Senin, 08 Maret 2010

INOVASI KABUPATEN BONE

Menyebut Arung Palakka, akan terbayang daerah Bone, sebuah kerajaan besar di Sulawesi Selatan yang pernah berjaya beberapa abad sebelumnya. Kini kerajaan Bone telah berganti wujud menjadi kabupaten. Kerajaan Bone yang dahulunya memiliki wilayah kekuasaan yang besar ‘mewariskan’ wilayahnya secara keseluruhan hanya ke satu kabupaten. “Warisan” seluas 4.559 hektar dengan 705.717 jiwa tersebut nampaknya menjadi tantangan besar bagi pemimpin Kabupaten Bone.

Memiliki potensi wilayah yang luas dengan jumlah penduduk yang besar terkadang menjadi suatu kekuatan bagi daerah. Namun jalan menuju hal tersebut masih membutuhkan waktu. Daftar prioritas pembangunan Bone masih terus berkutat di seputar masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia, tingginya persentase kemiskinan, rendahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya angka buta huruf, tingginya tingkat pengangguran, dan sederet masalah lainnya merupakan pekerjaan rumah bagi siapapun yang memimpin kabupaten ini.

Tapi masalah-masalah di atas bukan hanya dimiliki kabupaten ini. Masih banyak kabupaten lainnya yang memiliki persoalan yang sama yang memang dibutuhkan waktu, tenaga, dan materi yang tidak sedikit untuk memajukan daerah.

Di balik sederet permasalahan di atas, Bone yang dikenal dengan kabupaten “Beradat” ini sarat dengan nilai adat yang masih kental di berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Budaya “Beradat” ini dijadikan sebagai spirit, penggerak bagi masyarakat dan pemerintahan kabupaten Bone.

Adat yang masih hidup ditengah-tengah bone adalah “adat sipakatau-sipakaing-sipakalebbi”. Adat sipakatau-sipakainge-sipakalebbi adalah sebuah nilai yang hidup di masyarakat yang tidak gentar dan tidak goyang oleh kondisi. Artinya bahwa sebagai to’bone maka dimana dan kapanpun ia senantiasa terbawa dimana ia berada.

Sipakatau-sipakainge-sipakalebbi bermakna saling memanusiakan, menghormati / menghargai harkat dan martabat kemanusiaan seseorang berdasarkan posisi dan fungsi masing-masing, senantiasa berprilaku yang baik sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat, saling mengingatkan satu sama lain, menghargai nasehat, pendapat orang lain, serta menerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan.

Adat inilah yang rupanya dengan arif dikembangkan di kabupaten Bone. Untuk keluar dari berbagai macam persoalan di atas, satu kata kunci yang harus terlebih dahulu dihilangkan atau paling tidak diminimalkan; kemiskinan.

Keluar dari kemiskinan adalah usaha terberat dari kabupaten penghasil kepiting bakau ini. Kemiskinanlah yang menjerat seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat sehingga mutu pendidikan dan IPM menjadi rendah. Akibatnya angka pengangguran pun bertebaran karena kurang mampu bersaing.

Budaya sipakatau-sipakainge-sipakalebbi inilah yang turut mendorong kabupaten Bone menggandeng Unicef. Budaya to Bone terlihat kental pada dimensi pendidikan, utamanya di pendidikan anak usia dini melalui Paditungka. Penamaan ini berasal dari suku kata bahasa Bugis yaitu Pada Ditungka yang berarti sama-sama dipelihara.

Paditungka dibangun berdasarkan partisipasi masyarakat setelah sebelumnya disepakati melalui musyawarah bersama bentuk fisik bangunan. Fungsi Paditungka tidak hanya sekedar sarana belajar dan bermain anak prasekolah melainkan juga sebagai posyandu dan bina keluarga balita.

Sebelum Paditungka diluncurkan, program Manajemen Berbasis Sekolah (MSB) telah terlebih dahulu diterapkan. Meski demikian, keduanya sama-sama menciptakan pola pembelajaran yang menyenangkan melalui penciptaan media ruang yang ceria. Selama kurun waktu tujuh tahun sudah 115 sekolah dasar di 10 kecamatan yang menerapkan MBS ini. Paditungka dan MBS adalah salah satu tujuan pembangunan millennium (millennium development goals-MDGs) yang harus diwujudkan hingga 2015.

Tujuan pembangunan millennium lainnya adalah meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka kematian anak. Tahun 2005 dan 2006 adalah tahun-tahun buruk bagi ibu, terutama ibu hamil di Bone. Dalam dua tahun tersebut angka kematian ibu mencapai kisaran 13 orang dan kematian bayi 25 orang. Ini tentunya tidak terlepas dari jumlah persalinan yang dilakukan tenaga medis.

Berdasarkan profil kesehatan propinsi Sulawesi Selatan tahun 2006, terlihat bahwa perbandingan medis dan sanro dalam menangani persalinan berimbang. Hal ini tidak mengherankan mengingat jumlah bidan yang hanya 204 orang akan sulit memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal di 353 desa dan 19 kelurahan.

Hadirnya Unicef di Kecamatan Ponre dan Duaboccoe memberikan spirit baru bagi kesehatan ibu dan anak di kabupaten yang tahun lalu meraih penghargaan Adipura ini. Satu hal yang menarik, pada program kemitraan bidan dan sanro, sanro mengenakan seragam putih dengan pin tersemat di dada yang bertuliskan “Iya sanro sahabat”. Dengan program kemitraan bidan dan sanro, mobilisasi sosial, penguatan sistem logistik, dan penguatan P2KP di Rumah Sakit Umum Tenriawaru, tingkat kematian ibu dapat ditekan. Tahun 2008 tingkat kematian ibu menurun hingga 4 kematian, dan tahun 2009 mencapai 3 kematian.

Selain adat budaya yang kuat, potensi wisata alam Bone juga sangat besar. Salah satu sumber PAD terbesar di bidang pariwisata adalah wisata alam Tanjung Palette. Tanjung Palette disebut-sebut mirip dengan kawasan wisata di Bali. Pemkab Bone melalui Dinas Pariwisata memang tidak main-main dengan sumber PAD terbesarnya ini. Dengan anggaran 6,5 milyar, pengunjung dapat menikmati beragam fasilitas seperti kolam permandian bagi anak-anak dan dewasa, lapangan tenis, area outbond, anjungan, area memancing, penginapan dengan jumlah kamar 16 buah (standar, executive, deluxe), tempat bermain anak, rumah makan, ruang pertemuan, café mini, anjungan, dan tempat pertunjukan. Tanjung Pallette diharapkan mampu menjadi icon wisata alam Bone.

Selain potensi pariwisata, di sektor peternakan Kabupaten Bone merupakan daerah pemasok bibit terbaik sapi bali dan ternak potong terbesar di Sulawesi Selatan. Namun keunggulan tersebut juga berpotensi berkurangnya populasi ternak sapi di Bone. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dibangunlah Instalasi Pembibitan Rakyat (IPR) di Barebbo, gerakan optimalisasi sapi, dan pengembangan kebun Hijauan Makanan Ternak (HMT).

Dengan total bantuan sapi sekitar 1.210 ekor, masyarakat berhasil mengembangkan ternak bantuan tersebut hingga mencapai 1.600 ekor. Kotoran sapi pun telah dimanfaatkan masyarakat menjadi biogas. Bahkan beberapa unit biogas dibangun atas partisipasi dan dana dari masyarakat itu sendiri. Kebun HMT milik masyarakat yang dikembangkan pemkab pun telah mencapai 40 hektar berisi beragam hijauan yang bibitnya diambil dari Instalasi Pembibitan Rakyat. Dengan hijau makanan ini ternak tidak hanya mendapatkan makanan yang cukup tapi juga bergizi.

Guna memacu investasi di Kabupaten Bone, Bupati Bone H.A.M. Idris Galigo menekankan maksimalisasi pelayanan publik. Kemudahan berinvestasi ini ditunjukkan melalui Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) yang didalamnya mewadahi 27 jenis perizinan. Bagi Investor yang tidak punya cukup waktu untuk mengurus perizinannya, tim pelayanan jemput bola yang akan datang mengambil berkas sekaligus mengantarkan perizinan jika proses selesai.

Program-program inovatif di atas selayaknya dipertahankan bahkan ditingkatkan dalam rangka mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan demikian luas wilayah bukan lagi menjadi beban Kabupaten Bone.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar