publik yang ideal di dalam APBD? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Bagaimana rasio yang ideal dalam struktur APBD antara belanja tidak langsung dan belanja langsung, sampai saat ini masih belum ada ketentuan dan rumusan yang dapat digunakan sebagai acuan agar penyusunan APBD dapat optimal, efektif dan efisien.

Bahkan untuk setiap daerah di Indonesia, sulit untuk menjawab berapa persen sebenarnya dana APBD yang harus dialokasikan untuk belanja publik mengingat kompleksitas masalah pembangunan daerah, karakteristik daerah, serta celah fiskal (fiscal gap) antara kemampuan dana dan kebutuhan pembangunan di daerah berbeda-beda.

Namun, mengutip pemaparan Bambang Agus Salam, peneliti dari Asian Development Bank (ADB) dalam Majalah Komunitas terbitan Januari 2009, belanja publik idealnya 70% sampai 80% dari APBD. Jika rasio tersebut diterapkan di Sulawesi Selatan, nampaknya kabupaten-kota Sulsel masih kewalahan menggenapi rasio di atas. Yang terjadi justru belanja publik yang harus mengalah terhadap kepentingan aparatur daerah.

Gowa, Bone, Soppeng, Pinrang, dan Makassar merupakan contoh lima kabupaten-kota yang selama tahun anggaran 2008 dan 2009 mengalokasikan belanja langsung jauh lebih kecil. Lebih miris lagi, Kabupaten Bulukumba, Jeneponto, Sinjai, Pangkep, dan Wajo, yang pada tahun 2008 mampu mengalokasikan belanja langsung hingga 59%, namun di tahun berikutnya belanja tersebut harus dipangkas sampai 42%.

Kepulauan Selayar, Bantaeng, Takalar, Barru, Sidrap, Enrekang, Luwu Utara, Luwu Timur, Parepare, dan Palopo adalah daerah-daerah yang tetap eksis mempertahankan belanja langsung lebih besar selama dua tahun berturut-turut. Luwu Timur bahkan mampu mencapai angka belanja langsung di atas 75% selama tahun anggaran 2008 dan 2009. Sementara Maros dan Tana Toraja di tahun anggaran 2009 memperlihatkan trend positif karena telah berhasil menganggarkan belanja publik jauh lebih besar.

Membandingkan porsi belanja langsung untuk tahun anggaran 2008 dan 2009, nampaknya porsi belanja langsung tahun anggaran 2009 menunjukkan penurunan. Jika di tahun anggaran 2008 terdapat 15 daerah yang mampu menganggarkan belanja langsung di atas 50 persen, maka tahun berikutnya yang tertinggal hanya 12 daerah, itu pun sudah termasuk daerah yang tahun sebelumnya porsi belanja tidak langsung masih jauh lebih besar.

Terjadinya penurunan belanja langsung dipicu oleh banyak faktor. Salah satunya akibat kebijakan pemerintah pusat yang terus menambah jumlah PNS serta kenaikan gaji PNS sebesar 15 persen namun sayangnya tidak diimbangi kenaikan dana alokasi umum (DAU) yang signifikan, sementara asumsi selama ini belanja gaji pegawai sumber dananya berasal dari DAU. Tidak mengherankan jika terdapat daerah yang tidak mampu menggaji aparatnya hanya dengan DAU.

Makassar menjadi salah satu contoh daerah yang cukup kerepotan dalam menyesuaikan anggaran DAU. Jika mencermati DAU Kota Makassar pada APBD 2009 sebesar Rp647,299,704,000 dan belanja tidak langsung Rp672.462.787.000, maka antara DAU dan belanja aparatur mengalami defisit sebesar Rp25.163.083.000. Terus darimana sumber dana untuk menutupi defisit tersebut?

Peningkatan jatah kucuran DAU pusat ke mayoritas kabupaten-kota di Sulsel dari 2008 ke 2009 antara Rp1,5 miliar hingga Rp21,8 miliar. Itupun tidak seluruh daerah yang mendapatkan tambahan DAU. Beberapa kabupaten, seperti Takalar, Soppeng, Tana Toraja, dan Luwu Timur, bahkan menerima penurunan DAU hingga mencapai Rp133,8 miliar.
Jika dihitung antara penambahan dan penurunan DAU dari 2008 ke 2009, praktis hanya sekira Rp318 juta peningkatan DAU di Sulsel. Padahal DAU masih menjadi sumber utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata, persentase DAU terhadap APBD kabupaten-kota di Sulawesi Selatan berkisar antara 51 - 75 persen di tahun 2008 dan 53 - 73 persen di tahun 2009.

Berdasarkan perhitungan total, dari komposisi anggaran untuk belanja daerah di Sulawesi Selatan (minus Luwu karena tidak mencantumkan biaya tidak langsung dalam APBD) sebesar Rp11,38 triliun di tahun anggaran 2008, Rp6,11 triliun atau 55 persen digunakan untuk belanja langsung dan Rp5,27 triliun atau 45 persen untuk belanja tidak langsung. Sementara pada tahun anggaran 2009, total anggaran belanja daerah Rp12,709 triliun dengan alokasi Rp6,08 triliun atau 47 persen untuk belanja tidak langsung dan Rp6,62 triliun atau 53 persen untuk belanja langsung. Meski nampak penurunan persentase belanja langsung, namun komposisi anggaran masih tetap didominasi belanja langsung. Pertanyaannya adalah, apakah dengan komposisi belanja yang sebagian besar peruntukannya disalurkan ke belanja langsung sudah menunjukkan anggaran yang prorakyat?

Jawabnya sederhana, belum tentu. Bila lembar APBD dibuka dan ditelusuri pada item-item biaya langsung, akan nampak persentase belanja pegawai melampaui angka 40 persen. Padahal selain belanja pegawai, item-item belanja langsung juga meliputi belanja barang dan jasa, serta belanja modal yang seharusnya menjadi komponen utama biaya, terlebih pada instansi-instansi yang melayani kepentingan publik.
Kondisi ini nampak di beberapa instansi Kota Makassar, seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat (63,1 persen), Kantor Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data (47,1 persen), maupun beberapa kantor kecamatan, seperti Bontoala (41,2 persen), Makassar (42,9 persen), Mamajang (41,7 persen), dan Ujung Tanah (42,9 persen). Hal yang sama terjadi pada Kantor Kecamatan Bulupoddo (43,1 persen) dan Pulau Sembilan (42,2 persen) di Kabupaten Sinjai, serta bagian Perumahan (49,2 persen) Kabupaten Bantaeng.
Belajar dari perolehan angka-angka di atas, sebenarnya belanja publik dalam banyak hal sangat tergantung kepada komitmen para pembuat kebijakan daerah sendiri. Kata komitmen di sini bukan mengacu pada besar-kecilnya APBD, melainkan alokasi persentase belanja publik.

Sebagai contoh, Kabupaten Luwu Timur yang volume belanja APBD 2009 lebih dari Rp 800 milyar mampu mengalokasikan belanja langsung sekitar 21,90 persen untuk sektor kesehatan dan pendidikan. Tidak heran bahwa pendidikan di Luwu Timur selama beberapa tahun terakhir menunjukkan loncatan prestasi yang mengagumkan. Luwu Utara, yang nilai belanja APBD-nya hanya setengah dari Luwu Timur, ternyata juga mampu menyumbang belanja langsung 20,88 persen untuk kedua sektor yang sama.

Jelas bahwa kata kunci untuk mengidealkan belanja publik bukan pada volume APBD, tetapi pada komitmen pembuat kebijakan daerah. Selain komitmen, harus ada upaya konkret terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebagai wujud kemandirian daerah untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. (m.milawaty@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar