Minggu, 17 April 2011

MENDUDUKKAN SOKO GURU PEREKONOMIAN DI TEMPAT TERTINGGI

Dalam penjelasan undang-undang dasar koperasi diberikan kedudukan yang sangat tinggi. Secara sederhana konsep dari demokrasi ekonomi Indonesia adalah suatu sistem perekonomian yang tersusun dari, oleh dan untuk rakyat. Untuk itu bangun perusahaan yang sesuai adalah koperasi. Lantas, bagaimana perkembangan koperasi di 23 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2006-2008? Berikut ulasannya.

Oleh :

Milawaty (Peneliti FIPO)


Di bandingkan daerah-daerah lainnya di Sulawesi Selatan, Kota Makassar yang tercatat mengalami pertumbuhan jumlah koperasi terbesar sepanjang tahun 2006-2008 dengan total peningkatan 180 koperasi. Sementara dari segi persentase peningkatan jumlah koperasi, Kepulauan Selayar secara fantastis mampu tumbuh dua kali lipat dari 83 di tahun 2006 menjadi 167 koperasi di tahun 2008. Peningkatan ini tidak terlepas dari upaya pemerintah daerah kepulauan ini yang mendirikan koperasi sembilan bahan pokok di setiap desa.

Selain Selayar, Kabupaten Pangkep juga mengalami peningkatan sebesar 41% dari 178 menjadi 251 koperasi di tahun 2008. Demikian juga halnya dengan Luwu Utara, Wajo, Makassar, Luwu, Jeneponto, Maros, Bantaeng, Takalar, Sidrap, Bulukumba, Bone, Enrekang, Pinrang, Toraja, Palopo, Parepare, Luwu Timur, Soppeng, dan Gowa. Sementara Kabupaten Barru mengalami penurunan jumlah koperasi dari 99 menjadi 82 koperasi pada tahun 2008. Serupa dengan Barru, Sinjai pun mengalami penurunan, meski tidak banyak, dari 106 koperasi menjadi 104 di tahun 2008.

Total koperasi di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2006-2008 mengalami peningkatan 13,2% dari 6.060 buah menjadi 6.860 buah. Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dalam waktu 3 tahun pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Dengan total penduduk 7.805.024 jiwa di tahun 2008, berarti tiap koperasi mampu beranggotakan 1.138 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah desa di seluruh wilayah Sulawesi Selatan yang sebesar 2.946 desa, berarti setiap desa mampu mendirikan 2-3 koperasi.

Jumlah ini tidak jauh beda dengan perhitungan nasional di mana dengan total penduduk Indonesia sebanyak 230 juta dan 160 ribu unit koperasi, berarti 1.438 anggota masyarakat dapat direkrut menjadi anggota setiap koperasi.

Jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, Jepang misalnya, jumlah di atas sebenarnya sangat besar, baik tingkat propinsi Sulawesi Selatan, terlebih lagi tingkat nasional. Total koperasi Indonesia yang tersebar di seluruh Indonesia sebanyak 149.793 koperasi, jumlah yang tidak sedikit. Jepang hanya memiliki 800 unit koperasi sementara jumlah penduduk yang tersebar 130 juta.

Masalah utamanya sebenarnya bukanlah pada kuantitas koperasi itu sendiri, namun lebih pada kualitasnya. Terbukti selama berpuluh-puluh tahun lagu lama koperasi yang “mati suri” silih berganti muncul. Fungsi koperasi tidak dimaksimalkan. Yang ada justru penambahan koperasi tanpa dibarengi oleh kualitas. Koperasi sampai saat ini masih dibelenggu beragam persoalan klasik, di antaranya lemahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya modal, networking, dan pemasaran produk.

Fakta itu masih diperlemah dengan belum adanya keberpihakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Beberapa tahun terakhir banyak pemodal besar masuk ke daerah-daerah dalam berbagai sektor termasuk ritel. Yang terjadi saat ini adalah adanya free fight antara pemodal besar dengan koperasi. Lemahnya permodalan koperasi tak pelak membuat usaha bersama tersebut lebih sering dikalahkan pemodal besar.

Padahal jika 50 persen saja, atau 3.430 unit, dari total koperasi yang ada di Sulawesi Selatan beroperasi aktif secara penuh, maka potensi peningkatan skala ekonomi dan penyerapan tenaga kerja lokal akan terjadi. Jika 3.430 koperasi tersebut mampu menyerap tenaga kerja minimal 3 orang, maka memungkinkan terjadinya pengurangan angka pengangguran sebanyak 10.290 orang (3,4%) dari 311.768 orang menjadi 301.478.

Oleh karenanya, meminjam opini Susidarto (www.sinarharapan.co.id), perketatan perizinan pendirian koperasi harus dilakukan sejak dini agar koperasi yang berdiri bukan semata koperasi yang bersifat semu, yang hanya pandai menjajakan proposal dari tahun ke tahun agar bisa tetap eksis, melainkan koperasi yang mampu menjadi soko guru perekonomian. Langkah lainnya adalah kembali mengefektifkan lembaga pengawas koperasi. Selama ini fungsi pengawas koperasi tidak banyak berperan. Padahal, jabatan dan tugas mereka cukup berat dalam ikut mengawasi jalannya koperasi bersangkutan. Langkah ketiga yang tidak kalah penting adalah memberi pendampingan kepada koperasi agar pengurus koperasi bisa menggunakan uangnya sesuai peruntukannya. Dengan pola-pola pendampingan semacam ini, bentuk penyimpangan akan dapat ditekan sekecil mungkin. Jika upaya-upaya di atas dilaksanakan dengan kerjasama semua pihak yang berkepentingan, predikat kabupaten koperasi niscaya mampu dicapai daerah. Dengan demikian koperasi mampu duduk di tempat di mana dia semestinya berada.
(m_milawaty@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar