Selasa, 10 November 2009

MENGANGKAT ISU PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN GENDER DI SULAWESI SELATAN

Ketika orang berbicara tentang gender, maka konotasinya pada wanita. Hal ini disinyalir oleh Joan Wallace Scott dalam bukunya Gender and the Politics of History, (1988, P. 31) bahwa dalam arti yang sederhana “gender” synonym untuk “wanita”. Mencermati tulisan Joan Wallach Scott mengatakan bahwa istilah gender sebagai pengganti kata wanita, sebenarnya mengandung pengertian hubungan sosial antara laki-laki dan wanita. Artinya informasi tentang wanita dengan sendirinya berarti juga informasi tentang laki-laki.


Saat ini Gender bias (ketidakadilan jender) di Indonesia masih dirasakan oleh mayoritas kaum perempuan. Ketidakadilan jender dalam kehidupan mengambil bentuk-bentuknya yang spesifik, yaitu marjinalisasi, subordinasi, stereotip, dan violence (kekerasan) terhadap kaum perempuan.

Keberadaan perempuan dalam struktur ekonomi selalu dikesampingkan (dimarjinalisasikan), sehingga perempuan kehilangan sumber-sumber pendapatannya. Begitu pula secara struktural perempuan disubordinasi oleh kaum laki-laki, sehingga perempuan harus selalu tunduk dan patuh terhadap struktur kekuasaan laki-laki.
Kondisi di atas pada gilirannya dapat menjadikan distorsi bahkan pengendapan terhadap potensi yang dimiliki oleh kaum perempuan. Pada akhirnya perempuan memiliki stereotif sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, tidak kreatif, dan hanya cocok untuk pekerjaan-pekerjaan domestik. Dengan demikian sering terjadi bentuk-bentuk kekerasan (violence) yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

Bagaimana peran perempuan itu sendiri di Sulawesi Selatan? Berdasar data yang dipublikasikan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan (Kemeneg PP) dan BPS, indeks pembangunan gender (IPG) Sulawesi Selatan terus menurun dalam tiga tahun (2004-2006). Mulai dari peringkat 25 pada 2004 terus merosot ke peringkat 27 pada 2006. Selain itu, IPG Sulsel termasuk yang terendah bila dibandingkan dengan IPG provinsi lain di Pulau Sulawesi.

Di antara enam propinsi di Pulau Sulawesi (Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Sulbar, dan Gorontalo), Sulsel justru menduduki posisi kedua terendah di tahun 2006. Data di atas menunjukkan betapa tertinggalnya IPG Sulawesi Selatan dibandingkan propinsi tetangganya. Bahkan Sulawesi Barat yang lima tahun lalu masih merupakan bagian dari Sulawesi Selatan kini bertengger di urutan kedua tertinggi di jajaran wilayah Sulawesi.

Hal yang sama terjadi pada indeks pemberdayaan gender (IDG). Meskipun skor-nya terus meningkat hingga mencapai 51,8 persen atau terjadi peningkatan sebesar 2,6 persen selama tiga tahun terakhir, namun dalam periode 2004-2006 IDG Sulsel terus mengalami penurunan peringkat hingga urutan 27 pada 2006. Dibandingkan dengan propinsi lain di Sulawesi, Sulsel terus berada di posisi paling buncit selama kurun waktu 2004-2006.

Data faktual tersebut selayaknya menjadi perhatian semua pihak, baik pihak pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, dan lembaga non-pemerintah nasional dan internasional. Padahal, Sulawesi Selatan merupakan propinsi yang memiliki fundamen paling kuat baik secara historis, politis, dan ekonomis. Secara ekonomis pun Sulsel adalah pintu gerbang perdagangan untuk kawasan Timur Indonesia. Ini berarti masih ada yang kurang dalam pemerintahan Sulawesi Selatan selama ini.

Minimnya pembangunan dan pemberdayaan Gender di Sulawesi Selatan akhirnya mendorong FIPO untuk mengangkat isu gender ini ke dalam monitoring dan evaluasi di tahun 2009 ini. Hal ini bukan tanpa alasan. Diharapkan dengan dimasukkannya masalah gender ke dalam penilaian FIPO, mata daerah dapat terbuka lebih lebar untuk terus melakukan pembangunan dan pemberdayaan gender di daerah masing-masing.

Pada tahun 2008 yang lalu, FIPO menggagas sembilan indikator pembangunan daerah yang meliputi pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, layanan pendidikan, layanan kesehatan, layanan administrasi dan kependudukan, partisipasi publik dan kesinambungan politik, akuntabilitas publik, dan lingkungan hidup. Untuk kesembilan indikator tersebut, FIPO menganugerahkan 12 trophi yang terdiri dari sembilan trophi perak dan tiga trophi emas.

Pada tahun 2009 ini, kesembilan indikator di atas masih tetap digunakan. Demikian pula dengan isu strategis setiap indikator. Bedanya, pada tahun ini ada 13 trophi yang akan diperebutkan. Trophi ketigabelas adalah penghargaan untuk daerah yang berhasil dalam kesetaraan dan pemberdayaan gender (gender equity and empowerment).
Kesetaraan (Equity) dimaknai sebagai dampak (outcome) dari kesamaan (equality). Yaitu kesamaan berupa life outcome antara laki-laki dan perempuan. Melalui pengakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam hal kebutuhan dan kepentingan dan membutuhkan redistribusi kekuasaan dan sumberdaya (Reeves dan Baden, 2000:12).

Sebuah kondisi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tercapai bila terdapat pengakuan bahwa terdapat perbedaan kebutuhan, pilihan, kepentingan dan perlakuan yang berbeda. Sehingga kondisi kesetaraan lebih luas daripada sekedar kesamaan kesempatan. Sebagai langkah operasional untuk mencapai kondisi tersebut, maka setiap kebijakan dan program/intervensi pembangunan harus dikaji terlebih dahulu dampaknya terhadap hubungan gender. Yakni, harus memberikan kesetaraan gender.

Pemberdayaan (empowerment) merupakan sebuah proses perubahan (transformasi). FIPO merujuk konseptualisasi dari Kabeer, bahwa situasi keberdayaan akan terjadi bila individu memiliki kemampuan untuk memilih seluruh kemungkinan alternatif pilihan (1999:437). Maka pemberdayaan perempuan merupakan serangkaian kebijakan dan intervensi untuk mendorong agar perempuan memiliki kemampuan untuk memilih berbagai alternatif pilihan sesuai kebutuhan, pilihan, dan kepentingannya. Tentunya dalam situasi yang setara dengan laki-laki.

Dalam kaitannya dengan penelitian FIPO di 23 kabupaten/kota, kesetaraan dan pemberdayaan gender dalam parameter Kemajuan Ekonomi akan melihat bagaimana pertumbuhan, pemberdayaan, pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang sensitif gender. Sedangkan pada Pelayanan Publik, kesetaraan dan pemberdayaan akan dilihat pada responsivitas, kesetaraan dan partisipasi dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi.

Untuk Kinerja Politik Lokal, FIPO akan melihat bagaimana partisipasi perempuan (termasuk dalam politik), pengambilan keputusan, dan akuntabilitas spesifik perempuan. Dan pada paremeter Lingkungan Hidup, kesetaraan dan pemberdayaan akan dari sejauh mana peran pemerintah daerah untuk melibatkan perempuan dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam.

Keseluruhan peran perempuan di atas tentunya dilakukan bukan semata-mata atas inisiatif orang per orang, melainkan atas inisiatif pemerintah daerah dan hal itu didukung penuh oleh anggaran (anggaran berpihak gender).

Semoga perjalanan FIPO di akhir tahun 2009 ini akan menemukan inovasi kesetaraan dan pemberdayaan gender. Bagaimanapun keberhasilan suatu daerah tidak akan pernah lepas dari peran perempuan*****(m_milawaty@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar