Minggu, 08 November 2009

BALITA DENGAN BGM DI SULSEL MENINGKAT DUA KALI LIPAT

Fungsikan Kembali Posyandu

Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan balita setiap bulan dapat diketahui melalui KMS (Kartu Menuju Sehat). Pada balita yang sehat, berat badannya akan selalu naik mengikuti pita pertumbuhan sesuai dengan umurnya. Sebaliknya, balita tidak naik berat badannya bila garis pertumbuhannya turun atau garis pertumbuhannya mendatar. Yang perlu diwaspadai bila garis pertumbuhan balita mendekati garis merah.
Berat badan balita di Bawah Garis Merah (BGM) pada KMS artinya pertumbuhan balita mengalami gangguan dan perlu perhatian khusus, sehingga harus langsung dirujuk ke Puskesmas/Rumah Sakit. Berat Badan di Bawah Garis Merah bukan menunjukkan keadaan gizi buruk tetapi sebagai “warning” untuk konfirmasi dan tindak lanjutnya. Jika BGM dibiarkan akan menjadi gizi kurang, lalu dibiarkan lagi menjadi gizi buruk dan jika dibiarkan terus akan menjadi busung lapar.

FIPO mengidentifikasi balita dengan BGM di lingkup 23 kabupaten-kota di Sulawesi Selatan untuk tahun 2006 dan 2007. Dari hasil penelitian tersebut terlihat terjadi kenaikan BGM untuk lingkup propinsi Sulawesi Selatan, di mana pada tahun 2007 balita dengan BGM meningkat menjadi 5,32 persen dari 2,49 persen di tahun sebelumnya. Ini berarti terjadi peningkatan 100 persen.

Menilik ke belakang, pada tahun 2003 yang lalu, prevalensi gizi kurang menurut propinsi di Indonesia menunjukkan status gizi kurang untuk Sulsel sangat tinggi. Bahkan Sulsel dengan persentase gizi kurang sebesar 20,59 persen menempati urutan delapan terbawah dari 29 propinsi.

Di runut per daerah pun cenderung terdapat kenaikan BGM. Dari 23 kabupaten-kota di Sulawesi Selatan hanya ada lima kabupaten-kota yang berhasil menurunkan BGM balitanya. Kelimanya adalah Palopo, Maros, Sidrap, Bantaeng, Parepare, dan Makassar. 18 daerah lainnya cenderung mengalami peningkatan. Ini mengindikasikan apa? Apakah program kesehatan gratis yang mayoritas telah dilaksanakan daerah belum menyentuh balita? Ataukah peran posyandu sebagai poros depan kesehatan telah mengalami pergeseran fungsi?

Jika mengacu pada standar target nasional sebesar lima persen, maka hampir seluruh kabupaten-kota di Sulawesi Selatan telah memenuhi standar tersebut. Hanya tersisa dua kabupaten yang belum mampu mencapai target di atas. Keduanya adalah Bone dan Toraja yang justru menunjukkan peningkatan BGM dalam kurun waktu dua tahun (2006-2007).

Posyandu sebagai pos terdepan pelayanan balita selayaknya mendapatkan perhatian yang serius sebab hal ini berkaitan dengan komitmen pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Orang yang terlibat di dalam pelaksanaan posyandu harus mengetahui betul kondisi balita yang ada. Berdasarkan acuan ideal, setiap 700 warga minimal harus ada satu posyandu. Atau setiap 100 balita, minimal ada satu posyandu dengan jumlah kader 5 orang. Jika mengacu pada standar tersebut, pada tahun 2006 jumlah posyandu yang tersebar di 23 kabupaten-kota di Sulawesi Selatan sebesar 7.029 buah dengan jumlah balita 2006 670.981. Dari angka di atas, idealnya jumlah posyandu sebesar 6.710 buah. Sedangkan untuk tahun 2007, sebaran jumlah posyandu meningkat menjadi 8.529 buah dengan jumlah balita sebesar 681.130 orang. Angka ideal posyandu di tahun 2007 sebesar 6.811 buah. Secara kuantitas, posyandu di Sulawesi Selatan sudah lebih dari cukup sebab, sudah mencakup di setiap titik.

Namun, dari segi kualitas, ternyata masih jauh dari harapan. Pasalnya, posyandu yang aktif di tahun 2006 hanya 26,26 persen dan tahun 2007 sebesar 29,38 persen. Apa yang terjadi dengan 70 persen posyandu lainnya? Mati suri, mungkin jawaban yang dapat disodorkan FIPO. Ini berarti menjawab salah satu kemungkinan meningkatnya balita dengan BGM di Sulawesi Selatan.

Pembentukan posyandu biasanya berdasarkan inisiatif kader yang bersangkutan. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia jumlah ideal kader disetiap posyandu sebanyak 5 orang. Berarti Sulawesi Selatan membutuhkan kader sebanyak 42.645 orang. Sayangnya jumlah kader belum seluruhnya dideteksi oleh FIPO sehingga belum dipastikan apakah penyebab mati surinya posyandu disebabkan kurangnya kader atau faktor-faktor unpredicted lainnya.

Apa penyebab BGM? BGM terjadi karena balita tidak mendapatkan ASI eksklusif dan kurang makan. Selain itu, balita juga terkadang menderita suatu penyakit dalam rentan waktu cukup lama. Kemiskinan juga menjadi faktor penting masih banyaknya kasus balita dengan BGM. Faktanya, data Indonesia dan negara lain menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Data empirik dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005)

Langkah yang diambil oleh salah satu kelurahan di Jakarta Utara mungkin dapat menjadi salah satu dari sekian banyak solusi guna mengurangi balita tak sehat. Upaya menekan jumlah balita tak sehat dilakukan dengan membuka Pos Gizi dan Penyuluhan yang memberikan makanan tambahan dan penyuluhan bagi ibu yang memiliki balita.

Di Pos Gizi kaum ibu dilatih bagaimana mengolah makanan dan meninggalkan kebiasaan mengkonsumsi makanan kemasan serta menghindari bumbu penyedap. Selain itu kaum ibu juga diberikan pengetahuan bagaimana cara memberikan asupan makanan bergizi bagi anaknya.

Langkah ini cukup berhasil, karena dari 511 balita BGM berkurang menjadi 125 balita dalam kuran waktu enam bulan. Agar program berjalan maksimal, satu Pos Gizi diberi kuota sebanyak 10 balita.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, BGM hanya sebagai peringatan sebelum terjadi kekurangan gizi. Namun jika hal tersebut berkelanjutan, maka dikhawatirkan akan terjadi lost generation di Sulawesi Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar