Rabu, 11 November 2009

REHABILITASI HUTAN MANGROVE


Upaya membangun Benteng Tsunami


Persoalan memenangkan daerah dalam kategori lingkungan hidup boleh dikatakan sangat tidak mudah. Banyak perdebatan di dalamnya menyangkut siapa yang berhak membawa pulang award untuk kategori ini. Hal ini wajar mengingat banyaknya isu strategies yang dipersyaratkan menyebabkan tingginya tingkat persaingan. Lingkungan hidup sungai dan darat di 23 kabupaten kota saling bersaing ketat. Begitu ketatnya sehingga tim FIPO memerlukan kunjungan ulang di beberapa daerah nominasi. Akhirnya setelah beberapa lama berdebat dan mempertimbangkan tiga kriteria penilaian, award lingkungan hidup berhak dibawa pulang oleh Kabupaten Sinjai.

Kemenangan Kabupaten Sinjai cukup beralasan. Pertama, survey publik menempatkan daerah penghasil susu sapi ini di urutan pertama. Nilai survey publik Sinjai yang sebesar 295 poin memiliki selisih cukup jauh dengan nilai survey publik kabupaten lainnya. Ini menandakan bahwa program lingkungan hidup khususnya yang terkait dengan pelestarian hutan mangrove Tongke-Tongke bukan hanya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar lokasi hutan mangrove, melainkan juga masyarakat lainnya.

Masalah lingkungan hidup memang menjadi salah satu titik fokus pemerintah daerah Sinjai. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bupati Sinjai, H. Rudiyanto Asapa, SH, MH, “Pada bidang lingkungan, inovasi kami jelas. Jauh sebelum adanya Sulsel Go Green maupun GN RHL, kami telah mengumandangkan dan meluncurkan program Gerhita (Gerakan Hijau Kota), mendukung dan membangkitkan swadaya masyarakat dalam mengelola lingkungan termasuk di Hutan Bakau Tongke-Tongke, menyiapkan sebuah Taman Hutan Raya dan lain-lain”.

Alasan kedua, Tongke Tongke adalah simbol sukses rehabilitasi hutan bakau berbasis masyarakat. Hutan mangrove Tongke-Tongke bukanlah hutan baru, melainkan telah tumbuh berpuluh-puluh tahun yang lalu melalui partisipasi masyarakat. Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran masyrakat warga untuk melestarikan hutan mangrove. Pemerintah daerah dengan dukungan masyarakatnya mampu menciptakan potensi alam menjadi jauh lebih baik dan lebih bermanfaat. Masyarakat setempat mendapat dana segar dari pemerintah daerah untuk memelihara hutan mangrove. Pada tahun 1984 melalui kelompok swadaya masyarakat - Kelompok Pelestarian Sumber Daya Alam Aku Cinta Indonesia (KPSDA-ACI) Desa Tongke-Tongke yang didirikan warga setempat khusus untuk menangani penanaman dan pelestarian hutan bakau di sepanjang pesisir desa - penanaman mangrove digalakkan.

Alasan ketiga, kondisi lingkungan dan iklim mendukung usaha pemerintah dan daerah dalam melestarikan mangrove. Badan Metreologi dan Geofisika (BMG) menyatakan bahwa kawasan Tongke-Tongke memiliki intensitas curah hujan yang tinggi antara bulan April-september, dengan temperatur berkisar antara 20-30 0C, merupakan kondisi yang baik dalam menunjang pertumbuhan. Desa Tongke-Tongke dilalui oleh dua buah sungai yaitu sungai Baringeng dan sungai Tui, yang membawa sedimen dari gunung Bawakaraeng hingga ke pesisir pantai, sehingga tanah yang berada pada kawasan tersebut merupakan campuran antara pasir dan lumpur sungai. Paloloang (2001) menyatakan bahwa pantai yang tenang dan berlumpur, serta saltasi (pelumpuran) yang terjadi akibat dari sedimentasi sungai yang ada diatasnya sangat sesuai untuk pertumbuhan mangrove. Saat ini hutan mangrove Tongke-Tongke membujur lebih dari satu kilometer dari bibir pantai. Pohon mangrove ditengarai mampu memecah gumpalan ombak tsunami sehingga hanya menjadi riak-riak kecil ketika mencapai daratan. Makin tinggi gelombang ombak, makin besar pula energi yang akan menghantam kawasan pantai. Terumbu karang akan meredam hantaman gelombang terhadap pantai dan selanjutnya akan dilapisi oleh tegakan hutan mangrove. Bentangan hutan mangrove sejauh 1200 meter mampu mengurangi gelombang tsunami sekitar dua kilometer. Memang, mangrove tak berarti bisa mencegah tsunami seratus persen. Tetapi sebagai benteng alami, ia bisa mengurangi tingkat keparahan akibat tsunami dengan amat menakjubkan.

Dengan mengoptimalkan potensi alam, pemerintah dan masyarakat, hutan Mangrove Tongke-Tongke disulap menjadi desa yang sungguh menakjubkan; keindahan pantai, kicauan burung, kelelawar yang beterbangan, atau perilaku kepiting di bawah rerimbunan pohon bakau atau mangrove.

Dari sudut fungsi ekologis dan ekonomi, mangrove tak ternilai harganya. Nelayan bisa menghemat biaya operasional karena aktivitas mencari ikan tidak perlu dilakukan hingga jauh ke tengah laut. Berbagai biota pesisir dan laut (ikan, udang, kerang, dan lain-lain) menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai daerah pemijahan/bertelur (spawning ground). Mangrove juga menjadi kawasan tempat berlindung (nursery ground) untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai biota. Mereka menangguk banyak keuntungan dari “kemurahan hati” mangrove. Dedaunan, ranting, dan bagian lainnya yang menjadi sampah dan jatuh ke air tidak sia-sia, bahkan menjadi unsur hara yang amat menentukan produktivitas perikanan sebagai feeding ground. Sampah ini, juga jasad renik yang muncul karenanya, menjadi makanan bagi hewan-hewan yang hidup di perairan ekosistem mangrove ini. Di sela-sela akar bakau, akan mudah dijumpai kepiting bakau, benur, nener, udang, biri, tiram, ikan sunu, ikan baronang, ikan bandeng, ikan mujair, ikan cakalang, ikan terbang, ikan teri dan lain-lainnya. Sementara di puncaknya biasanya bertengger koloni kalelawar yang jumlahnya mencapai ratusan ekor. Kepiting dan kelelawar yang bersimbiosis mutualisme dengan hutan bakau bahkan memberikan keuntungan ekonomis kepada warga Tongke-Tongke. Ini karena kedua hewan itu merupakan komoditas yang banyak diminati restoran lokal dan manca negara.

Alasan keempat, wilayah ini terkenal di kalangan peneliti internasional sebagai salah satu pusat pengembangan hutan bakau di Indonesia. Tak heran, kawasan hutan bakau Tongke-Tongke menjadi salah satu kawasan studi banding untuk pengembangan tanaman bakau bagi lembaga pengembangan kawasan bakau di dunia.

Alasan kelima, Pemkab Sinjai menjadikan hutan mangrove sebagai objek wisata. Salah satu kegiatan yang ditawarkan kepada wisatawan adalah pemancingan kepiting, udang, dan berbagai jenis ikan yang dibudidayakan. Tahun 2007 dan 2008 pemerintah daerah membangun pintu gerbang, jembatan dan vila sederhana di dalam hutan bakau.
Pelajaran yang dapat diambil dari Tongke-Tongke adalah ternyata upaya-upaya konservasi dapat sejalan dengan saling menunjang dengan ekonomi. Peningkatan kesejahteraan dapat menjadi motivasi tersendiri bagi masyarakat sekitar hutan untuk semakin menyadari pentingnya menjaga kelestarian hutan bakau karena adanya manfaat langsung yang telah dirasakan, ekonomis maupun ekologis. (m_milawaty@yahoo.com)*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar