Selasa, 10 November 2009

INOVASI KESEHATAN SULAWESI SELATAN BELUM MATI

Indikator kesehatan merupakan bagian dari parameter layanan publik. Indikator tersebut menjadi salah satu dari sekian bidang yang dimonitoring dan dievaluasi oleh FIPO. Dalam penelitian, ada lima isu strategis untuk menilai kesehatan, yaitu (i) aksebilitas, yaitu apakah pemerintah kabupaten/kota berhasil memunculkan serangkaian inisiatif dan terobosan inovatif untuk membuat ketersediaan layanan yang semakin mudah, murah, merata, dan terjangkau, (ii) Ketercukupan SDM, sarana, prasarana, yaitu kebijakan dan strategi pemerintah kabupaten/ kota dalam mengatasi problem ketersediaan tenaga medis & paramedis, sarana & prasarana kesehatan, jaminan, kesehatan masyarakat, serta peningkatan kualitas pelayanan, (iii) sistem perlindungan kesehatan, yaitu jaminan kesehatan masyarakat terutama kalangan bawah masih terbebani mahalnya biaya kesehatan, (iv) komitmen anggaran kesehatan, dan (v) partisipasi penyelenggaraan layanan kesehatan (temuan per isu strategis lihat grafis).



Dalam isu strategis yang pertama, akan dilihat bagaimana upaya pemerintah daerah dalam memberikan layanan kesehatan yang murah, mudah, merata, dan terjangkau. Masyarakat tidak hanya mendapatkan layanan kesehatan yang dekat dengan tempat tinggal mereka, tapi juga terdapat keadilan (tidak pandang bulu) dalam pemberian layanan kesehatan. Pada isu strategis ini, hampir seluruh kabupaten/kota dalam lingkup Sulawesi Selatan telah menerapkan kesehatan gratis. Hal ini wajar mengingat salah satu program prioritas Gubernur Sulsel adalah kesehatan gratis. Dengan adanya pemberlakuan pengobatan gratis di Pemberi Pelayanan Kesehatan, puskesmas dan rumah sakit tidak lagi dibebani pemasukan dalam pendapatan asli daerah (PAD). Sebenarnya, bagi beberapa daerah masalah kesehatan gratis bukan lagi hal yang baru karena jauh-jauh hari sebelum program ini dikumandangkan, beberapa daerah justru telah menerapkannya. Dari temuan, daerah paling awal yang menerapkan kesehatan gratis ini dimulai pada tahun 2005. Kesehatan gratis berlaku di puskesmas dan di rumah sakit daerah baik untuk rawat jalan maupun untuk rawat inap.

Khusus untuk rawat inap, pasien di tempatkan di kelas III. Beberapa daerah berinisiatif untuk memberikan nilai lebih atas standar pelayanan gratis ini, seperti dari hasil temuan terdapat salah satu daerah yang memanjakan pasien rumah sakitnya. Meskipun pasien di tempatkan di kelas III, namun fasilitas yang diberikan layaknya fasilitas pasien di atas kelas III, seperti penempatan televisi di dalam ruangan, kamar tidur dimaksimalkan hanya berjumlah masing-masing lima buah di dalam kamar (meski sebenarnya jumlah tempat tidur bisa lebih dari itu), penyediaan dua buah kamar mandi di dalam setiap kamar, dan pakaian pasien di cuci setiap hari.

Adapula daerah yang tidak menerapkan kesehatan gratis ini, melainkan melakukan program subsidi silang antara keluarga miskin dan non miskin. Program subsidi silang tersebut menetapkan premi dalam jumlah tertentu dan premi tersebut sudah mencakup satu keluarga berapapun jumlah kepala yang terdapat dalam keluarga tersebut. Khusus keluarga miskin, biaya/premi kepesertaannya ditanggung oleh pemerintah kabupaten daerah yang bersangkutan dan dari bantuan lain yang sah. Dengan program ini, masyarakat dapat memilih Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) di mana saja, seperti di RSUD dengan fasilitas rawat inap kelas II, puskesmas, pustu, dokter Keluarga, bidan Delima, dan apotik.

Untuk kemudahan jangkauan pemberi pelayanan kesehatan, kabupaten/kota telah membangun puskesmas, pustu, polindes, puskesmas keliling, bahkan posyandu. Kondisi pelayanan publik di sektor kesehatan boleh dikatakan masih memerlukan perbaikan. Penyediaan pelayanan kesehatan sampai saat ini belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Dengan otonomi daerah sudah sepatutnya pemerintah pusat dan daerah lebih memperhatikan kualitas pelayanan kesehatannya. Untuk puskesmas, hampir seluruh kabupaten/kota membangun lebih dari satu puskesmas di setiap kecamatan. Terlihat trend peningkatan jumlah puskesmas dari tahun 2006-2007, di mana pada tahun 2006 jumlah puskesmas di setiap kecamatan sebanyak dua sampai lima puskesmas, dan pada tahun 2007 rata-rata kecamatan memiliki minimal empat puskesmas.

Perubahan status puskesmas pun mengalami kemajuan yang tadinya hanya berstatus puskesmas rawat jalan kini berubah menjadi puskesmas rawat inap sehingga beban rumah sakit dalam melayani pasien rujukan dapat berkurang. Untuk pustu, terlihat bahwa dalam kurun waktu dua tahun (2007-2008), satu pustu melayani dua sampai enam desa. Tidak setiap desa memiliki polindes, atau dengan kata lain, setiap polindes mewadahi 2-19 desa di sekitarnya. Jumlah posyandu rata-rata berjumlah 1-6 di setiap desa (2007-2008). Posyandu merupakan wahana kesehatan bersumberdaya masyarakat yang memberikan layanan lima kegiatan utama (KIA, KB, gizi, immunisasi dan P2 diare). Banyaknya jumlah posyandu di setiap desa menunjukkan peran serta masyarakat di bidang kesehatan sangat besar. Sayangnya jumlah posyandu di beberapa kabupaten menunjukkan tanda-tanda mati suri. Posyandu yang mati suri tersebut rata-rata hanya memiliki 2 posyandu di setiap desa. Ada pula daerah yang beberapa posyandunya tidak lagi difungsikan sehingga praktis tidak ada kegiatan yang dapat dilaksanakan di posyandu tersebut. Mati surinya posyandu di daerah boleh jadi disebabkan banyaknya daerah yang beranggapan bahwa posyandu bukanlah sektor strategis. Akibatnya, pemda tidak menjadikan posyandu sebagai program prioritas dalam bidang kesehatan sekaligus mengalokasikan anggaran yang cukup.

Dari segi kemudahan jangkauan juga memperlihatkan bahwa akses pemerintah daerah untuk mendekatkan pelayanan kesehatannya turut melibatkan masyarakat. Hal ini terlihat dari ambulans desa yang didalamnya bukan hanya motor dan mobil ambulance milik puskesmas melainkan alat transportasi masyarakat yang diberdayakan, seperti gerobak, andong, kuda, dan becak. Bahkan di daerah-daerah kepulauan, perahu ambulance dan perahu masyarakat dijadikan sebagai sarana transportasi menuju ke Pemberi Pelayanan Kesehatan terdekat.

Pemanfaatan teknologi informasi untuk mempermudah, mempercepat, dan mengefektifkan layanan juga sudah mulai terlihat di beberapa kabupaten/kota dengan diberlakukannya Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) sehingga data base pasien, lama perawatan, jenis obat yang diberikan, harga obat, lama inap pasien, dan beragam pelayanan rumah sakit lainnya dapat segera diketahui. Ada pula daerah yang berinisiatif membuat SMS Layanan Publik 24 jam untuk mengetahui nama dokter, nama pasien, dan atau ruang perawatan pasien dengan mengetik ke nomor tertentu sehingga memudahkan keluarga pasien yang mungkin berada di luar kabupaten yang bersangkutan.

Untuk indikator kedua, yakni ketercukupan SDM, sarana dan prasarana, terlihat peningkatan jumlah SDM baik medis maupun paramedis. Penambahan jumlah medis dalam kurun waktu 2 tahun di tiap daerah cukup bervariatif, bahkan beberapa daerah melakukan penambahan tenaga medis cukup besar. Demikian pula dengan jumlah tenaga medis.

Selain menjadikan puskesmas sebagai ujung tombak layanan, pemda mulai mendekatkan layanan dokter spesialis kepada masyarakat. Umumnya, ada dua cara yang ditempuh daerah. Yaitu, menempatkan dokter spesialis di puskesmas atau menentukan puskesmas menjadi puskesmas khusus (spesifikasi). Dokter spesialis yang banyak ditempatkan di puskesmas adalah dokter spesialis kandungan, penyakit anak, penyakit dalam, dan sebagainya. Ini belum termasuk dokter spesialis lainnya yang saat ini tengah menjalani pendidikan atas biaya pemerintah daerah. Kebijakan menjadikan puskesmas sebagai puskesmas spesifikasi biasanya didasari oleh kondisi geografis daerah. Puskesmas spesifikasi yang ditemukan di daerah di Sulawesi Selatan adalah puskesmas plus dan puskesmas dengan Pelayanan Terpadu (One Stop Service) HIV/AIDS. Cara yang ditempuh daerah untuk mendatangkan dokter spesialis pun cukup beragam, mulai dari pemberian tunjangan Rp. 5 juta rupiah hingga mobil dan rumah dinas, bahkan salah satu kabupaten termuda bersedia memberikan tunjangan hingga Rp. 10 juta rupiah per bulan di tambah mobil dan rumah dinas.

Kelengkapan infrastruktur pelayanan kesehatan di kota tak selalu lebih maju dari kabupaten. Kabupaten yang terkesan konservatif dan tertinggal justru lebih produktif dalam inovasi pelayanan kesehatan. Hal ini terlihat pasca otonomi daerah, bangunan fisik puskesmas dan rumah sakit tidak lagi mengacu pada standar fisik Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK). Hasil monitoring dan evaluasi (monev) menunjukkan bahwa beberapa daerah justru berusaha mendobrak image fisik rumah sakit dan puskesmas yang menimbulkan kesan kaku dan sedikit ‘menakutkan’ bagi masyarakat kelas bawah. Image ini dipangkas habis mulai dari memunculkan puskesmas bergaya minimalis dengan permainan aneka warna hingga rumah sakit berkonsep mall. Tujuannya tidak lain untuk menyamankan pasien sehingga dari segi psikologis pasien merasa tidak tertekan oleh ‘bau’ rumah sakit. Bukan hanya dari fisik rumah sakit dan puskesmas, pemaksimalan pelayanan pun digiatkan, mulai dari penyediaan customer service di pintu masuk rumah sakit, pengadaan CCTV di seluruh ruangan kecuali ruangan pasien, pembangunan guest house bagi keluarga pasien, bahkan pada pemberian makanan bagi keluarga pasien. Hasilnya pun cukup membanggakan; masyarakat tidak segan-segan lagi berobat di puskesmas dan rumah sakit.

Banyaknya kemajuan yang dicapai daerah layak membuat kabupaten berbangga. Sementara itu, kota yang selama ini di cap lebih maju harus belajar dari fakta tersebut. Artinya, kota dengan segala gemerlap statusnya tidak perlu segan-segan berguru kepada kabupaten. Selain itu, kenyataan tersebut menunjukkan kreativitas sumber daya pengelola kesehatan di kabupaten. Mereka ternyata relatif lebih berhasil menyiasati berbagai persoalan kesehatan masyarakat dan kendala teknis lainnya, terutama keterbatasan anggaran. Sedangkan melimpahnya anggaran di kota tidak menjadi jaminan bagi kemampuan mengelola persoalan kesehatan masyarakat.

Kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan di 23 kabupaten/kota tetap mengacu pada visi Indonesia Sehat 2010. Kemitraan antara bidan dan dukun menjadi salah satu temuan FIPO berkaitan dengan visi di atas. Dari monev terlihat bahwa kemitraan ini membawa dampak yang sangat positif terhadap peningkatan persalinan yang dilakukan oleh tenaga medis. Kemitraan antara bidan dan dukun di beberapa daerah dilakukan melalukan MoU antara keduanya sehingga jelas peran dan fungsi masing-masing. Bahkan di salah satu daerah kabupaten, kemitraan ini di’resmikan’ melalui pakaian seragam, dukun ‘berkantor’, bahkan mereka pun memiliki jadwal shift 24 jam. Terobosan ini mengindikasikan bahwa meski proses persalinan telah dilakukan oleh bidan namun peran dukun dalam membantu bidan sangat besar. Dengan adanya kemitraan ini tingkat persalinan oleh tenaga medis di tahun 2007 bahkan meningkat hingga 50% dari tahun sebelumnya.

Salah satu dampak diberlakukannya kebijakan desentralisasi kesehatan adalah terjadinya variasi kemampuan daerah dalam penyediaan dana bidang kesehatan. Hal ini terjadi karena sumber dana sektor kesehatan di kabupaten/kota tidak lagi memakai model dana sektoral yang sudah dirancang dan disediakan oleh pusat, melainkan bersumber kepada APBD sehingga secara tidak langsung menjadi sangat tergantung kepada kemampuan masing-masing daerah. Di sisi lain pemerintah daerah harus menjamin akses pelayanan kesehatan bagi seluruh warganya, termasuk di dalamnya adalah melindungi masyarakat miskin dengan cara membangun system pembiayaan yang paling sesuai dengan kondisi daerahnya.

Komitmen anggaran kesehatan pemerintah kabupaten/kota dalam APBD menunjukkan bahwa alokasi anggaran belanja langsung dibandingkan belanja tidak langsung jauh lebih besar. Ini memperlihatkan kepedulian pemerintah daerah dalam pembangunan pelayanan kesehatan masyarakat nyata terlihat. Meski demikian, beberapa kabupaten/kota masih mengalokasikan belanja tidak langsungnya lebih besar dibandingkan belanja langsung dan hal tersebut terdapat baik di dinas kesehatan maupun di rumah sakit umum daerah. Ini yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah setempat mengingat program-program yang berkaitan dengan kesehatan merupakan salah satu hal vital dalam perbaikan pelayanan publik.

Indikator terakhir, yaitu partisipasi penyelenggaraan kesehatan terlihat bahwa belum banyak inovasi pemerintah kabupaten dalam indikator ini. Hal ini terlihat sepanjang penelitian, kebijakan pemerintah kabupaten masih sebatas janji pelayanan antara penyedia dan pengguna layanan kesehatan. Janji pelayanan ini dibuat berdasarkan survey pengaduan masyarakat atas kinerja puskesmas dan rumah sakit. Satu hal yang membanggakan adalah telah munculnya kesadaran salah satu pemerintah kota dalam peningkatan kualitas pelayanan dengan diterapkannya sistem ISO 9001:2000 di puskesmas. Ini menunjukkan bahwa peningkatan pelayanan tidak berhenti begitu saja seiring diberlakukannya kesehatan gratis.*******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar