Senin, 08 Maret 2010

PERFORMA POLITIK 23 KABUPATEN/KOTA DI SULSEL

Partisipasi publik dan kesinambungan politik. Meski berada dalam satu lingkup indikator penilaian FIPO (the Fajar Institute of Pro Otonomi) dalam performa politik, namun keduanya jelas berbeda. Partisipasi publik lebih menyorot pada tiga hal. Pertama, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan baik itu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi.

Kedua, masyarakat didorong ikut dalam pemprograman pembangunan dan dalam penganggaran publik. Partisipasi dapat diwujudkan dalam proses penganggaran APBD dan atau hanya proyek tertentu saja. Ketiga, penilaian difokuskan pada inisiatif/program pemerintah kabupaten dan kota yang secara aktif berusaha memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan peraturan daerah (Perda) dan kebijakan publik strategis lain.

Kesinambungan politik lain lagi. Pada bagian ini, ada empat kriteria yang akan dilihat. Pertama, pelembagaan politik lokal yang diarahkan pada inisiatif program pemerintah yang berusaha membangun peningkatan kapasitas politik masyarakat lokal terutama menyangkut kesadaran hukum, politik, HAM, dan kewarganegaraan.

Kedua, upaya pemerintah daerah meminimalisasi resiko lokal. Ketiga, upaya pemerintah daerah dalam mengatasi berbagai bentuk protes ketidakpuasan masyarakat setempat. Dan keempat, sejauh mana keberpihakan produk-produk hukum (peraturan) daerah pada kemaslahatan publik, dan sejauh mana pemerintah daerah menunjukkan konsistensinya dalam mendukung kepastian hukum.

Asumsi teoritis mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi akan menciptakan kondisi politik daerah yang lebih baik. Desentralisasi dipercayai bisa menjadi bagian dari pendidikan politik, stabilitas politik, distribusi kekuatan politik, dan akuntabilitas politik (Smith, 1985). Asumsi ini sebagian ditemukan buktinya secara empirik di lapangan.

Sampai tahun ke delapan otonomi, sejumlah praktik telah dikembangkan daerah. FIPO menemukan berbagai program partisipasi publik dan kesinambungan politik mulai dari yang rutin hingga inovatif.

Sesuai dengan kriteria penilaian, nilai tertinggi akan diberikan pada daerah yang mampu menampilkan program inovatif yang bukan hanya menang di teori tapi juga berjaya di lapangan, di mana dalam hal ini program daerah diakui masyarakat.

Dari penilaian yang telah dilakukan FIPO selama kurun waktu empat bulan terhitung Desember 2008 hingga Maret 2009, terdapat 14 kabupaten/kota yang ditemukan memiliki program daerah baik itu rutin maupun inovatif. Penemuan program inovatif relatif masih miskin karena dari tujuh indikator yang ditawarkan hanya ada empat yang terdata. Dari empat indikator tersebut, sebagian besar daerah masih berkutat di ranah yang sama, yaitu pelibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan.

Partisipasi masyarakat diwujudkan dalam berbagai nama program, entah itu musrenbang, musrenbang partisipatif, musrenbang perempuan, PPK Mandiri, PNPM Mandiri, maupun Regulatory Impact Assessment (RIA). Sayangnya, masyarakat hanya dilibatkan pada proses perencanaan pembangunan dan tidak dilibatkan lagi pada proses implementasi, monitoring atau evaluasi pembangunan. Keterlibatan masyarakat pun hanya sampai pada tahap musyawarah perencanaan pembangunan tingkat desa-kelurahan. Masyarakat juga tidak bisa mengawal, apakah usulan yang mereka sampaikan dijadikan program pemda atau tidak.

Meski demikian, lima daerah yang masuk nominasi pada indikator partisipasi publik dan kesinambungan politik paling tidak memberi gambaran bahwa di tengah miskinnya temuan inovasi di indikator ini, masih terdapat perbaikan dalam upaya-upaya transparansi.

Sebut saja Kota Parepare. Di kota bandar madani ini, setiap rancangan Peraturan Daerah sebelum diajukan ke DPRD harus melibatkan partisipasi masyarakat melalui konsultasi publik. Pelaksanaan konsultasi publik yang terkait dengan Ranperda diadakan dalam bentuk pertemuan dengan melibatkan stakeholder yang akan memberikan saran dan pendapat baik lisan maupun tulisan.

Ranperda yang telah dikonsultasikan dengan stakeholder dibahas oleh tim yang dibentuk Walikota. Tim tersebut selanjutnya membahas dan merumuskan hasil konsultasi dengan stakeholder dalam bentuk dokumen hasil konsutasi rancangan Perda. Ranperda yang telah dibahas tim nantinya akan disampaikan ke Pimpinan Unit Kerja terkait melalui Bagian Hukum untuk selanjutnya diajukan kepada Walikota Parepare sebelum disampaikan walikota ke DPRD untuk dibahas.

Keterlibatan masyarakat dalam perancangan peraturan daerah di Kota ini dibuktikan dengan tanggapan positif masyarakat atas pelaksanaan program ini. Bahkan bila dibandingkan dengan inovasi, survey publik daerah ini menempati urutan yang lebih tinggi.

Lain Kota Parepare, lain pula Kabupaten Luwu Utara. Di saat daerah lain masih menunggu dana APBN dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK), kabupaten ini justru bertindak sebaliknya. Sejak beberapa tahun yang lalu, melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, dana APBD dikucurkan. Dengan dana APBD inilah partisipasi masyarakat terlihat. Menyadari bahwa dana daerah terbatas, masyarakat dengan serta merta memberikan bantuannya baik itu bantuan tenaga maupun bantuan material. Hasilnya, Luwu Utara dapat membangun daerahnya tanpa mengulurkan tangan ke pusat. Inilah sebenarnya makna otonomi daerah. Semakin rendah ketergantungan daerah dari pusat, semakin otonom daerah tersebut.

Partisipasi masyarakat yang patut dijadikan contoh juga dapat ditemui di satu-satunya kabupaten di Sulawesi Selatan yang berada di kepulauan. Penerimaan desa dari partisipasi masyarakat Kabupaten Selayar yang telah berganti nama menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar ini sangat dominan. Swadaya masyarakat dalam pembangunan desa cukup tinggi. Pembangunan ini dikerjakan secara gotong royong dan ada sumbangan masyarakat. Bahkan di beberapa desa menunjukkan hingga di atas 80% dari seluruh total pendapatan desa. Cara ini melahirkan rasa memiliki yang cukup mendalam sehingga mendorong pembangunan desa lebih berkualitas dibandingkan bila dilaksanakan oleh pihak lain.

Hal yang serupa juga dilakukan Kabupaten Takalar. Kabupaten ini dengan bantuan NGO JICA berhasil membangkitkan partisipasi masyarakatnya sehingga sekarang pemerintah daerah hanya bertindak sebagai stimulus dan masyarakatlah yang menjadi pelaksana pembangunan desa setelah sebelumnyamembentuk kelompok pengusul kebutuhan.

Selama ini pembangunan desa hampir selalu dipilihkan dari atas, atau dikenal dengan istilah top down dan pelaksanaanya adalah dinas/instansi pemerintah melalui mekanisme proyek. Meskipun pengusulannya dimulai dari desa, bahkan dusun, namun pada kenyataannya keputusan pilihan ada di tangan pemerintah daerah. Maka bukan tidak mungkin proyek yang datang ke desa bukanlah kebutuhan yang didambakan masyarakat, melainkan kebutuhan yang dirumuskan oleh pemerintah daerah. Biaya pembangunannya pun sudah bukan rahasia lagi, jauh lebih besar dari kebutuhan biaya dari kaca pandang masyarakat.

Bukti di atas menunjukkan betapa desa adalah potensi pembangunan yang besar bagi daerah. Pembangunan dengan melibatkan langsung masyarakat desa, menunjukkan hasil yang jauh lebih baik dan efisien daripada pembangunan desa yang selama ini dijalankan dengan mekanisme proyek. Budaya gotong royong, gugur gunung, sambatan, dan semacamnya adalah potensi sosial yang masih hidup di masyarakat desa dan harus dilestarikan. Memberikan kesempatan luas kepada desa mengatur rumah tangganya sendiri dengan memberikan kewenangan disertai dengan biaya perimbangan akan mempercepat pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Belanja investasi yang lebih efisien ini akan mempercepat kesejahteraan masyarakat secara lebih merata dalam jangka panjang.

1 komentar: