Selasa, 10 November 2009

RASIO ANGGARAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP TOTAL BELANJA APBD MASIH MINIM

Masalah lingkungan hidup merupakan salah satu isu krusial yang terus berkelanjutan. Betapa tidak baik pemerintah pusat hingga pemerintah daerah belum mengutamakan isu kelestarian alam. Belum semua pemda menjadikan lingkungan hidup sebagai isu utama pembuatan kebijakan di daerah. Padahal bentuk perusakan lingkungan - seperti pencemaran udara, pencemaran air, dan menurunnya kualitas lingkungan akibat bencana alam, yakni banjir, longsor, kebakaran hutan, krisis air bersih - bisa berdampak buruk pada kesehatan secara global.


Merujuk UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, pengelolaan dan pelestarian (pengendalian) lingkungan hidup sebenarnya merupakan urusan wajib yang menjadi wewenang daerah, baik provinsi maupun kabupaten-kota (pasal 13-14). Ditegaskan pula, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah wajib melestarikan lingkungan hidup (pasal 22 huruf k).

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan upaya daerah mengejar target pendapatan asli daerah (PAD). Daerah seakan berlomba mengeksploitasi potensi sumber daya alam yang dimiliki. Belakangan, setelah berbagai bencana seakan juga ikut berlomba menghantam negeri, mulailah kesadaran untuk menjaga lingkungan kembali menguat.
Upaya-upaya pelestarian lingkungan yang ditemukan FIPO di 23 kabupaten/kota pada umumnya masih sama. Hal ini disebabkan adanya program dari pusat seperti halnya GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) yang selama beberapa tahun ini masih terus digencarkan. Program GNRHL ini dapat ditemukan di beberapa kabupaten/kota.

Pada hakekatnya, bentuk kepedulian pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat dilihat dari berbagai faktor. Pertama, jumlah anggaran yang dikucurkan untuk pengelolaan lingkungan hidup. Anggaran lingkungan hidup biasanya dialokasikan untuk pengelolaan sampah, konservasi lahan kritis, pembuatan energi alternatif, pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), atau pembangunan infrastruktur yang mendukung lingkungan hidup seperti gorong-gorong dan saluran drainase.

Dari data yang dihimpun oleh FIPO, dana lingkungan hidup di 23 kabupaten/kota pada tahun 2008 memiliki rentang selisih yang cukup jauh antara dana terbesar hingga yang terendah. Dari grafis terlihat bahwa Kota Makassar yang memberikan alokasi dana terbesar sebanyak Rp. 39,5 milyar yang tersebar di enam instansi pemerintah dan 14 kecamatan. Jumlah anggaran yang dikeluarkan Kota Makassar banyak diperuntukkan bagi sarana-sarana fisik, terutama pengendalian dan pengelolaan persampahan yang menghabiskan anggaran sebesar Rp. 11,5 Milyar.

Anggaran terendah diperlihatkan oleh Kabupaten Maros sebesar Rp. 1,29 milyar di mana anggaran tersebut hanya berasal dari dua instansi, yaitu Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertambangan dan Energi. Padahal menilik dari potensi pertambangan yang dimiliki kabupaten ini, seharusnya dana lingkungan hidup lebih besar lagi agar keseimbangan antara apa yang didapatkan daerah dari alam sesuai dengan apa yang dikembalikan pemerintah daerah ke alam itu sendiri.

Penanganan lingkungan hidup jelas tidak dapat dimaksimalkan jika anggaran untuk itu terbatas. Bukan hanya kabupaten/kota dalam lingkup Sulawesi Selatan yang mengalami kesulitan dalam mendanai lingkungan hidup, melainkan hampir semua pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

Karena nomenklatur di daerah yang tidak sama, anggaran lingkungan hidup tersebar di berbagai institusi. Tidak saja dikelola institusi yang secara khusus menangani lingkungan hidup seperti dinas lingkungan hidup, tapi, institusi lain juga melakukan konservasi terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam, misalnya dinas perkebunan dan kehutanan, dinas kebersihan dan pertamanan, dinas pekerjaan umum, dan beberapa dinas lainnya.

Penyebaran anggaran lingkungan hidup di setiap instansi masih memperlihatkan perbedaan yang cukup mencolok. Di satu sisi terdapat daerah yang menyediakan anggaran lingkungan hidup di delapan instansi, namun di sisi lain ada pula daerah yang hanya dua instansi yang memilikinya.

Faktor kedua, ratio anggaran lingkungan hidup terhadap total belanja daerah. Alokasi anggaran merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah daerah (pemda) terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Anggaran pengelolaan lingkungan merupakan bagian belanja langsung daerah.

Pada tahun 2008, kucuran anggaran sektor lingkungan hidup masih sangat kecil, hanya berkisar antara 0,3 persen hingga 4,4 persen dari total belanja daerah. Itu jika anggaran lingkungan hidup dibandingkan dengan anggaran pendidikan atau kesehatan. Anggaran yang dikeluarkanpun masih terbatas pada upaya pelestarian lingkungan hidup. Belum tampak adanya integrasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup terutama insiatif pemda untuk mengintegrasikan seluruh kepentingan dalam pembangunan dengan pelestarian lingkungan.

Dari grafik yang ditampilkan, terlihat rasio terbesar diberikan Kota Palopo dan Luwu Timur sebesar 4,4 persen, sementara yang terendah Kabupaten Maros sebesar 0,3 persen. Dengan demikian secara keseluruhan rasio rata-rata anggaran lingkungan hidup Sulawesi Selatan terhadap total belanja APBD sebesar 2,6 persen.

Menilik dari anggaran di atas, nampaknya Sulawesi Selatan masih jauh lebih baik dibandingkan daerah Jawa Timur, misalnya, yang komitmen anggaran lingkungan hidupnya justru hanya berkisar 0,03 persen dari total belanja langsung APBD 2008. Demikian pula komitmen anggaran dari pusat yang hanya menganggarkan 0,4% dari APBN.

Melihat masih rendahnya ratio anggaran lingkungan hidup, maka dibutuhkan strategi agar kondisi lingkungan dapat dikelola semaksimal mungkin guna meningkatkan PAD namun tanpa merusak alam. Untuk itu strategi yang kini diterapkan untuk menyikapi penurunan kualitas alam Indonesia adalah: pertama, dengan melibatkan sebanyak-banyaknya pihak untuk ikut mengatasi masalah lingkungan hidup. Artinya, dari pihak pemerintah, bukan hanya unit kerja yang berhubungan dengan lingkungan hidup yang memiliki kewajiban melainkan telah menjadi tanggung jawab seluruh unit kerja, bahkan seluruh masyarakat daerah itu. Kedua, untuk menjaga kelestarian lingkungan, harus ada penegakan hukum lingkungan. Ketiga, menumbuhkan kesadaran yang tinggi pada masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan. (m_milawaty@yahoo.com)

2 komentar:

  1. FIPO apa ya kepanjangannya? terimakasih

    BalasHapus
  2. FIPO itu kepanjangan dari the Fajar Institute of Pro Otonomy. FIPO adalah lembaga independen yang setiap tahunnya melakukan penilaian terhadap kinerja kabupaten-kota di Sulawesi Selatan dan melakukan perangkingan terhadap kinerja terbaik, mulai dari pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, pemberdayaan ekonomi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan dan perizinan, politik, partisipasi, dan lingkungan hidup

    BalasHapus