Minggu, 17 April 2011

Wujudkan Masyarakat Takalar yang Sejahtera Lahir Batin Melalui Program-Program Pemberdayaan

Takalar yang masuk dalam salah satu daerah pada megaproyek Mamminasata makin berbenah. Pembangunan makin digiatkan, terutama sektor-sektor yang mampu mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gambaran ini terangkum saat peneliti FIPO, Milawaty, melakukan wawancara dengan Ketua Bappeda Takalar, Ir. H. Nirwan Nasrullah, M.Si.

Perencanaan dan proses pembangunan pertama-tama mengacu pada visi Takalar, yaitu terwujudnya masyarakat Takalar yang mandiri, demokratis, bekerja sosial, serta sejahtera lahir dan batin. “Jadi, di sini antara pembangunan fisik dan rohani berjalan seimbang. Visi Kabupaten Takalar diturunkan dalam misi strategi kebijakan dan program” tuturnya.

Menurutnya, ada beberapa sasaran yang ingin dicapai. Pertama, menurunkan tingkat kemiskinan hingga mencapai sembilan sampai sepuluh persen. Kedua, meningkatkan akses ke pendidikan dasar dengan harapan Angka Partisipasi Kasar (APK) SD meningkat 100% dan SMP mencapai 90%.

“Pemberantasan buta aksara baik latin maupun Al Qur’an juga menjadi prioritas daerah. Pendidikan gratis menjadi dasar pelaksaanan peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan” ujarnya.

Ditambahkan lagi bahwa hal lainnya yang akan dicapai adalah pada sektor kesehatan. Terlebih lagi ada dukungan kesehatan gratis. Perda Kemitraan Bidan dan Dukun serta Perlindungan Anak makin menguatkan komitmen pemerintah daerah dalam bidang kesehatan.

“Untuk itu kegiatan-kegiatan seperti Kemitraan Bidan dan Dukun, Alternative Care (Pengasuhan Anak Berbasis Keluarga), Pelindungan Anak, Program Air Bersih Berbasis Masyarakat, yang meliputi Wash in Village dan Wash in School, terus ditingkatkan”.

Sistem Dukungan Masyarakat (Sisduk) yang melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan juga akan terus dilanjutkan mengingat respon dan dukungan masyarakat luar biasa. Terlebih dengan adanya Perda Sisduk tahun 2002 ditambah Perda Partisipasi Masyarakat tahun 2005. Pengembangan ekonomi lokal berbasis potensi desa juga menjadi salah satu program unggulan daerah. "Di tahun 2011, kami telah membentuk TIm Koordinasi Pengembangan Komoditas Unggulan. Program ini memiliki beberapa kegiatan pokok, meliputi penguatan kelompok dan rencana aksi pengembangan komoditas unggulan. Selain itu tim koordinasi juga memfasilitasi akses ke lembaga keuangan, input-input produksi, dan pasca produksi, memberikan penyuluhan, serta penyediaan infrastruktur. Akses pemasaran pun didekatkan, seperti membuat show room, membantu kelompok meningkatkan keterampilan pemasaran, hingga memfasilitasi kemitraan antara kelompok dan pedagang pengumpul sampai pengusaha besar" tutupnya mengakhiri pembicaraan. Harapannya dengan semua upaya yang dilakukan pemerintah daerah, kesejahteraan masyarakat lahir dan batin sesuai visi Kabupaten Takalar dapat terwujud. (m_milawaty@yahoo.com, m.milawaty@yahoo.com, mylaffayza@ymail.com)

MAJUKAN DAERAH MELALUI PROGRAM-PROGRAM BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT

Partisipasi masyarakat mutlak perlu dalam pembangunan suatu daerah. Pembangunan akan berjalan baik jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mulai dalam proses perencanaan, pembangunan, hingga tahap pengelolaan pembangunan. Di Kabupaten Takalar yang berjarak sekira 45 km dari ibu kota propinsi Sulawesi Selatan, program-program yang terkait partisipasi masyarakat terus digiatkan, mulai dari sektor ekonomi, kesehatan, pendidikan, hingga lingkungan hidup.

Milawaty

Peneliti FIPO

Terbitnya Perda Partisipasi Masyarakat Nomor 02 Tahun 2005 menjadi dasar pelaksaaan program-program berbasis partisipasi masyarakat. Sistem Dukungan Masyarakat (Sisduk), Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Potensi Desa, Wash in Village, Wash in School, Manajeman Berbasis Sekolah (MBS) merupakan sekian di antara program-program pemerintah daerah yang turut melibatkan masyarakat selaku subjek pembangunan.

Sisduk yang juga didukung Perda No. 01 Tahun 2002 tentang Sistem Dukungan Terpadu Pemberdayaan Desa Lokal, menggerakkan potensi masyarakat desa melalui pemberian dana stimulan desa sebesar satu hingga dua miliar per tahun yang dapat dipergunakan kelompok masyarakat untuk bidang usaha ekonomi pertanian, perikanan, industry rumah tangga, dan peternakan.

Dalam pelaksanaan Sisduk ini, Usulan kegiatan dilakukan kelompok masyarakat setempat dibantu oleh Field Officer yang berasal dari lima organisasi LSM yang berbeda. Usulan kegiatan memuat jenis kegiatan, penanggung jawab, jumlah swadaya yang dapat disiapkan oleh masyarakat dan jumlah swadaya yang tidak dapat disiapkan oleh masyarakat.

Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Potensi Desa memiliki konsep, sistem dan pelaksanaan yang berbeda dengan Sisduk. Secara umum konsepnya adalah one village one commodity (satu desa satu komoditas unggulan). Program ini didasari pada kenyataan usaha-usaha yang tumbuh di masyarakat berkembang lambat karena akses terhadap sumber daya sangat lemah sehingga pendapatan masyarakat belum tumbuh dengan baik. Padahal potensi dan peluang pasar terbuka lebar.

Guna mengatasi hal tersebut dibentuklah Tim Koordinasi Program Pengembangan Komoditas Unggulan yang berasal dari 10 instansi. Tugas pokok dan fungsi mereka adalah mendekatkan akses-akses sumber daya mulai dari penyiapan kelompok, penetapan satu komoditas inti di setiap desa, memfasilitasi akses modal dan proses produksi, hingga memperlancar proses pemasaran komoditas sampai ke konsumen akhir.

Bentuk partisipasi masyarakat juga terlihat di program WASH (Water And Sanitation Hygiene). Program yang merupakan hasil kerjasama Pemerintah Kabupaten Takalar dan UNICEF mencakup dua hal, Wash in Village dan Wash in School. Tujuannya meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat serta memudahkan akses terhadap sarana air minum dan sanitasi dasar yang aman dan sehat baik di desa maupun di sekolah yang sampai lima tahun ke depan belum akan tersentuh air dari PDAM.

Tiga pilar yang menjadi inti pelaksanaan program Wash ini, pemerintah daerah-masyarakat-pengusaha. Pemerintah daerah bertindak selaku fasilitator pembangunan sarana air bersih dan sehat berupa pendanaan dan penyiapan masyarakat. Masyarakat berperan sebagai pelaksana, pemanfaat, sekaligus pemelihara sarana air bersih dan sehat. Sementara pengusaha menjadi penyedia material sarana air bersih dan sehat.

Di bidang layanan pendidikan, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu program unggulan kabupaten yang terkenal dengan jagungnya ini. Program Manajemen Berbasis Sekolah dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi manajemen sekolah, meningkatkan kualitas mengajar guru yang berkualitas, menyenangkan dengan suasana lokalitas dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Hingga tahun 2010, seluruh sekolah dasar baik negeri hingga swasta yang berjumlah 247 sekolah telah tersentuh program MBS. Keberhasilan program ini memicu daerah untuk terus melanjutkan program sehingga di tahun 2011 ini MBS akan menyentuh sekolah menengah pertama. Untuk tahap awal sebanyak 17 SMP akan melaksanakan program ini.

Keberhasilan pembangunan memang mustahil jika hanya pemerintah daerah sendiri yang bekerja. Upaya-upaya merangkul masyarakat sebagaimana halnya yang telah dilakukan Kabupaten Takalar menjadi salah satu bukti bahwa rakyat memiliki potensi dan kekuatan yang sangat besar jika mereka diikutkan, diberdayakan, dan diberi porsi yang besar dalam proses perencanaan, implementasi, monitoring, maupun evaluasi pembangunan di tanah kelahiran mereka sendiri. (m.milawaty@yahoo.com)

PERTUMBUHAN EKONOMI Vs PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN

Target pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sepanjang tahun 2008 melampau target pertumbuhan nasional, sementara tahun 2006 dan 2007 dilalui dengan susah payah. Beberapa daerah gagal meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Kegagagalan tersebut diikuti dengan naiknya tingkat kemiskinan. Sebagian lagi berhasil melalui krisis dengan menyumbang sekian persen kenaikan pertumbuhan ekonomi yang berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan.

Oleh :

Milawaty (Peneliti FIPO)

Sepanjang tahun 2006-2007, meski bergerak lambat, pertumbuhan ekonomi beberapa kabupaten/kota di Sulawesi Selatan tetap bertumbuh hingga di atas delapan persen. Pertumbuhan ekonomi yang melambat berdampak terhadap turunnya pertumbuhan ekonomi beberapa kabupaten/kota se- Sulawesi Selatan. Kabupaten Soppeng, Luwu Utara, Luwu Timur, Sidrap, Sinjai, dan Bulukumba yang terkena dampak krisis ekonomi selisih rasio penurunan pertumbuhannya mencapai -0,190.

17 kabupaten-kota lainnya pada periode yang sama mampu melewati tahun-tahun memberatkan tersebut sekaligus berhasil memompa pertumbuhan ekonomi hingga mencapai rasio kenaikan 0,592. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Enrekang yang di tahun 2006 terpuruk di urutan terbawah (minus Toraja Utara), ternyata pada 2007 mampu bangkit melampaui daerah-daerah yang sebelumnya berada di persentase pertumbuhan yang lebih tinggi.

Tahun 2007-2008, pergerakan pertumbuhan ekonomi mulai stabil dan meningkat di hampir semua kabupaten/kota. Perekonomian Sulawesi Selatan yang diukur dari besaran PDRB baik atas dasar harga berlaku maupun harga konstan menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Nilai PDRB Sulawesi Selatan atas dasar harga berlaku tahun 2008 mencapai 81,826 triliun rupiah atau naik sebesar 14,555 triliun rupiah dibanding tahun 2007.

Dengan kemampuannya untuk tetap bertahan di tengah gempuran krisis ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan hingga tahun 2008 mampu berada di kisaran tujuh persen. Persentase ini 1,30 persen lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan tahun 2007, dan 1,34 persen lebih tinggi dari tahun 2006.

Teori ekonomi menyatakan naiknya pertumbuhan ekonomi, yang menunjukkan semakin banyaknya output nasional, mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja sehingga seharusnya akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Lantas, mengapa pertumbuhan ekonomi meningkat namun pengangguran cenderung naik dan kemiskinan masih tinggi?

Penelitian yang dilakukan Hermanto Siregar dari IPB-Brighten Institute menyatakan penyebabnya tidak lain adalah pertumbuhan ekonomi yang belum berkualitas. Hal inilah yang terlihat di Sulawesi Selatan. Setelah melewati krisis, pada periode 2006-2008, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, walau menunjukkan trend yang meningkat, memang belum bisa dikatakan berkualitas.

Sedikitnya dua hal yang mempengaruhi belum berkualitasnya pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Pertama, angka kemiskinan yang relative persistent (sulit/lambat penurunannya) dan masih berkisar antara 14 sampai 15 persen. Angka kemiskinan Kabupaten Jeneponto, Pangkep, dan Enrekang bahkan selama tiga tahun di atas masih menembus angka 20 persen. Kedua, laju pengangguran yang masih relative tinggi dan persistent.

Angka pertumbuhan ekonomi tinggi, meski meningkat, yang menjadi fokus pemerintah tampaknya belum cukup mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Kabupaten Pangkep, Barru, Bone, Wajo, Pinrang, Enrekang, Toraja, dan Kota Palopo pada periode 2006-2007 tercatat mengalami pertumbuhan ekonomi, yang sayangnya tidak diikuti turunnya kemiskinan. Yang terjadi malah angka kemiskinan meningkat dua persen. Tingkat kesempatan kerja yang menurun dan berimbas pada tingginya angka pengangguran terbuka menjadi salah satu faktor mengapa Wajo, Enrekang, dan Palopo masih gagal mengurangi jumlah penduduk miskinnya.

Krisis yang mereda di tahun 2008 sedikit banyak mampu merubah wajah pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan Sulawesi Selatan menjadi lebih rasional. Sepuluh daerah yang sebelumnya sempat terpuruk dengan naiknya tingkat kemiskinan, di periode 2007-2008 hanya menyisakan empat daerah, yaitu Kabupaten Soppeng, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo.

Krisis yang berhasil dilalui ternyata menyisakan paradox pertumbuhan-pengangguran, yaitu laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan diiringi pertumbuhan pengangguran. Kondisi ini nampak di Kabupaten Selayar, Bantaeng, Takalar, Wajo, Enrekang, Makassar, dan Palopo di periode 2006-2007. Sementara untuk periode 2007-2008 paradoks ini dialami Kabupaten Barru, Pinrang, Enrekang, Luwu, dan Toraja.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam situs antaranews.com membentuk formula pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja. Menurut formula tersebut, satu persen pertumbuhan ekonomi akan bisa atau diharapkan bisa menyerap tenaga kerja dari 250 ribu sampai 300 ribu tenaga kerja. Jika formula ini digunakan pada periode 2006-2008 di Sulawesi Selatan, serapan tenaga kerja berkisar 335 ribu sampai 400 ribu orang.

Pertumbuhan ekonomi di tahun 2006-2008 terbukti memang membaik, tetapi pemerintah seharusnya jangan terpuaskan hanya dengan angka-angka kinerja itu semata, karena masih ada sekitar satu juta rakyat miskin di Sulawesi Selatan yang sudah terlalu lama tidak merasakan nikmatnya hidup di negeri sendiri.

Mensiasati pertumbuhan ekonomi yang belum berkualitas, penelitian yang dilakukan Hermanto Siregar menawarkan perbaikan kualitas pendidikan yang diyakini mampu menurunkan tingkat kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan sektor industri dan pertanian. Untuk itu kebijakan pemerintah yang secara nasional menetapkan wajib belajar sembilan tahun dan program Sulawesi Selatan yang menerapkan pendidikan gratis harus diteruskan dan diperluas cakupannya hingga menjangkau masyarakat miskin terutama di pedesaan.

Di samping itu upaya penanggulangan kemiskinan selama ini jangan hanya kosmetik saja, artinya pemerintah harus membuat kebijakan yang komprehensif dan bersifat jangka panjang. Dengan demikian program pembangunan yang pro poor, pro growth, dan pro job dengan terus mengupayakan keadilan dan kesamarataan dapat tercipta seiring membaiknya pertumbuhan ekonomi, berkurangnya orang miskin, dan meningkatnya kesempatan kerja. (m.milawaty@yahoo.com)

PERSEPSI ANGGOTA DPRD TERHADAP KINERJA LAYANAN KESEHATAN DAERAH DI SULSEL

Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Hal ini diperkuat lagi dalam Pasal 40 yang menegaskan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai salah satu penyelenggaran pemerintah daerah, bagaimana sebenarnya persepsi DPRD mengenai kinerja layanan kesehatan di daerah masing-masing? Berikut laporannya.

Oleh :

Milawaty (Peneliti FIPO)

Dalam implementasinya, peran DPRD diwujudkan kedalam tiga fungsi; legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sebagai fungsi pengawasan, salah satu tugas DPRD adalah pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah. Salah satu tujuannya adalah kinerja pemerintah daerah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Pengawasan terhadap pelaksanaan program pemerintah daerah merupakan hal yang krusial, terlebih terhadap program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat luas. Salah satu lingkup pengawasan DPRD adalah kinerja pelayanan kesehatan.

Masalah kesehatan yang dihadapi dewasa ini, seperti perbedaan status kesehatan antara daerah, rendahnya kualitas kesehatan penduduk miskin, beban ganda penyakit, masih rendahnya kualitas, kuantitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, merupakan tantangan-tantangan nyata yang dihadapi selama era otonomi daerah ini. Selain itu, pelayanan kesehatan juga dihadapkan pada rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, serta masalah pendanaan kesehatan.

Hal-hal di atas menjadi beberapa dari sekian banyak faktor penentu keberhasilan layanan kesehatan. FIPO memetakan setidaknya terdapat 21 faktor penentu secara umum, mulai dari lokasi hingga komplain kesehatan. Pemetaan itu pula yang dimasukkan dalam survei publik yang telah digelar November 2009 hingga Maret 2010 lalu pada 23 kabupaten-kota di Sulawesi Selatan. Salah satu kelompok responden yang menjadi objek penelitian adalah 230 orang anggota DPRD yang memersepsikan layanan kesehatan di daerah mereka masing-masing.

Data yang berhasil dikumpulkan menggunakan pengukuran data ordinal dengan bobot hitung 1 sampai 5 yang didasarkan pada kategori sangat baik hingga sangat buruk.

Ada empat faktor yang menjadi fokus dalam penulisan ini; lokasi sarana kesehatan, kualitas layanan, alokasi anggaran, dan jumlah tenaga kesehatan. Keempatnya diambil dengan pertimbangan keempat faktor ini adalah faktor yang kerapkali dituding sebagai sumber dari kegagalan daerah dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakatnya.

Hasil survei publik menunjukkan dari keempat faktor diteliti, anggota DPRD memersepsikan faktor lokasi sarana kesehatan memiliki nilai rata-rata tertinggi, disusul berturut-turut kualitas layanan, alokasi anggaran dan jumlah tenaga kesehatan. Persepsi anggota dewan menunjukkan program layanan kesehatan pemerintah daerah dalam kondisi buruk hingga sangat baik.

Jika ditelusuri lebih lanjut, untuk lokasi sarana kesehatan, Kabupaten Soppeng mampu memberikan layanan lokasi terbaik dibandingkan daerah lainnya. Sementara Kabupaten Pinrang mau tak mau harus duduk di peringkat terbawah.

Pada kualitas layanan, Kabupaten Jeneponto bersama-sama dengan Kabupaten Soppeng berhasil meraih nilai tertinggi, sementara persepsi terendah diraih Kabupaten Maros. Untuk faktor alokasi anggaran, Kabupaten Luwu Timur menjadi yang terbaik, sementara Kabupaten Bone justru sebaliknya. Demikian pula pada faktor jumlah tenaga kesehatan, Luwu Timur masih menduduki peringkat pertama, sementara Kabupaten Sidrap terpaksa harus berada di urutan nomor buncit.

Melampaui Standar Ideal WHO

Lokasi sarana kesehatan, baik puskesmas, RSUD, pustu, poskesdes, posyandu, maupun polindes merujuk pada lokasi yang semakin mudah dijangkau dan merata. 230 anggota dewan di Sulawesi Selatan memersepsikan lokasi sarana kesehatan berada pada tataran baik dan sangat baik. Ini terlihat dari kurun waktu 2006 hingga 2008 terdapat penambahan 79 puskesmas, 103 pustu, dan 1.784 posyandu baru di Sulawesi Selatan.

Sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Departemen Kesehatan Indonesia, satu puskesmas idealnya melayani 30.000 jiwa. Jika mengacu pada standar ideal ini, seluruh kabupaten-kota di Sulawesi Selatan telah berhasil jauh melampaui standar, bahkan beberapa diantaranya mampu menambah puskesmas tiga hingga delapan kali lipat lebih besar dibanding nilai standar. Tujuannya tentu saja mendekatkan sarana kesehatan akibat sebaran penduduk yang tidak merata di berbagai tempat.

Oleh karena secara kuantitas jumlah puskesmas sudah memadai, maka yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana sebaran puskesmas tersebut mampu menjangkau wilayah-wilayah terpencil seperti daerah pelosok, pegunungan, maupun daerah kepulauan.

Maros, Takalar, Luwu, dan Parepare masih memprihatinkan

Kualitas pelayanan kesehatan dalam konsep FIPO mengacu pada kemampuan pemberi layanan kesehatan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar profesi kesehatan dan dapat diterima oleh pasiennya. Anggota dewan memersepsikan kualitas pelayanan kesehatan mulai dari buruk sampai sangat baik. Yang menarik, di antara 23 kabupaten-kota di Sulsel, Kabupaten Maros, Takalar, Luwu, dan Kota Parepare masih dinilai buruk oleh anggota DPRD dalam pemberian layanan kesehatan.

Sekedar membandingkan, Harian Tribun pada Februari 2009 lalu mengangkat pelayanan Puskesmas Cenrana Kabupaten Maros yang buruk. Harian Fajar pun pada 18 September 2010 lalu menuliskan pandangan Ketua Komisi III DPRD Maros mengenai banyaknya keluhan masyarakat atas jamkesda dan jamkesmas. Sementara kekurangan tenaga medis dan paramedis di Kabupaten Luwu menjadi salah satu sebab masih belum maksimalnya kualitas layanan tenaga kesehatan. Demikian pula dengan Parepare yang kekurangan tenaga paramedis.

Alokasi Anggaran Belum Ideal

Penilaian anggota DPRD perihal alokasi anggaran menempatkan Kabupaten Bone, Sidrap, Bulukumba, Makassar, Parepare, dan Takalar dengan komitmen anggaran yang masih buruk. Sementara Kabupaten Soppeng dan Luwu Timur dipersepsikan sangat baik.

Amanat Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Pasal 171 mengalokasikan anggaran kesehatan pemerintah kabupaten/kota sebesar 10% dari APBD di luar gaji. Jika acuan ini dijadikan dasar, maka komitmen anggaran kesehatan keenam kabupaten-kota di atas masih belum mampu mencapai alokasi ideal. Bahkan kabupaten lain pun tidak, kecuali Kabupaten Enrekang yang menjadi satu-satunya kabupaten yang mampu memenuhi standar alokasi anggaran.

Bulukumba, Bantaeng, Sidrap, dan Sinjai Masih Kekurangan Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan dalam lingkup penelitian FIPO mencakup tenaga medis, paramedis, dan dokter spesialis. Persepsi anggota DPRD menyangkut jumlah tenaga kesehatan sudah baik secara umum, hanya saja saat persepsi ini dirinci per kabupaten-kota, nampak anggota DPRD Bulukumba, Bantaeng, Sinjai, Sidrap, Takalar, dan Maros menilai komposisi tenaga kesehatan di daerah mereka masih buruk.

Hasil olah data kuantitaf jumlah tenaga kesehatan mendapatkan persepsi yang hampir sama dengan anggota DPRD. Berdasarkan Profil Kesehatan Sulsel 2008, perbandingan ideal antara tenaga medis dan jumlah penduduk 1:5263 dan tenaga paramedis 1:850.

Mengacu pada nilai ideal di atas, berarti beberapa kabupaten/kota telah mampu mencapai target dan beberapa daerah lagi belum. Kekurangan tenaga yang diklaim kabupaten-kota selama ini semata didorong oleh penyebab tenaga kesehatan yang lebih banyak terpusat di ibukota kabupaten dan kecamatan.

Berdasarkan persepsi anggota DPRD sekaligus mengacu pada Profil Kesehatan Sulsel, Kabupaten Bulukumba masih kekurangan tenaga medis dan paramedis, sementara Kabupaten Bantaeng, Sidrap, dan Sinjai masih harus menambah tenaga medis.

Dari keempat faktor di atas, satu hal yang patut dikaji adalah anggota DPRD selaku penyelenggara pemerintah daerah tidak melulu memberikan penilaian positif atas kinerja pembangunan. Transparansi membuka mata mereka untuk berucap jujur sejauh mana peran mereka sebagai wakil rakyat mampu membawa masyarakat ke arah pembangunan yang lebih baik. (m_milawaty@yahoo.com)